Acuh pada Suaminya

1391 Words
Adzan dzuhur berkumandang, mereka semua kembali ke kamar masing-masing untuk sholat. Mita sudah melaksanakan kewajibannya lalu keluar kamar dan ikut bergabung dengan keluarganya yang lain. Ia sudah duduk manis di kursi meja makan tanpa memperdulikan suaminya yang masih tidur. Ia seakan lupa bahwa sudah menjadi istri, entah balas dendam atau memang benar-benar lupa. Bunda dan Kak Anjani bingung sekali melihat Mita yang menurut mereka sangat aneh. "Dik, mana suamimu?" "Masih tidur, Kak." "Enggak dibangunin?" "Biarkan saja dulu Kak, mungkin dia merasa lelah. Lagipula Mita juga mau banyak waktu dengan Kakak dan Bunda tanpa diganggu olehnya," ucapnya acuh dan benar-benar membuat curiga. Bunda dan Kak Anjani hanya menganggukan kepala lalu diam. Saat ini, cara diam adalah lebih baik dari apapun. Mereka pikir, mungkin Mita memang benar-benar sedang merasa ingin tak diganggu. Mereka makan dalam diam, Bunda dan Kak Anjani menggelengkan kepala saat melihat Mita makan seperti orang yang sedang kelaparan bahkan tak makan dalam beberapa hari. Lahap sekali makannya, atau mungkin karena masakan kesukaannya juga yang membuat dia makan sangat lahap? "Pelan-pelan makannya, Nak," tegur Bunda. "Hehe, iya Bun, maaf. Habisnya makanan ini sungguh Mita rindukan kelezatannya," puji Mita pada sang Bunda yang sudah menyiapkan masakan luar biasa. "Kau makan sebanyak itu Mita nanti suamimu makan apa?" "Masih banyak yang lain Kak, lagian ia tak terbiasa makan enak. Biarkan sajalah," jawabnya. Lagi-lagi Mita menjawabnya dengan acuh dan seakan tak peduli. "Kamu baik-baik saja, Dik?" "Baik-baik saja Kak, memangnya kenapa?" "Kok rasanya aneh sekali dirimu, Dik?" "Aneh bagaimana, Bun?" "Seakan tak peduli dengan suamimu. Sebenarnya ada apa?" "Bukan tak peduli, Bun. Mas Ali memang sedang tidur karena ia merasa lelah kemarin baru pulang dari kuliah dan harus mengantarkan Mita kesini. Jadi, biarkanlah dia istirahat dengan puasnya, Bun. Dan kami tidak ada apa-apa, Bun. Baik-baik saja, tenang ya," jawabnya berbohong. Kak Anjani mengangguk paham dan tersenyum tulus namun berbeda dengan Bunda. Bunda paham betul anaknya bagaimana dan seperti apa, ada yang berbeda dari anaknya. Orang lain mungkin bisa ditipu oleh senyum dan perkataannya yang seakan baik-baik saja, namun seorang Ibu tak akan bisa ditipu. Sebab naluri seorang Ibu sangatlah kuat, ia akan tahu anaknya sedang tidak baik-baik saja, tetapi Bunda tetap diam agar tak menyinggung perasaan anak bungsunya itu. Ada apa denganmu, Nak? Mengapa kau membohongi kami? Sebenarnya ada apa? Kau mungkin terlihat baik-baik saja, namun tidak dengan hatimu, Nak. Bunda bisa melihat semuanya, Nak. Hatimu saat ini sangat begitu rapuh, sorot matamu memberikan jawaban tidak sama seperti yang bibirmu katakan. Hatimu mencoba menyembunyikan sesuatu tapi nyatanya itu sangat tidak bisa jika di hadapan Bunda, Nak. Kau sekarang sudah besar, Nak. Dulu, masalah sekecil apapun pasti kau akan menceritakannya pada Bunda atau Ayah, tetapi kali ini berbeda, kau tetap diam dengan pendirianmu dan diam dengan semua amanah yang Bunda sampaikan. Kau anak hebat, Nak. Bunda hanya berdoa, seberat apapun masalahmu, semoga kau bisa menyelesaikannya dengan tenang dan dijauhkan dari emosi juga keegoisan semata, selamat menjalani kehidupan baru sebagai istri, Nak. Manis, asam, asin dan pahitnya sebuah kehidupan harus kau telan dalam-dalam, dan harus selalu bisa memaafkan kesalahan suamimu. Bunda memandang nanar anaknya itu, beliau berusaha semaksimal mungkin menahan bulir kristal yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Beliau menyelesaikan makannya dan kembali ke kamar, tangisnya pecah saat di kamar. Beliau melihat sebuah penderitaan dari sorot mata Mita. Namun, anak bungsunya seakan terlihat baik-baik saja, sungguh ia anak yang hebat. Benar-benar patuh akan sebuah nasihat yang bundanya berikan. Sang Bunda sekarang justru merasa sangat bersalah karena sempat meminta anaknya untuk memendam semua apa yang dirasakannya. Di tempat lain, Mita kembali ke kamarnya dan melihat suaminya masih tertidur dengan pulas. Ia membangunkan untuk sholat dzuhur dan makan siang. Ali menganggukkan kepalanya patuh, ia segera ambil air wudhu dan menyelesaikan kewajibannya lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandang istrinya dengan kata-kata yang tak bisa dijelaskan. "Kenapa Mas memandangku seperti itu?" tanya Mita yang merasa risih di pandang seperti buronan oleh suaminya. "Kamu sedang apa, Dik?" "Main ponsel dan ada beberapa tugas yang harus dikerjakan. Memangnya kenapa?" "Kau tidak mengambilkan makan Mas?" "Kenapa Mas enggak ambil sendiri? Lagian disini