Bagian 1 (Perjodohan)

1068 Words
Langkah kaki Alven terdengar tergesa dan berat di lorong rumah besar keluarga Mahendra. Udara ruangan ber-AC itu dingin, tapi tidak lebih dingin dari wajahnya yang tegang sejak pagi. Ia baru saja pulang dari kantor cabang dan mendapat kabar yang membuat amarahnya meledak begitu saja. Tanpa mengetuk, Alven membuka pintu ruang kerja Papahnya. Pintu kayu jati itu berdebam keras hingga membuat pengurus rumah di belakangnya terlonjak kaget. “Papah sengaja, ya?” suaranya langsung menggema di ruangan itu, tajam dan penuh tekanan. Tuan Mahendra—yang lebih sering dipanggil Papah oleh kedua anak lelakinya—mengangkat wajah dari dokumen di hadapannya. Tatapannya tetap tenang, meski anak keduanya datang seperti badai. Alven melempar map cokelat ke atas meja kerja besar itu. Mapnya terbuka, menumpahkan beberapa lembar dokumen dan satu foto perempuan muda ke permukaan meja kaca. “Ini maksudnya apa, Pah?” tanya Alven lagi, nadanya meninggi. “Kalian pikir aku gak bakal marah?” Papah menutup map yang sedang ia baca, lalu menyandarkan tubuh ke kursi dengan tenang. Ia menatap Alven seperti sedang menghadapi karyawan keras kepala yang tak tahu batas. “Kamu sudah baca semua isinya, kan?” “Baca?!” Alven mencibir, menarik napas kasar. “Papah pikir aku bakal tinggal diam setelah tahu hidupku—masa depanku—ditentukan dari tumpukan kertas kayak begini?” “Itu bukan cuma tumpukan kertas, Alven,” jawab Papah, suaranya tetap stabil. “Itu perjanjian antar dua keluarga besar. Ini keputusan yang sudah disepakati. Bukan main-main.” Alven tertawa sinis. Tawa itu terdengar pecah, penuh tekanan. Ia melangkah maju, menunjuk foto perempuan di antara dokumen. “Jadi ini perempuan pilihan kalian?” katanya, meraih foto itu dengan dua jari. Ia menatap wajah dalam foto—perempuan muda dengan riasan sederhana, tersenyum sopan. Matanya jernih tapi datar. “Siapa dia? Aku bahkan gak pernah dengar namanya. Dan sekarang aku disuruh nikah sama dia?” “Namanya Nadira Halim,” jawab Papah. “Anak dari sahabat Papah. Keluarganya punya usaha distribusi bahan baku dan transportasi. Kerja sama ini akan menguntungkan dua pihak. Posisi kita makin kuat di Kalimantan Timur kalau proyek ini berjalan.” Alven mendengus. “Kerja sama? Jadi aku ini alat transaksi, gitu?” Ia menatap foto itu sebentar sebelum merobeknya—tanpa ragu sedikit pun. Kertas itu terbelah dua, lalu empat, delapan. Potongan kecil foto Nadira berjatuhan di atas karpet dan meja seperti serpihan salju dingin tanpa makna. “Aku gak peduli siapa dia. Aku gak mau nikah sama dia!” serunya. “Nikahin aja Radith kalau emang penting banget.” Papah menarik napas panjang, menahan nada suaranya agar tak ikut naik. “Radith sudah menikah. Sekarang giliran kamu. Dan ini bukan soal kamu mau atau enggak.” “Jadi aku ini apa, Pah?” bentak Alven. “Barang dagangan?” “Kamu pewaris perusahaan ini,” tegas Papah, menatapnya dalam. “Dan pewaris harus tahu kapan kepentingan pribadi dikalahkan demi bisnis.” “Lalu perasaanku?” Alven tak bisa menahan diri lagi. “Apa itu gak ada artinya?” Papah berdiri perlahan. Meski usianya tak muda, wibawanya menekan udara di ruangan itu. “Perasaan bisa tumbuh, Ven. Tapi tanggung jawab pewaris gak bisa nunggu kamu jatuh cinta dulu.” Alven memalingkan pandangan ke jendela besar yang menghadap taman belakang. Rahangnya mengeras, matanya memerah. “Aku serius, Pah. Aku gak akan nikah sama perempuan itu,” ucapnya pelan tapi penuh tekanan. “Aku udah punya pilihan sendiri.” Papah menyipitkan mata. “Maksudmu Minthea?” Alven menoleh cepat. “Namanya Juminten, Pah. Biarpun sekarang dia pakai nama baru, buatku dia tetap orang yang paling setia.” “Dia gak pantas,” ujar Papah datar. “Kamu gak berhak menilai seseorang cuma dari masa lalunya!” Alven melangkah maju. “Dia memang pernah kerja sebagai office girl, iya. Tapi dia kerja keras. Sekarang dia sekretarisku. Aku kenal dia luar dalam, Papah. Dia bukan seperti yang kamu pikir.” Papah berdiri dari kursinya, menatap Alven dari dekat. “Dia pernah terlibat skandal dengan beberapa klien saat kerja di perusahaan lain. Papah tahu semuanya. Kamu pikir Papah gak selidiki orang yang selalu ada di sekeliling anak Papah?” “Itu masa lalu!” seru Alven. “Dan kalau Papah tahu semua, Papah juga tahu dia gak pernah ninggalin aku waktu aku jatuh.” “Kamu dibutakan oleh nafsu, Alven.” Nada Papah meninggi. “Dia mendekatimu karena ambisi. Bukan cinta.” Alven mendecak, matanya merah. “Kalau gitu, kenapa gak Papah aja yang nikah sama Nadira? Atau suruh Radith cari istri kedua. Jangan aku.” Tepat saat itu, suara langkah terdengar. Radith muncul di ambang pintu, tubuhnya tegap dengan wajah yang selalu terlihat tenang meski jelas ia baru mendengar semuanya. “Cukup, Ven,” katanya pelan. “Kamu udah keterlaluan.” “Lo juga bagian dari ini, ya?” tuduh Alven tajam. “Lo yang bantu mereka atur semua di belakang gue?” Radith menutup pintu, berdiri di sisi Papah. “Lo pikir lo bisa bangun masa depan sama perempuan kayak Minthea? Lo tahu sendiri siapa dia.” Alven menyeringai sinis. “Setidaknya dia gak pura-pura baik di depan kamera.” Papah mengangkat tangan, menyuruh Radith diam. “Alven, mau atau gak mau, pernikahan ini tetap berlangsung. Keluarga Halim sudah diundang ke sini lusa. Kalau kamu masih merasa bagian dari keluarga Mahendra, kamu akan datang. Dan kamu akan menikah.” Alven tertawa hambar. Ia mengambil kunci mobil dari saku, melangkah ke arah pintu. “Kalau gitu, anggap aja aku bukan bagian dari keluarga ini lagi.” “Alven!” suara Papah meninggi. “Satu langkah keluar dari rumah ini—semua fasilitas, saham, dan jabatan kamu dicabut!” Alven tak menoleh. Ia membuka pintu, membiarkan udara panas kemarahannya menggantikan kesejukan ruangan itu. Papah terdiam beberapa saat, lalu menatap Radith. “Hubungi Nadira dan keluarganya. Percepat jadwal.” Radith mengangguk berat. “Kalau Alven gak datang ke akad gimana?” Papah menatap lurus ke depan, dingin. “Dia akan datang. Mau gak mau.” Alven membuka pintu depan rumah dengan kasar. Langkahnya cepat dan penuh amarah. Nafasnya memburu, dadanya sesak. Ia melewati halaman tanpa menoleh sedikit pun ke penjaga rumah. Hari ini, ia ingin sendiri. Ia tak butuh siapa pun. Tangannya merogoh saku, menekan tombol kunci mobil. Suara klik diikuti dengan bantingan pintu keras. Mesin menyala, dan dalam hitungan detik, mobil sport hitam itu melesat keluar dari halaman keluarga Mahendra, meninggalkan rumah besar yang penuh rahasia dan keputusan yang tak bisa ia terima.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD