Penyerangan Awal

1614 Words
Pagi menjelang siang, hawa dingin masih terasa menusuk sekali di tulang. Selesai mandi, Mita kembali naik ke atas ranjangnya dan bingung mau melakukan apa. Suara gaib mulai terdengar dari perutnya yang merasakan lapar sekali. Ia bingung sekarang, mau keluar kamar tetapi sudah diperintah untuk tetap di dalam kamar, lalu bagaimana ia akan sarapan? Apakah nasibnya akan sama seperti kemarin? Atau mungkin lebih parah tak akan ada sesuap nasipun yang mengganjal perutnya? Mita menunduk, tanpa terasa bulir kristal jatuh membasahi pipinya, jika di rumah keadaannya pasti tidak akan seperti ini. Ia akan makan dengan puasnya, tidak kelaparan seperti sekarang ini dan pasti ada teman mengobrol untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Tiba-tiba pintu kamar diketuk dan ada yang masuk, ia mengusap kasar sisa-sisa bulir kristal yang masih jatuh membasahi pipinya, ia tak ingin terlihat lemah di depan suaminya. Ia sudah bertekad mulai dari saat Ali memperlakukannya dengan semena-mena, ia akan terlihat sangat kuat bahkan lebih kuat dari sebelumnya seperti karang tajam yang siap menusuk siapapun dalam air jernih. "Dik, sedang apa?" "Enggak sedang apa-apa, Mas. Kenapa?" "Ayo ikut Mas," ajaknya mengulurkan tangan seraya mengajaknya pergi. "Kemana?" "Jalan-jalan," balasnya singkat. "Serius? Mas enggak bohong?" pekiknya tak menyangka. "Iya, ayo cepat. Pakai gamismu dan jilbabmu, kita jalan-jalan!" perintahnya. Mita bergegas, ia merasa bahagia sekali akhirnya keluar dari kamar dan jalan-jalan bersama suami. Ia berpikir doanya sudah diijabah oleh gusti Allah untuk membolak-balikkan hati suaminya lagi seperti awal. Mita pov Setelah ia merasakan kepuasan lalu aku ditinggalkan begitu saja, dasar suami macam apa kau ini! Kesal sekali aku dibuatnya olehmu! Kau pergi dari kamar tanpa memberiku sarapan juga! Benar-benar lelaki tak bertanggung jawab, aneh sekali sikapmu sekarang ini, seakan semua sikapmu sebelumnya hanya sandiwara semata. Apakah memang benar semuanya hanya sandiwara? Tetapi mengapa? Mengapa kau setega ini? Apa salahku padamu? Jika memang semua ini hanya sebuah drama pernikahan, lalu buat apa kau merayuku untuk menikah, menjadi istrimu dan menjadi ibu dari anak-anakmu? Ya Allah, apakah ini benar-benar kehidupanku yang sebenarnya sekarang? Tetapi mengapa sangat menyakitkan seperti ini? Mengapa Allah meridhoiku untuk dinikahkan olehnya? Ya Allah, sungguh tak ingin kehidupan yang seperti ini. Lapar sekali rasanya, semalam hanya makan beberapa suap dan ia menghabiskan sepiring makan yang seharusnya untukku. Lalu bagaimana pagi ini aku akan makan? Beras tak ada, makanan ringanpun tak ada, hanya ada air mineral saja, apakah aku harus meminum air mineral lagi untuk menghilangkan rasa laparku? Ya Allah, mengapa suamiku setega ini padaku. Aku rindu sekali dengan keluarga, mungkin apabila mereka tau keadaanku tak menyenangkan seperti ini, sudah dapat dipastikan Ali akan habis oleh Kak Anjani dan Mas Rizky. Tetapi, aku tak mungkin membuatnya menderita karena kedua kakakku, lagi pula dulu sebelum menikah Bunda sudah berpesan bahwa sebesar apapun masalahmu maka telan dan selesaikan sendiri, jangan pernah menarik orang lain untuk masuk ke dalam masalah rumah tangga, karena itu tidak baik. Tangisku pecah merasakan rindu pada keluarga di Pekalongan, ia ingin sekali pulang dan keluar dari sebuah penderitaan ini. Saat aku sedang menangis dan meratapi semua nasibku yang tak menyenangkan ini, tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh suamiku. Kuhapus kasar sisa-sisa air mata yang sudah membasahi pipi agar tidak ketahuan oleh Mas Ali. Mas Ali tiba-tiba mengajakku untuk keluar kamar dan katanya jalan-jalan. Kuberpikir bahwa akan jalan-jalan keluar dari pondok, namun lagi-lagi pikiranku salah. Jalan-jalan yang dimaksud olehnya adalah mengeliling pondok yang sangat luas ini. Awalnya merasakan kesal yang mendera hati, namun perlahan kutepis semua rasa kesal itu. Kuhirup dalam-dalam aroma segar pagi hari, matahari menyinari bumi dengan bahagia sekali. Kulangkahkan kakiku dengan sangat ringan sekali, menikmati pemandangan yang luar biasa di area pondok berhasil mengobati sedikit rasa sakit hatiku pada suami. Pemandangannya sungguh sangat luar biasa, pepohonan tinggi menjulang membuat sekitar menjadi tenang, suara binatang saling menyahut satu sama lainnya membuat kedamaian semakin terasa dalam hati. Sungguh, nikmat Allah mana lagi yang ingin didustakan? Dikala hati penuh dengan rasa gundah gulana dan emosi yang tak terkira, Allah suguhkan pemandangan luar biasa ini, Allah hadiahkan pemandangan yang pasti akan membuat siapapun iri dan ingin tinggal di sekitaran pondok. Aku seperti burung yang keluar dari dalam sangkar, seulas senyum selalu kuperlihatkan karena merasa bahagia sekali. Walaupun di setiap langkah kakiku merasa lelah karena seperti kejar-kejaran dengan suamiku. Langkah kakinya yang panjang tak bisa mensejajarkan langkahku. Suamiku ini pintar sekali drama rupanya, pasalnya hingga saat ini sudah banyak drama yang ia mainkan padaku. Dari mulai menipu semua keluargaku dengan beralasan membawaku ke Bogor untuk honeymoon namun kenyataannya tak sesuai, bersikap manis di depan kepala sekolah dan jajaran ustad lainnya seakan sangat bahagia dan mencintaiku namun kenyataanya tak seperti itu dan seperti sekarang ini. Apabila di perjalanan kami bertemu dengan penduduk sekitar maka ia akan berhenti dan menggandeng tanganku namun ketika sudah bertegur sapa dengan penduduk, aku dihempaskan kembali dan ia asik jalan sendirian. Penampilanku kali ini sungguh sangat beda, aku sampai tak menyangka saat tadi bercermin bahwa di hadapan cermin itu adalah Aurora Sasmita. Pasalnya, kali ini aku memakai gamis lebar dan jilbab lebih lebar tidak seperti biasanya lalu menyematkan cadar untuk menutupi wajah manisku. Ini lingkungan pondok yang wanitanya semua bercadar maka dari itu aku sengaja membeli pakaian dengan tabunganku sendiri bukan dari suamiku, walaupun harganya cukup mahal tetapi aku berusaha untuk menyenangkan hatinya dan memantaskan diriku. *** Hari-hari Mita di pondok masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Suaminya seringkali meninggalkannya di kamar sendirian tanpa makanan dan hanya ada air mineral saja. Suaminya seringkali lupa membawakan makanan dari dapur umum untuk Mita. Entahlah, ia benar-benar lupa atau sengaja melupakan istrinya. Seharian Mita hanya makan sekali dan itupun hanya beberapa suap selebihnya suaminya lah yang menghabiskan. Tega? Sungguh, benar-benar sangat tega, namun Mita berusaha menahannya tanpa pernah membantah dan menjawab ucapan suaminya itu. Setiap hari saat ia meminta haknya untuk b******u pun tidak selalu sesuai dengan apa yang Mita harapkan. Suaminya itu seakan lebih senang membuat Mita tanpa sehelai benangpun dengan pandangan fokus pada ponsel dan tangan lainnya meraba yang lain lalu tiba-tiba ia klimaks dan menghempaskan Mita dengan rasa yang sulit dijelaskan dengan sebuah kata-kata. Mita sering merasa tidak puas dengan pelayanan suaminya karena memang ia hanya memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan istrinya. Weekend adalah jadwalnya kuliah ke Jakarta. Seharian itu Mita benar-benar ditinggal tanpa uang sepeserpun, tanpa makanan dan diperintah untuk tidak keluar dari kamar. Selama di Bogor benar-benar di siksa secara perlahan, tak ada makanan dan hanya ada minuman yang menghilangkan rasa laparnya walaupun tergantikan dengan rasa kembung. Sore menjelang maghrib ia datang membawa sebuah bingkisan, Mita pikir bingkisan tersebut adalah makanan namun ternyata bukan. Ia tak mengerti dengan pikiran suaminya itu, bukannya membawa makanan ini justru membawakan Mita pakaian. Pakaian tersebut dibawanya untuk Mita namun ternyata bukan pakaian untuk sehari-hari melainkan pakaian seksi. Mita menatap semua pakaian tersebut dengan tidak percaya, ia menggelengkan kepalanya saja. "Bagaimana Dik? Bagus 'kan? Nanti dipakai ya," ucapnya dengan senyum sumringah. Bagus? Apanya yang bagus? Pakaian aneh dibilang bagus, dan juga otakmu dimana sih, Mas! Bukannya membawa makanan ini malah membawa pakaian yang sungguh tak bisa di pakai untuk sehari-hari! Dasar lelaki m***m dan aneh! gerutu Mita dalam hati. "Iya Mas, bagus." Singkat, jelas, padat, Mita hanya menjawab pertanyaannya suaminya dengan singkat dan tersenyum masam. "Tapi Dik, pakaian-pakaian ini cocok enggak ya di pakai di tubuhmu itu?" "Memang kenapa Mas?" "Ya tubuhmu 'kan kurus tidak montok, apakah terlihat indah nantinya? Atau justru seperti triplek yang di pakaikan pakaian seksi?" ucapnya sarkas. Tanpa ia sadari, perkataannya itu sungguh membuat Mita sangat sakit hati. Mita tak ingin berdebat dan ia memilih tak menjawab pertanyaan suaminya. Malam ini, ia akan sengaja memakai pakaian yang diberikan suaminya itu dengan harapan suaminya senang dan akan memuji istrinya. Namun, lagi-lagi sakit hati yang dirasakan oleh Mita, suaminya tidak memuji dan justru malah tertawa melihat istrinya. "Haha, tuh 'kan Dik, kau terlihat sangat aneh sekali memakai pakaian seksi itu. Ah, buang-buang uangku saja jika seperti ini!" ucapnya menyebalkan. Mita tak memperdulikannya, ia mengganggu aktivitas suaminya yang sedang asik menonton file film blue yang memang ia simpan dan siapkan. Saat film sudah berjalan di pertengahan, Mita mulai menyerang suaminya. Ia mencumbu Ali, mencium setiap inci tubuh suaminya membuat lelaki itu terbuai dan merasa melayang atas permainan Mita. Permainan istrinya semakin jauh semakin membuat Ali tak kuat menahan gejolak cinta yang sejak tadi sudah ia tahan. Namun, ia tetap berusaha menahannya agar tidak terlihat lemah dan kalah dengan istrinya itu. Mita terus melanjutkan permainannya lebih jauh, ia harus membuat suaminya tak berdaya di bawah permainannya. Mita mulai naik ke tubuh suaminya dan bermain dengan lihainya disana, sebenarnya tidak terlalu lihai, ia hanya mengingat-ingat beberapa adegan yang dalam beberapa hari ini ditonton bersama suaminya. Mita mulai memasuki inti tubuh suaminya dan bermain dengan ritme yang perlahan membuat gejolak cinta suaminya mendesak ingin keluar. Tubuhnya bergetar dengan hebatnya, tangannya mulai menggenggam lengan Mita sangat kuat dan ia melepaskan juga menyemburkan lahar panas di tubuh inti istrinya. Keduanya merasa seperti habis melayang di udara, terhempas jauh hingga ujung samudra dan tersadar akan sebuah kenyataan, berbaring berdua dengan berpelukan. Ali merasa ketagihan dengan permainan yang dimainkan oleh Mita membuatnya mengajak istrinya itu untuk melakukan berkali-kali seakan tak ada rasa puas dalam diri mereka. Hati Mita merasa puas dan tersenyum, ia berhasil membuat suaminya masuk dalam permainannya. Rasa sakit, kecewa dan air mata yang diberikan oleh suaminya tergantikan dengan membuat suaminya terkapar tak berdaya seperti sekarang karena permainan Mita. Ia merasa tubuhnya saat ini linu dan tulang belulang lepas satu persatu dari tubuhnya. Mereka tertidur bersama dengan berpelukan sebab esok hari Mita harus kembali lagi ke Pekalongan. Setidaknya, ia merasakan puas luar biasa sebelum pulang sudah memberikan sebuah kepuasan pada suaminya yang aneh itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD