Chapter 1 : Belajar Bersyukur

1573 Words
Walau ujian yang datang sedemikian hebat, pasti masih ada sesuatu yang bisa kita syukuri di dalamnya. Sekecil apa pun itu. —Fear 01 *** Erland tidur dengan posisi tengkurap. Selimut tebal dibiarkan menutup tubuhnya hanya sebatas pinggang. Punggungnya terekspos memperlihatkan goresan-goresan kemerahan yang dibuat oleh sang bunda. Metode pengobatan seperti ini lebih Erland sukai, dibanding harus repot-repot ke dokter. Sesekali ia terdengar bersendawa, yang selalu dihadiahi pukulan ringan oleh Elena. Untung ayahnya tidak tahu kalau Erland pulang dalam keadaan sakit. Jika tahu, pastinya Erland akan diseret berobat. Anak laki-laki itu baru saja pulang dari acara perkemahan yang diselenggarakan sekolahnya sebagai penutup masa orientasi. Di usia yang baru saja menginjak angka enam belas, Erland sudah menginjak kelas satu SMA. Ia langsung tumbang karena tidak terbiasa terkena angin malam. Apalagi, ini kali pertama Erland sekolah formal setelah sebelumnya mengambil homeschooling karena sesuatu hal. Dengan suara yang sedikit bindeng, Erland terus berceloteh. "Bunda, kirain kita itu bakal tidur di ruangan gitu. Eh, tahunya tidur di tenda. Mana disuruh bangun tenda sendiri," keluhnya. "Terus Aa bisa bangun tendanya?" tanya Elena. "Enggak. Teman-teman yang bikin." Elena terkekeh. Ia paham betul mengapa Erland sampai tidak bisa membangun tenda, pasalnya dari SD pun Erland tidak pernah mengikuti acara kepramukaan. Di tengah-tengah kegiatannya, Elena melihat Reina masuk dengan membawa sebuah kotak krayon. "Anak Bunda yang cantik mau ngapain, Sayang?" Reina yang baru saja naik ke tempat tidur Erland dengan susah payah, tak langsung menjawab. Ia membuka kotak berisi krayon warna-warni, kemudian mengeluarkan krayon dengan warna kesukaannya. "Mau gambal, Bunda." Elena mengernyit bingung. Putri kecilnya tidak membawa apa pun lagi selain kotak krayon itu. "Gambar di mana, Nak? Reina, kan, enggak bawa kertas gambar." Si kecil mengabaikan pertanyaan sang bunda. Dengan beberapa krayon di tangan mungilnya, ia naik ke punggung Erland. Sontak saja Erland terkejut dengan aksi sang adik. "Rei, ngapain? Geli!" Erland menggelinjang tak nyaman, terlebih ketika Reina menggoreskan krayon-krayon itu di punggungnya. "Reina, turun, yuk, Sayang. Kasihan Aa lagi enggak enak badan," bujuk Elena. Karena sang adik tak mau turun juga, Erland membalik tubuhnya. Alhasil, badan mungil anak empat tahun itu terbanting ke samping. Untung posisinya mereka di tengah-tengah tempat tidur. Jadi, Reina tak sampai jatuh ke bawah. "Bunda boleh, Leina enggak boleh. Itu balu melah, Leina maunya bilu sama olen." Begitu sahutnya setelah kembali terduduk. Antara ingin tertawa juga kasihan. Apalagi, putrinya sempat tersungkur di tempat tidur. "Itu merah karena Aa masuk angin. Bunda bukan lagi gambar, Nak," tutur Elena. Diusapnya lembut wajah Reina sembari sesekali menyisir rambut anaknya yang berantakan. Gadis mungil berambut pirang itu tak terima. Ia turun dari gendongan sang bunda, dan membanting krayonnya, lantas duduk di sudut kamar Erland sambil menyembunyikan wajah masam di balik sepuluh jemarinya. "Cengeng!" sentak Erland. "A, enggak boleh begitu! Adiknya nangis kok malah dibentak." Erland memutar bola matanya malas. "Yang gede selalu salah," ujarnya pelan. Padahal, sejak awal Reina yang membuat kerusuhan *** Arlan melonggarkan dasi bermotif minimalis yang terpasang di kemeja biru navy yang ia kenakan. Hari ini kegiatannya cukup padat, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Begitu masuk rumah, ia tak melihat Elena menyambut. "Assalamu'alaikum." Tak terdengar jawaban. Namun, tak berselang lama, Arlan melihat Reina berlari kecil ke arahnya dengan mata sembap. "Ayah!" Gadis kecil itu menghambur ke dalam pelukan Arlan, lantas membenamkan wajahnya di lekukan leher Arlan. "Putri kecil Ayah kenapa? Kok nangis?" tanya Arlan. "Aa galak. Bunda juga," adunya. "Kenapa, sih?" Arlan kembali bertanya begitu melihat Elena menghampirinya. "Gangguin Erland. Dibentak, jadi ngambek. Erland juga lagi rewel, enggak enak badan, jadi enggak bisa diajak bercanda." "Erland udah pulang? Kok enggak minta jemput?" "Diantar gurunya." "Rei, sama Bunda sebentar, ya? Ayah mau lihat Aa dulu." Reina mendesah pasrah. Padahal ia sedang melakukan aksi ngambek pada ibundanya, tetapi tetap saja mau kala Elena menggendongnya. Dengan langkah yang sedikit tergesa, Arlan berjalan ke kamar putra sulungnya. Di sana ia melihat Erland yang tengah duduk di tempat tidur sambil mengenakan kembali kaosnya. "Sakit, A? Kita ke--" "Aku enggak apa-apa, Yah," potong Erland cepat. Ia sudah hafal betul kalimat apa yang akan meluncur dari mulut sang ayah selanjutnya. Arlan berdeham canggung. Belakangan ini putra sulungnya memang selalu menolak diberi perhatian yang berlebihan, alasannya karena Erland sudah SMA, jadi merasa cukup dewasa. Padahal, Arlan begini pun bukan tanpa alasan. Kejadian sewaktu Erland duduk di bangku SMP berhasil membuatnya terkekang dalam rasa takut hingga sekarang. "A, ngerti, kan, kenapa Ayah selalu bersikap seperti ini?" "Aku mengerti. Karena aku enggak sama seperti orang-orang normal, 'kan?" "Kamu juga normal, A." "Orang normal itu punya organ yang lengkap, Yah. Aku? Di saat semua orang bisa makan sepuasnya, semaunya, aku serba terbatas. Apa menurut Ayah itu normal?" "Seenggaknya Allah masih memberi kamu kesempatan untuk tinggal lebih lama bersama Ayah, Bunda, dan Reina. Itu enggak cukup?" "Aku mau seperti yang lain, Yah." Pria bermata cokelat itu merapatkan tubuh, lalu memeluk putra kesayangannya. "Ayah minta maaf. Seandainya hari itu Ayah yang menjemput kamu, semua enggak akan terjadi." Merasa berdosa telah membuat sang ayah mengingat hari itu dan kembali menyalahkan diri sendiri, Erland mencoba menghibur. "Ayah benar. Aku harusnya bersyukur karena masih hidup sampai hari ini. Enggak masalah kok aku enggak bisa makan di luar atau cuma bisa makan sedikit-sedikit, lebih hemat juga, 'kan, Yah?" Arlan terkekeh. "Jangan konyol. Andai bisa, Ayah akan memberikan apa pun yang kamu mau." "Aku enggak serakus itu." "Makan, yuk. Ayah lapar." Melihat si sulung mengangguk semangat, Arlan tersenyum senang. Setidaknya dengan memberi nutrisi yang cukup, berat badan Erland bisa tetap stabil. *** Erland membuka mata perlahan begitu mendengar alarmnya berbunyi. Pukul 02.00. Real Madrid, tim sepak bola kesayangannya sebentar lagi akan bertanding. Dengan wajah yang masih terlihat mengantuk, Erland menyambar sweater, memakainya, lantas berjalan ke luar kamar. Anak itu lebih suka nonton di ruang keluarga, daripada di kamar. Alasan satu-satunya karena sang bunda tidak memperbolehkannya makan di kamar. Sementara bagi Erland, bukan nonton bola namanya jika tidak ada camilan. Ya, walaupun tidak banyak yang bisa masuk ke dalam perutnya. Pemuda berambut pirang itu meliarkan pandang, memindai selingkar. Sempat keheranan karena lampu kamar tamu masih menyala. Padahal, biasanya selalu dalam keadaan gelap jika tidak ada yang menginap. Enggan ambil pusing, ia memilih melangkah ke dapur untuk mengambil beberapa camilan khusus yang dibeli sang bunda untuknya. Begitu melewati kamar tamu, hendak kembali ke ruang keluarga, Erland mendengar suara-suara aneh. Kernyitan dalam di dahi Erland memperlihatkan dengan jelas rasa penasaran juga kebingungannya. Ketika jemarinya nyaris menyentuh knop pintu, tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka, dan sosok sang ayah muncul dari balik pintu dengan bertelanjang d**a, membuat Erland menaikan sebelah alisnya. Wajah Arlan merah padam saat mendapati putra sulungnya sudah berdiri di sana. Dengan segera ia melangkah ke depan, dan buru-buru menutup pintu. "Kenapa di sini, A? Bukannya tidur." "Ayah sendiri lagi apa di sini?" tanya Erland penuh selidik. "Ehm ...." Di tengah kebingungannya mencari jawaban, tahu-tahu pintu kembali terbuka. Elena keluar sambil menguncir asal rambutnya. "Kalian berdua kenapa berdiri di depan pintu?" tanyanya santai. Arlan geleng-geleng. Bukannya menolong, Elena justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seketika Erland paham dengan apa yang baru saja dilakukan orang ttuanya. "Awas aja kalau bikin Adek lagi!" ancamnya sembari beranjak meninggalkan kedua orang tuanya. Arlan menyenggol bahu istrinya. "Kamu, sih!" "Kalau Reina enggak tiba-tiba minta tidur bareng, kita enggak mungkin pindah ke kamar tamu, Lan," kata Elena membela diri. "Pakai bajunya, temani Erland. Kelihatannya dia mau nonton bola. Tapi, kalau bisa, suruh tidur aja. Besok dia sekolah," lanjutnya. "Iya. Aku mau mandi dulu," sahut Arlan. Elena kontan memmberikan pelototan. "Jangan nyari penyakit!" Lelaki itu mendesah pasrah. Elena benar-benar galak dan tidak mau dibantah. Bukannya Arlan takut, hanya malas saja. Bisa dibayangkan seharian istrinya akan terus mengomel bila ditentang. Arlan mengenakan kembali pakaiannya, lalu menghampiri Erland yang sudah duduk manis di depan televisi. "Yang main apa sama apa, A?" tanya Arlan basa-basi. "Barcelona sama Madrid. "Real atau Atletico?" "Ayah enggak jelas. Pasti Real Madrid, ngapain aku repot-repot bangun kalau yang main Atletico!" terang Erland dengan nada ketus. "Kok marah, sih, A?" "Enggak!" "Bohong. Kenapa ketus?" "Aku sebal sama Ayah!" Alis tebal Arlan bertautan. "Sebal kenapa, A?" "Aku enggak mau punya adik lagi," jawab Erland dengan wajah tertekuk. Arlan tersenyum tipis kemudian mengusap pelan puncak kepala putranya. "Memangnya kenapa kalau Aa punya adik lagi?" Erland menatap lekat wajah sang Ayah. "Aku udah SMA, Yah. Malu. Lagian Reina aja bikin susah terus." "Enggak boleh begitu, A. Anak itu titipan. Kalau suatu hari nanti Ayah sama Bunda udah enggak ada, Aa jadi enggak kesepian." "Aku enggak suka anak kecil." Arlan paham perasaan putranya. Dulu ketika Elena melahirkan Reina, Erland bahkan memilih pergi ke rumah omanya. Ia menginap beberapa hari di sana. Erland selalu merasa tersaingi, dan sangat tidak ingin kasih sayang orang tuanya terbagi. Padahal, Arlan selalu berusaha bersikap adil. Terlebih karena ia tahu betul bagaimana sakitnya diperlakukan berbeda. Arlan menarik Erland ke dalam pelukannya. Jika biasanya Erland berontak karena merasa sudah dewasa, kali ini anak itu tak bergerak. "Ayah mengerti. Ayah minta maaf, ya?" Erland mengangguk. "Lebih baik sekarang kamu tidur, A. Beberapa hari kemarin Aa kurang istirahat. Ayah enggak mau nanti sampai sakit." "Tapi bolanya baru mulai, Yah," sergah Erland. "Suara kamu bindeng begitu, pasti masih pusing, 'kan? Cepat istirahat!" titah Arlan. Erland mendengkus sebal. Seandainya ini malam Minggu, ia pasti bebas menonton televisi semalaman. Di hari-hari sekolah, sang ayah tidak akan pernah membiarkannya nonton dengan tenang. Menyebalkan memang. Sejak berstatus sebagai suami sekaligus seorang ayah, Arlan berubah tegas. Namun, tidak sekalipun ia bermain tangan. Jika marah, Arlan lebih memilih mendiamkan orang yang membuatnya marah, daripada repot-repot mengomel atau mengeluarkan kata-k********r. Tidak ada gunanya. |Bersambung|
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD