Suara gaduh dari lobby lift itu masih terngiang di telinga Nadira. Teriakan Minthea, suara security menahan, dan langkah cepat Alven yang turun dari lantai atas. Dari jauh, Nadira menyaksikan semuanya dengan hati tercekik—bukan karena cemburu… tapi karena takut ada yang semakin runyam. Saat akhirnya Alven selesai bicara dengan security dan memastikan Minthea diusir keluar gedung, ia menoleh sedikit. Sekilas, hanya satu detik, tapi cukup untuk melihat sosok Nadira yang berdiri di belakang pilar, pura-pura sibuk dengan HP. Mata itu langsung melembut. “Sayang,” panggilnya pelan. Nadira mengangkat wajah. “Hmm?” “Ke sini.” Dia mendekat dengan langkah hati-hati, seolah takut menambah emosi Alven. Tapi Alven malah menggenggam pergelangan tangannya lembut, mengarahkannya ke lift privat di si