kalau makan di meja makan Mas bukan di kamar. Itu aturan yang sejak dulu Ayah terapkan terkecuali orang itu sakit. Apa perlu aku antar ke meja makan?" Ali mengangguk, dan Mita bangkit berjalan keluar menuju dapur dan meja makan. Suaminya mengekor jalan di belakangnya, sesampainya di dapur, Mbok segera menyiapkan makan untuk Tuan Mudanya sedangkan Mita masih asik dengan ponsel dan tugasnya. "Mohon maaf Tuan, makanan yang masih ada hanya ini saja. Non Mita tadi makan sangat banyak sekali, katanya rindu dengan masakan Bunda." "Iya enggak pa-pa Mbok, terimakasih ya," ucap Ali tersenyum. Cih! Dasar lelaki penuh drama! Kau berlaga baik sekali di depan Mbok dan semua keluargaku! Sekarang, aku yang berkuasa karena kau berada di rumahku! Tak peduli kau makan enak atau tidak, makan saja apa yang disediakan jangan kebanyakan protes karena disana kau sudah terbiasa memakan tempe! ucap Mita dalam hati sinis. Suaminya melihat ke arah Mita, menggelengkan kepalanya dan mulai memakan makanan di hadapannya. Gadis kecil! Kau disini seakan berkuasa! Seenaknya memperlakukanku seperti ini! Apakah kau lupa kodratmu! Lihat saja, ketika kau kembali ke Bogor akan kubuat menderita seperti sebelumnya! gerutu Ali dalam hati memandang istrinya sinis. Tak ada ucapan sepatah kata dari mulut mereka berdua hingga malam dan keesokan harinya pun tak ada obrolan penting. Suaminya pamit pulang kembali ke Bogor karena tugas dan Mita mempersilahkan dia pergi tanpa menangisi ataupun apapun. Justru ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena merasa terbebas dari Ali. "Dik, Mas pamit pulang ke Bogor ya, kamu jaga diri baik-baik disini dan jaga kesehatan, jangan telat makan," ucapnya mengelus kepala istrinya yang tertutup jilbab. Cih! Drama drama dan drama terus kamu itu, Ali! Di depan semua orang kau pandai sekali berdrama! Dasar lelaki pemain drama! "Iya Mas, jaga diri baik-baik juga ya selama aku disana. Ingat makan jangan sampai lupa untuk makan ke dapur umum," sindirnya dengan senyum yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ali hanya membalas dengan senyum masam, rupanya lelaki itu merasa tersindir. "Bun, titip Mita ya. Ali kembali lagi berangkat ke Bogor." "Iya, tenang saja. Mita aman disini dan akan baik-baik saja, semuanya pasti akan sangat terjamin," ucap Bunda menenangkan. Ali dan Mita berjalan keluar rumah menunggu mobil travel yang sudah di pesan. "Dik, Mas pamit pulang ke Bogor ya, kamu jaga diri baik-baik disini dan jaga kesehatan, jangan telat makan," ucapnya mengelus kepala istrinya yang tertutup jilbab. Cih! Drama drama dan drama terus kamu itu, Ali! Di depan semua orang kau pandai sekali berdrama! Dasar lelaki pemain drama! "Iya Mas, jaga diri baik-baik juga ya selama aku disana. Ingat makan jangan sampai lupa untuk makan ke dapur umum," sindirnya dengan senyum yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ali hanya membalas dengan senyum masam, rupanya lelaki itu merasa tersindir. "Bun, titip Mita ya. Ali kembali lagi berangkat ke Bogor." "Iya, tenang saja. Mita aman disini dan akan baik-baik saja, semuanya pasti akan sangat terjamin," ucap Bunda menenangkan. Ali dan Mita berjalan keluar rumah menunggu mobil travel yang sudah di pesan. "Dik," "Iya Mas?" "Ini Mas kasih uang seratus ribu, cukup tidak cukup harus cukup ya, Dik. Uangnya sudah Mas bagi-bagi untuk bayar arisan ke Emak dan untuk biaya kuliah." "Alhamdulillah, diterima ya Mas. Tak apa Mas, aku 'kan masih bekerja dan bisa cari uang sendiri. Jadi tenang saja, ada tambahan dari uangku sendiri untuk biaya hidup disini." "Baiklah kalau begitu. Mas pergi ya Dik, itu mobilnya sudah datang, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Seratus ribu cukup untuk apa Mas? Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiranmu, Mas! Untung saja aku masih bekerja dan cari uang sendiri, jadi aku masih sanggup untuk menafkahi diriku sendiri. Ya Allah, sungguh bukan maksudku tak bersyukur, hanya saja mengapa suamiku seakan tak pernah memikirkanku dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Terkadang, otaknya itu seperti tersumbat dan membuatnya menjadi asal sekali dalam suatu keadaan. Ah sudahlah! Enggak ada gunanya juga menggerutu, lebih baik masuk ke dalam kamar dan bercerita dengan sahabat penaku. Tanpa Mita sadari, ada sepasang mata yang memperhatikannya dari jauh. Menatap nanar gadis kecil itu, bulir kristalnya jatuh kembali, dadanya terasa sesak, ia tak menyangka putrinya menderita dan tidak bahagia. Ia merasa menyesal karena sudah sempat setuju dengan sebuah perjodohan tanpa maksud yang pasti tujuannya apa dalam perjodohan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD