Hari Pertama Menjadi Seorang Istri

1163 Words
Adzan subuh berkumandang, Mita terkejut saat bangun dari tidurnya melihat ada lelaki di sampingnya sedang memeluk tubuh mungilnya itu. Ia baru tersadar, saat ini sudah menjadi seorang istri. Pipinya langsung merah merona saat berada di dekapan Ali, lelaki itu mendekap dengan sangat erat sekali. Mita mencoba membangunkannya untuk mengajak sholat subuh bersama. Keadaan semalam membuat Mita canggung dan sekarang semakin dibuat canggung, ia merasa bingung sekali harus melakukan apa. Ia hanya bisa memandang d**a bidang suaminya yang semakin lama terasa semakin nyaman untuk tempat bersandar. Ia menyandarkan kembali kepalanya di d**a bidang yang hanya tertutup dengan singlet dan memperlihatkan bulu d**a yang berhasil membuat Mita susah meneguk slavinanya. Rasanya, ia ingin sekali menerjang suaminya saat ini, itu semua karena ulah suaminya yang membuat Mita nanggung semalaman. Gadis itu berusaha mengenyahkan pikiran kotornya itu, dan menggelengkan kepalanya pelan. Ya Allah, Masya Allah pikiran macam apa ini, Mita … Mita enyahkan lah pikiran kotormu itu dan lebih baik sekarang bangunkan suamimu untuk sholat subuh berjamaah, ucapnya dalam hati. "Mas, bangun. Ayo kita subuhan," ucap Mita dengan suara lembut membangunkan suaminya. Ali bukannya bangun justru makin menarik Mita dalam pelukannya dan semakin membuat pipi istrinya merona. "Ayo Mas, bangun." "Sebentar lagi, Dik. Mas masih mau memelukmu," bisiknya di telinga Mita. Akhirnya Mita menuruti keinginan suaminya itu, Mita semakin masuk ke dalam dekapan Ali. Ali mulai menghirup dalam-dalam aroma rambut dan tubuh istrinya yang menyebarkan aroma lavender. Aroma yang menenangkan dan memabukkan bagi siapa saja yang menghirupnya lebih dalam lagi. Ali dibuat mabuk oleh aroma Mita membuatnya tak sanggup menahan gejolak yang sudah ia tahan sejak semalam. Tangannya dengan lembut bergeriliya meraba dan mengusap semua setiap inci tubuh istrinya itu. Ia mulai meremas gundukan gading yang masih ranum dan tak pernah terjajah oleh sebuah tangan lelaki. Permainannya semakin jauh membuat Mita terbuai dan terlena, istrinya semakin masuk ke dalam permainan itu dan seakan meminta lebih, meminta sesuatu yang sudah seharusnya terjadi tadi malam namun terlewatkan karena rasa lelah yang mendera tubuh sepasang pengantin baru itu. Ali mulai mencumbu setiap inci tubuh Mita membuatnya semakin menggelinjang tak menentu, saat permainan mereka semakin jauh tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, suara Bunda mengingatkan sholat subuh dan membuat permainan mereka berhenti juga nanggung lagi untuk yang kedua kalinya. Ada rasa kecewa yang mendera di hati Mita namun bagaimana lagi, keadaan sedang tidak berpihak padanya. Mereka berdua bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan sholat bersama. *** Hari pertama menjadi istri seorang Imam Hamdali, rasanya bingung dan canggung sekali ingin melakukan apa. Apa yang dilakukan jadi serba salah karena kali ini serba ada yang memperhatikan. Hari pertama setelah menikah karena bingung mau melakukan apa, jadi lebih baik membereskan rumah bersama-sama. Situasi rumah yang masih kacau balau karena acara kemarin, mereka berdua membereskan dengan diselingi canda dan tawa. Bunda yang memperhatikan mereka semua dari jauh dengan senyum dan tawa yang tak pernah lepas dari bibir anaknya membuat beliau sangat bahagia dan lega menyerahkan anaknya ke orang yang tepat. Ayah, lihatlah anak bungsumu sekarang terlihat sangat bahagia sekali. Berbahagialah dirimu ayah karena melihat anakmu juga bahagia. Kita menyerahkan anak ke lelaki yang tepat, Ayah, batin Bunda berbicara. Setengah hari sudah mereka menyelesaikan pekerjaan rumah, membereskan hingga benar-benar rapi kembali seperti semua. Lelah sudah pasti, tetapi karena dikerjakan berdua bersama suami maka rasa lelah seakan lenyap begitu saja. Justru, terlalu banyak rasa bahagia yang mendera hati mereka berdua karena canda dan tawa yang hadir di antara mereka. Mita pov Kemarin adalah hari bersejarah dalam hidupku, dimana aku dinikahkan oleh lelaki yang belum terlalu kukenal namun sikapnya sungguh sangat luar biasa baik, kasih sayangnya sungguh tak terhingga, rasa cintanya mampu membuat siapapun iri. Seulas senyum selalu terlihat jelas di wajahku itu sudah pasti, bahagia satu kata namun dapat mengartikan segala keadaan. Kubahagia karena hidupku sudah sempurna dengan menikah, namun ada kesedihan yang mendera diri dan hatiku. Pernikahan yang kudambakan tak dihadiri oleh Ayah. Sedih, namun bagaimana lagi? Ketika kita mempunyai harapan luar biasa tetapi harapan tersebut seakan lenyap karena sebuah takdir hidup yang harus dijalani seumur hidup. Kehilangan seseorang untuk selamanya memang punya ruang kehancuran sendiri di dalam diri dan hati. Memang, aku berusaha setegar mungkin tapi tidak menutupi rasa sakit dan sedihku. Bulir kristal meleleh begitu saja membasahi pipiku saat aku resmi menjadi istri Mas Ali. Istri? Rasanya aku selalu tersipu malu saat mendengar sebuah julukan seorang istri dan memanggilnya Mas sering kali membuatku merona. Pernikahanku semakin tidak lengkap pasalnya kebahagiaan ini tidak juga dihadiri oleh mertuaku-Emak Juleha- entah apa sebabnya beliau tak datang untuk menghadiri. Jujur, ada rasa kecewa yang mendalam saat mengetahui semua ini, memang dulu saat kakak Mas Ali menikah juga beliau tak datang dengan alasan pekerjaan. Tetapi, apakah pekerjaan sepenting itu sehingga membuatnya tak bisa menghadiri hari kebahagiaan anaknya? Aneh sekali, namun berusaha mengerti walaupun ada sebuah tanda tanya besar dalam benakku. Sempat kutanyakan mengapa Emak tak datang ke acara bahagia, namun tak ada jawaban dari suamiku. Ia hanya diam dan menunduk seakan merasa ada kesalahan terbesar yang sudah dibuatnya. Malam pertama menjadi istri, sungguh aku merasa sangat bingung sekali harus melakukan apa. Ingin melepas pakaian pengantin yang super duper ribet dan menghapus makeup namun langkah kaki seakan berat sekali untuk melakukan itu. Kutanamkan dalam diri untuk membersihkan diri dan pergi tidur, namun lenganku dicekal oleh Mas Ali. Ia menarikku dalam pelukannya, di peluk erat tubuhku yang mungil ini dan ia mulai meraba setiap inci tubuhku lalu mencumbunya. Mas Ali membuatku menikmati setiap sentuhan lembutnya, aku semakin terbuai oleh permainannya dan semakin masuk ke dalam dirinya. Gejolak cinta di dalam diri merasa dan menginginkan sebuah perlakuan lebih namun Mas Ali seperti kaku untuk melakukan yang lebih. Ia mengecup mesra bibirku saja terasa seperti kaku, kupikir ia akan mengajarkanku secara tidak langsung namun ternyata kami berdua benar-benar kaku dan bingung harus melakukan yang lebih seperti apa. Gejolak cinta meminta lebih namun rasa lelah ternyata lebih mendera, ia membisikan kata cinta dan meminta maaf untuk melanjutkan permainan esok saja, sebab masih banyak sekali orang yang berlalu-lalang di depan kamarnya. Kuiyakan dengan perasaan yang kecewa sebab tubuhku sudah merasakan panas dan bagian intiku serasa ingin segera dimasuki dan menyatu dengannya. Pagi hari karena merasa bingung, jadi kami berdua membereskan rumah agar bersih kembali seperti semula. Setengah hari yang lumayan melelahkan, adzan dzuhur berkumandang, kami berdua sholat berjamaah. Aku merasakan perutku lapar sekali, selesai sholat langsung keluar kamar dan pergi ke dapur untuk mencari makan. Di dapur kumakan dengan tenang dan damai tanpa merasa ada yang ganggu, anggota keluarga yang lain masih berada di dalam kamar dan aku tak bisa menahan rasa lapar. Aku seakan lupa bahwa sekarang sudah menjadi seorang istri dan asik makan tanpa memperdulikan suamiku sudah makan atau belum. Setelah selesai makan dan merasa kenyang. Mas Ali dari atas memanggilku dengan lembut dan memintaku untuk mengambilkannya makan siang. Aku minta maaf karena lupa sekali akan tugas baruku dan Mas Ali memakluminya itu. Mas Ali makan dengan lahap, setelah ia selesai makan aku membereskan bekas piringnya ke dapur dan kembali ke kamar untuk mengobrol. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD