Bagian 2 (Dua hari lagi)

1365 Words
Alven tidak tahu harus ke mana. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari rumah itu—dari ruangan pengap yang baru saja mempermalukannya, dari orang-orang yang mengatur hidupnya seolah ia tak punya kehendak sendiri. Tangannya mencengkeram setir erat-erat, begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya menatap lurus ke jalan, tetapi pikirannya dipenuhi kemarahan dan rasa muak. Papahnya. Radith. Keluarga besar Mahendra—semuanya memutuskan tanpa melibatkannya. Ia hanya pion. Anak kedua yang bisa dikorbankan demi bisnis. “b******k…” gumamnya pelan, rahangnya mengeras. Ia menghantam setir keras-keras, sekali, dua kali, hingga suara klak! dari kemudi memecah kabin mobil. Lalu ia tertunduk, menggeram pelan di balik gigi yang terkatup rapat. “Kenapa semua orang pikir mereka bisa ngatur hidup gue?” Mobil terus melaju, menerobos lalu lintas Jakarta yang mulai padat. Klakson dari pengendara lain tak ia hiraukan. Ia tak peduli pada apapun sekarang—selain amarah yang mendidih di dadanya. Dan puncaknya adalah nama itu. Nadira. Gadis yang bahkan tak pernah ia kenal. Gadis yang, menurut Papah, “cocok” dijadikan istri hanya karena keluarganya punya perusahaan transportasi dan bahan baku. Alven tertawa getir di balik kemudi. Udara dalam kabin dingin, tapi tubuhnya terasa panas, terbakar emosi. “Aku gak butuh perempuan asing buat dijadiin istri,” ucapnya pelan namun tajam. Mobil akhirnya berhenti di pinggir jalan dekat pelabuhan. Ia memarkir sembarangan, mematikan mesin, lalu duduk diam. Kepala menunduk ke setir, bahunya naik-turun menahan napas yang tak stabil. Alven menutup mata. Mencoba bernapas lebih tenang. Tapi amarah itu tetap di sana—dan rasa tidak terima itu masih menyesakkan. ** Langit sore tampak muram. Awan abu menggantung seperti ikut membaca suasana hati Alven Mahendra. Setelah cukup lama terdiam di pinggir pelabuhan, ia menyalakan kembali mesin mobil dan melajukannya menuju pusat kota. Tujuannya jelas: apartemen Minthea. Satu-satunya tempat di mana ia merasa dimengerti. Beberapa belas menit kemudian, mobil Alven berhenti di parkiran bawah sebuah apartemen mewah. Ia turun dengan langkah besar, menekan tombol lift dengan kasar, dan berdiri dengan rahang mengeras. Suara Papahnya masih terngiang-ngiang di kepala. Pintu apartemen di lantai tujuh belas terbuka setelah ia mengetuk dua kali. Minthea berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus ketat dan celana satin pendek. Senyum tipisnya muncul, seperti seringai yang tahu betul suasana hati tamunya. “Kenapa mukamu kayak mau bakar kantor pajak?” katanya ringan, lalu berbalik membiarkan Alven masuk. Alven membanting pintu, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa. Kepalanya menengadah, matanya kosong menatap langit-langit. “Papahku gila,” ucapnya berat. Minthea duduk di sampingnya, menyilangkan kaki. “Sudah kuduga. Jadi hari ini acara warisan keluarga, ya?” “Bukan.” Alven menoleh cepat, nadanya dingin. “Hari ini acara jual beli anak.” Minthea menaikkan alis, pura-pura terkejut. “Wow. Jadi kamu dijual?” “Dijodohin,” jawab Alven muak. “Dengan anak pemilik perusahaan logistik. Nadira Halim.” Senyum kecil terselip di bibir Minthea. Nama itu bukan asing baginya. Nadira. Gadis yang dulu berani menatapnya di masa SMA. Ia tak akan lupa. “Dan kamu menolaknya?” tanya Minthea lembut. “Tentu saja!” Alven duduk tegak. “Papa pikir aku mau dijodohin sama orang asing? Papa pikir ini abad berapa?” Minthea memijat bahunya perlahan. “Kamu gak bisa biarin mereka atur hidup kamu, Ven. Kamu bukan boneka.” “Aku udah bilang aku mau nikah sama kamu. Tapi Papa bilang kamu bukan perempuan baik-baik.” Minthea tertawa pelan, getir tapi menggoda. “Tentu aja dia bilang begitu. Karena mereka gak bisa kendaliin aku.” Alven menunduk. Hubungannya dengan Minthea selalu jadi duri di mata keluarga. Tapi hanya dengan Minthea, ia merasa bebas—atau setidaknya, berkuasa. Minthea meraih wajahnya, memaksa tatapan mereka bertemu. “Kalau kamu tunduk sekarang, mereka gak akan pernah berhenti. Hari ini jodohin kamu, besok suruh punya anak, lusa minta kamu lepas saham. Kamu mau begitu?” Alven menghela napas panjang, menatap kota di balik kaca jendela apartemen. “Aku akan lawan mereka, Thea. Aku gak peduli.” Minthea mendekat, melingkarkan lengannya ke pinggang Alven. “Dan aku akan tetap di sini. Seperti biasa. Di sisimu.” Alven menatap jauh keluar jendela, matanya gelap. Dalam hatinya, pernikahan itu bukan sekadar tak masuk akal—tapi penghinaan. Minthea mempererat pelukannya dari belakang, membisik, “Kalau kamu marah... salurkan ke aku. Seperti biasa, Ven.” Alven membuka mata perlahan, menoleh. Tatapan mereka bertemu. Tanpa aba-aba, ia menarik pinggang Minthea dan mencium bibirnya dengan kasar. Tak ada kelembutan—hanya amarah, frustasi, dan pelarian. Ciuman itu berubah liar. Mereka hanyut dalam letupan emosi, bukan cinta. Hanya pelampiasan dari luka yang tak bisa dijelaskan. Beberapa waktu kemudian, setelah semuanya tenang, Alven terduduk di ujung ranjang. Napasnya berat, matanya kosong. Ia meneguk air dingin dari gelas yang diberikan Minthea. “Kamu masih marah?” tanya Minthea lembut. “Enggak,” jawab Alven pelan. “Cuma... gak habis pikir. Kenapa harus aku yang dikorbankan?” “Karena kamu pewaris,” jawab Minthea, suaranya datar. “Kamu aset buat mereka, bukan anak.” Alven memejamkan mata, menahan rasa sesak di d**a. “Aku gak akan datang ke rumah mereka. Mereka bisa paksa aku nikah, tapi gak bisa paksa aku bahagia.” Minthea menyandarkan kepala di bahunya. “Dan aku gak akan kemana-mana.” Alven tak menjawab. Ia hanya menatap langit malam yang redup di luar jendela. Ia sudah memutuskan: pernikahan itu tak akan mengikatnya. ** Langkah Nadira pelan saat memasuki rumah. Blazer abu di tubuh rampingnya tampak kusut, rambutnya diikat rendah. Tapi bukan lelah kerja yang menekannya sore itu—melainkan suasana rumah yang aneh. Di ruang tengah, Ayah dan Ibu sudah duduk. Ekspresi mereka kaku. Tak ada senyum sambutan seperti biasanya. “Ada apa, Yah?” Nadira meletakkan tas, menghampiri. Ayahnya berdiri, menyodorkan map biru berisi foto dan dokumen. “Kamu akan menikah. Dua hari lagi.” Nadira tertegun. Ia menatap wajah ayahnya, lalu map itu. Sebuah foto pria muda berjas rapi—tampan, tapi asing. “Apa maksud Ayah?” suaranya nyaris hilang. “Keluarga Mahendra sudah sepakat. Kamu akan menikah dengan Alven Mahendra,” ujar sang Ibu. Nadira menggeleng, langkahnya mundur. “Enggak… ini gak mungkin! Dua hari lagi?! Kenapa mendadak?” “Karena semua sudah diatur,” jawab Ayahnya tenang tapi tegas. “Kontrak dan jadwal sudah ditandatangani.” “Aku bisa menolak,” ucap Nadira dengan nada tinggi. “Kamu tidak akan melawan, Nadira,” potong Ayahnya. “Ini keputusan keluarga.” Nadira menatap foto Alven dengan tangan bergetar. “Aku bahkan gak kenal siapa dia!” “Justru karena itu kamu akan mengenalnya dalam ikatan sah,” ujar Ibunya pelan. Suara Nadira pecah. “Ini bukan zaman dulu, Yah! Aku bukan alat tukar kerja sama!” Ibunya mencoba menenangkan. “Kami hanya ingin yang terbaik. Alven pria baik, sukses, keluarganya terhormat. Kamu gak akan kekurangan apa pun.” Nadira menatap ibunya dengan mata berkaca. “Tapi aku gak minta semua itu, Bu. Aku cuma pengen hidupku... jadi pilihanku sendiri.” Langkah cepat terdengar dari tangga. Nayla, adiknya, turun dengan wajah panik. Ia langsung memeluk Nadira. “Kak, tenang dulu...” “Dua hari lagi, La...” suara Nadira gemetar. “Aku dijodohin sama orang asing. Aku takut...” Nayla memeluk lebih erat. “Mungkin Ayah punya alasan. Mungkin pria itu akan baik.” Nadira menggeleng dengan tangis pecah. “Sekalipun dia baik... kalau ini bukan pilihanku, aku tetap gak bahagia.” Ayah Nadira menatap mereka dari jauh, suaranya keras tapi dingin. “Kalau kamu hormat pada Ayah, kamu akan jalani ini tanpa protes.” Nadira menatap ayahnya lama, air mata jatuh satu per satu. Hari itu ia sadar—kadang tunduk bukan pilihan, tapi perintah. Dan ia harus menelan semuanya sendirian. ** Nadira terduduk di lantai ruang tengah. Bahunya naik-turun menahan isak. Foto Alven Mahendra sudah terlipat tak beraturan di tangannya. Nayla berlutut di sampingnya, membelai bahu sang kakak. “Kak, napas dulu... pelan-pelan, ya.” “Aku gak sanggup, La...” gumam Nadira di sela tangis. “Dua hari lagi... gimana aku siap?” Nayla hanya mengangguk, menahan air mata sendiri. Ia tahu—sekarang bukan waktu untuk bicara, tapi menemani. Suara Nadira pecah lagi. “Ayah gak kasih pilihan...” Nayla memeluknya erat, dan dalam diam mereka berdua tahu—kehidupan Nadira tak akan lagi sama setelah dua hari itu tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD