Kembali Pulang ke Pekalongan

1128 Words
Seminggu sudah berlalu, akhirnya waktu yang ditunggu datang juga, Mita sangat mengharapkan secepatnya bisa kembali ke rumah dan bertemu keluarganya. Selepas sholat subuh, Mita segera prepare memasukkan semua pakaian dan peralatan lainnya ke dalam tas. Pagi ini tak ada drama dari suaminya itu, justru ada senyum yang tak pernah terlihat dari wajahnya yang kaku. Mita sempat merasa heran dengan perubahan suaminya itu, namun ia mulai berpikir mungkin suaminya masih membayangkan permainan yang semalam. Ia menggedikan bahu dan berusaha masa bodoh saja, sebab itu hanya sebuah pelajaran agar lelaki itu tak seenaknya membuat Mita naik ke puncak lalu di hempaskan begitu saja tanpa ada permainan sedikitpun. "Sudah siap semua, Dik?" "Sebentar lagi siap Mas. Tunggu ya," balas Mita singkat. Suaminya itu kadang kala baik dan kadang kala juga jahat, seperti berkepribadian ganda. Kadang, Mita merasa suaminya itu bukan seperti orang yang dikenal, bersikap dan bertingkah layaknya orang lain yang masuk ke raga suaminya. Aneh tapi nyata dan memang itu adalah kenyataannya. Ada rasa curiga di dalam benaknya yang paling dalam, ia merasa memang ada yang tidak beres dengan suaminya itu. Terlalu banyak tanda tanya besar dalam kehidupan yang baru seminggu ini. Perlahan namun pasti, satu persatu drama pasti akan mulai bermunculan dan kebenaran pasti akan terlihat. Sebenarnya, Mita memang sangat ingin sekali pulang ke Pekalongan, ia merindukan keluarganya terlebih lagi ada tugas mengajar yang siap menantinya disana, namun disisi lain ia merasa sedih karena harus meninggalkan suaminya sendirian di pondok yatim tersebut. Walaupun sebelumnya memang lelaki itu lebih terbiasa sendiri, terbukti dalam hal kecil seperti makan aja ia hanya memikirkan diri sendiri dan perutnya tanpa memikirkan istrinya. Mita bahagia akan pulang ke rumah, karena ia akan makan dengan puas dan lahapnya, bukan hanya itu ia juga bisa kembali beraktivitas seperti biasanya. Setidaknya semua aktivitas itu dapat membuatnya mengikis rasa sakit yang ia dapat ketika bersama suaminya. Semua persiapan sudah beres, mereka berdua melangkah keluar kamar disambut oleh beberapa ustad yang mengantar kepergian mereka. Lagi-lagi suaminya itu memang sangat pintar sekali berdrama. Lelaki itu menggenggam tangan Mita sangat erat sekali bahkan sesekali menarik pinggang istrinya posesif, ia terlihat sangat bahagia di depan orang lain dan benar-benar memakai topeng, topengnya akan terlepas jika orang lain tak melihatnya. Imam Hamdali, lelaki keras, kaku, menyebalkan dan selalu ingin dipandang baik di depan orang lain, dihormati di depan orang lain. Lelaki yang tak pernah sedikitpun memperlakukan istrinya dengan baik jika sedang berduaan. Itu yang sudah terlihat dalam seminggu ini, terlihat sangat jelas di depan mata. Mita menarik nafas panjang, menarik seulas senyum dari bibirnya dan ikut berdrama seperti suaminya yang sangat bahagia. Suaminya berniat mengantar sampai rumah, dan keesokan harinya akan kembali lagi ke Bogor dengan aktivitas masing-masing. Selama perjalanan pulang ke Bogor tak banyak yang mereka bicarakan, bahkan sepatah katapun jarang keluar dari bibir mereka. Mita merasa sangat lelah dan lebih memilih untuk istirahat menyandarkan tubuhnya di kursi empuk bus. Sesekali suaminya melihat ke arah Mita, bagaimana wanita itu bisa mengetahuinya? Sebab, ia melihat dari ujung matanya tepat saat lelaki itu memandang lekat wajah Mita. Namun, Mita berusaha masa bodoh dan tak memperdulikannya. Ia hanya berharap segera sampai di rumah, merebahkan tubuhnya di atas ranjang kamarnya dan makan sepuasnya. Akhirnya setelah menempuh perjalanan jauh, mereka berdua sampai juga di rumah dan disambut hangat oleh sang Bunda dan Kak Anjani juga Mas Saka anak Kak Anjani. Ali akan menginap semalam di rumah lalu esok menempuh perjalanan jauh lagi ke Bogor. *** "Asalamualaikum," ucap Mita membuka pintu dan langsung masuk ke dalam mencari keluarganya. "Waalaikumsalam anak Bunda," sambut Bunda dengan mata berbinar melihat anak bungsunya datang dan saat ini berada di hadapannya. Wanita paruh baya itu langsung memeluk erat anaknya, Mita merasakan tubuh Bundanya bergetar. Mita mengelus lembut punggung Bundanya dengan penuh kasih sayang. "Bunda kenapa?" "Bunda kangen, Nak," ucapnya memeluk kembali anaknya. Bund seakan paham apa yang dirasakan oleh anaknya. "Bun, gantian peluk anak kecilnya napa," sergah Kak Anjani. "Hehe, maaf Nak. Bunda rindu sekali sama Adik Mita," ucapnya melepaskan pelukan dan Mita beralih ke Kak Anjani. Mereka berpelukan dengan sangat eratnya, dekapan hangat seorang Kakak seakan menyampaikan sebuah kekuatan bahwa harus terlihat baik-baik saja. Pelukan Mita beralih pada Mas Saka, anak Kak Anjani. Setelah puas berpeluk ria, mereka beranjak ke kamar untuk istirahat. Ali membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya tak lama ia sudah melayang ke alam mimpi. Mita keluar kamar dan menuju ke dapur mencari cemilan yang bisa dimakan olehnya. Mbok memperhatikan dari jauh Nyonya Mudanya itu seperti tidak makan dalam beberapa hari. Mbok menggelengkan kepalanya dan mendekati Mita dengan perlahan. "Non Mita," panggil Mbok. "Eh Mbok, ya Allah apa kabar?" "Baik Non. Nona lapar?" "Hehe, iya Mbok. Aku lihat ada brownis ini jadi kumakan aja, lapar sekali Mbok," ucapnya dengan mulut penuh makanan. "Mau Mbok masakan sesuatu?" "Enggak usah Mbok, Mita makan cemilan ini saja, lagipula sebentar lagi 'kan makan siang." "Ya sudah, Mbok masak dulu ya Non." Mita mengangguk dan Mbok berlalu pergi untuk menyiapkan makan siang mereka semua. Bunda keluar kamar dan berjalan ke dapur, berniat membantu Mbok memasak dan membuat masakan kesukaan Mita. Beliau melihat anak bungsunya sedang makan brownis dengan sangat lahapnya dan memandangnya aneh juga bingung. Kenapa Mita makan seperti orang kelaparan begitu ya? Apa dia belum makan? Atau tidak pernah makan enak selama di Bogor? Mengapa hatiku sangat sakit sekali melihat pemandangan anak bungsuku yang makan seperti orang kelaparan, ucapnya dalam hati. Bunda mendekati Mita dan memperhatikan anak bungsunya yang terlihat sangat menikmati kue tersebut. Mita mengangkat kepalanya dan melihat Bunda tepat berada di hadapannya, ia tersenyum kaku saat Bunda memergokinya. Bunda hanya tersenyum tulus melihat anak bungsunya itu. "Lapar Nak?" "Enggak Bun, hanya ingin ngemil saja." "Memang kau disana selama seminggu ini tidak ngemil, Nak?" "Ngemil kok, Bun. Tapi, entah mengapa kue ini terlihat sangat lezat dan minta di makan hehe, jadi Mita makan deh," ucapnya melucu. Bunda hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah konyol anaknya itu. "Ya sudah, Bunda bantuin Mbok masak dulu ya. Akan ada makanan spesial untuk Mita," pamit Bunda. Mata Mita berbinar saat mendengar makanan spesial karena Bunda sudah pasti akan memasak makanan kesukaannya. Mita mengangguk patuh, tersenyum tulus dan melanjutkan kembali ngemilnya. Di tempat lain, saat Mbok sedang asik masak, Bunda mendekat ke arahnya dan mulai membantu Mbok. "Nyonya," panggil Mbok. "Kenapa Mbok?" "Nona Mita kenapa ya, Nyonya?" "Kenapa apanya Mbok?" "Terlihat sangat aneh sekali, Nyonya. Nona Mita seperti tidak pernah memakan makanan enak sehingga membuatnya makan sangat lahap seperti itu," ucap Mbok tiba-tiba. "Emang Mbok melihat Mita ngemil?" "Lihat Nyonya, Mbok melihatnya sangat kelaparan sekali dan Mbok juga menawarkan makanan namun ditolak olehnya." "Kenapa ditolak?" "Katanya, bentar dia hanya ingin ngemil." "Hmm begitu, ya sudah Mbok. Ayo kita lanjutkan saja masak. Kita bikin masakan kesukaan Mita ya Mbok, menyambut kedatangan anak bungsu," ucap Bunda dengan sangat bahagia sekali. Mbok mengangguk patuh dan ikut tersenyum bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD