Erland mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja makan. Sang bunda masih sibuk menyiapkan sarapan, Reina sepertinya masih tidur, dan ayahnya entah ke mana. Ia sendiri sebenarnya masih begitu mengantuk, tetapi sudah terlalu siang untuk kembali tidur.
Bosan menunggu, Erland iseng bertanya. "Bunda, Ayah ke mana?"
"Lagi siap-siap. Kenapa, A?"
Erland menggeleng. Namun, detik berikutnya anak laki-laki itu bersuara, "Bun."
"Kenapa lagi, A?"
"Aku, kan, udah SMA. Kalau misal merokok boleh enggak?"
"Enggak ada rokok, minum-minum, apalagi mencoba obat-obatan terlarang. Sudah SMA bukan berarti kamu bebas melakukan apa pun A. Kamu boleh bergaul dengan siapa aja, tapi harus bisa membentengi diri."
Kalimat panjang kali lebar itu bukan keluar dari bibir sang bunda, melainkan ayahnya yang entah sejak kapan mendengar pertanyaan konyol Erland.
"Kenapa, Yah? Kemarin di sekolah ada yang merokok, padahal seangkatan sama aku."
Arlan mengerti, di usianya sekarang Erland tengah dalam masa pencarian. Jadi, pasti penasaran akan banyak hal. Sejujurnya, itu yang membuatnya risau membiarkan Erland bersekolah formal. "Ya, berarti itu anak nakal. Jangan diikuti. Jangan pernah melakukan apa pun yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pelajar. Ayah enggak akan segan-segan kasih hukuman berat kalau Aa ketahuan melakukan satu di antara apa yang Ayah bilang barusan."
Bibir pemuda itu mengerucut. Ia begitu ingin mencoba hal-hal yang dilakukan orang dewasa, tetapi belum apa-apa sang ayah sudah lebih dulu mengultimatumnya. "Kalau motor?"
"Kamu enggak kapok karena kejadian waktu itu, A?"
"Ungkit lagi aja."
"Ayah cuma mau kamu belajar dari apa yang pernah terjadi, A. Anak kecil bawa motor, apa bisa dia bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri atau orang lain? Tunggu sampai waktunya tiba. Ayah pasti akan memenuhi semua yang kamu butuhkan, A."
"Iya."
"Ngambek lagi?" Elena yang baru saja bergabung dengan mereka, langsung bertanya.
"Enggak tuh," sahut Erland cuek.
"Bagus. Kalau udah SMA, udah dewasa, enggak boleh ngambekan," sindir perempuan itu. "Oh iya, A, ini bekalnya udah Bunda siapkan. Pokoknya setiap dua jam kamu langsung makan, enggak peduli lagi belajar atau apa. Setelah Ayah menceritakan semuanya, pihak sekolah mau memaklumi. Jadi, kamu izin dulu aja."
Helaan napas berat terdengar. Sejujurnya Erland lelah harus kucing-kucingan dari teman sekelas ihwal kondisinya, tetapi gengsi juga kalau harus mengatakan semua. Biarlah mereka sibuk menerka mengapa Erland harus makan enam sampai delapan kali per hari.
"Dengar Bunda, Nak?"
"Iya, Bun."
"Good boy," ujar Elena sembari mengecup dahi putranya.
Erland langsung mengusap bekas ciuman bundanya seraya berkata, "Bunda aku udah besar lho."
Arlan terkekeh geli, begitupun istrinya. Bagi mereka Erland tetaplah bocah kecilnya yang manis.
***
Tepat saat mobil sang ayah berhenti di depan gerbang utama sekolahnya, Erland buru-buru pamitan, kemudian turun. Bukan tak beralasan. Ia malas menjadi pusat perhatian. Dari yang sudah-sudah, kaum ibu—yang juga mengantar anaknya sekolah—tampak terkagum pada sang ayah. Ya, memang salah ayahnya juga terlalu tampan.
"Erland!"
Langkah Erland terhenti begitu mendengar seseorang menyerukan namanya, dan ia tahu siapa itu.
Alvin Nataniel. Teman yang baru saja dikenalnya sewaktu masa orientasi kemarin. Laki-laki bermata sipit itu megap-megap, berusaha mengatur napas setelah berlari. "b***t, lo gue panggil-panggil juga ngeluyur aja," cerocos Alvin.
"Ya, maaf."
"Ayo ke kelas."
Erland langsung mengangguk.
Sambil berjalan, pemuda bermata minimalis itu kembali mengoceh. "Oh, iya. Lo udah baikan, 'kan?"
"Udah enggak apa-apa. Masuk angin doang karena lo ajak begadang terus," sahut Erland.
"Anak sultan gitu, ya? Begadang sedikit langsung sakit."
Erland mendengkus sebal. "Sedikit udelmu bodong! Seharian capek, malamnya enggak tidur, besoknya dijemur, gimana enggak tumbang?"
Alvin terbahak melihat reaksi teman barunya. Waktu itu ia dikagetkan dengan aksi pingsan Erland di tengah-tengah berlangsungnya upacara penutupan masa orientasi. "Omong-omong, lo udah ketemu lagi sama anak PMR yang waktu itu?"
"Belum."
Ingatan keduanya terseret pada kejadian hari itu.
Pukul 13.30 semua calon siswa baru diminta berkumpul di lapangan, untuk melaksanakan upacara penutupan. Dengan langkah yang sedikit terseret Erland memasuki lapangan, dan mulai mengatur posisi berbarisnya. Kepalanya pening, belum lagi saat ini sang baskara sedang gagah-gagahnya berbagi sinar dengan makhluk di bumi.
Baru berjalan sepuluh menit, Erland sudah merasa semua yang ada terlihat berputar, turut memberi sensasi mual pada organ pencernaannya. Anak laki-laki itu mengerjap beberapa kali guna memperjelas pandang. Hingga tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya.
"Pusing? Ayo ke belakang," bujuk gadis berkuncir kuda tersebut dengan lembut. Sebuah senyum disertakannya untuk membuat orang yang dibujuknya itu menurut.
Erland terdiam beberapa saat setelah dihadiahi senyum manis dari gadis itu, tetapi kemudian Erland menggeleng. Namun, tak sampai hitungan menit setelah penolakannya, tubuh laki-laki itu memberi reaksi berkebalikan. Erland limbung, dan membuat siswa yang baris tak jauh darinya gaduh campur panik. Gadis yang diyakini seorang anggota PMR itu meminta bantuan rekan-rekannya untuk mengangkat tubuh Erland.
Ketika membuka mata, rupanya Erland sudah berbaring di atas ranjang ruang kesehatan.
"Syukurlah kamu udah sadar. Ini, diminum dulu teh hangatnya."
Erland diam saja.
"Ayo aku bantu." Gadis itu membantu Erland menegakkan tubuhnya. Ia menyerahkan secangkir teh hangat, serta semangkuk bubur. Melihat Erland menggeleng, gadis itu tak menyerah, diraihnya sendok yang ada di mangkuk berniat menyuapi Erland. Namun, usahanya kembali dipatahkan.
"Gue enggak makan banyak dan gue enggak minum teh."
"Kenapa?"
"Ada s**u di tas. Mau itu aja."
Gadis itu sampai terbengong-bengong mendengar Erland bicara. s**u? Anak SMA? Laki-laki? Lebih memilih s**u dibanding pencitraan dengan menerima teh hangat buatannya?
Seulas senyum terpatri manis di bibir si pemuda berambut pirang membayangkan wajah bengong perempuan itu. "Kayaknya kelas 11 atau 12."
"Iya, gue juga tahu kalau itu. Tapi, kelas mana?"
Erland mengangkat bahu. "Oh iya, Vin. Emang salah, ya, kalau udah SMA masih minum s**u? Gue, kan, masih masa pertumbuhan. Lagian butuh banyak nutrisi biar berat badannya enggak turun jauh."
Sejujurnya Alvin ingin tertawa mendengar pertanyaan Erland, tetapi urung dilakukan karena tahu anak itu gampang sekali tersinggung. "Ya, enggak salah. Gue juga kalau di rumah kadang minum."
"Ekspresi cewek itu tuh aneh. Gue jadi takut dia ilfeel karena beranggapan gue masih kayak bayi."
"Enggaklah. Lo tenang aja. Nanti gue bantu cari orangnya."
***
Arlan meletakan ponselnya usai menghubungi seseorang. Ia membelikan sebuah sepeda keluaran terbaru untuk putra sulungnya. Lagi pula, jarak antara rumah dan sekolah tidak begitu jauh. Tidak masalah jika Erland bersepeda. Sehat juga bukan?
Sebenarnya, Arlan bukan tak mampu membelikan sepeda motor, tetapi banyak hal yang ia pertimbangkan. Erland masih di bawah umur, juga karena ketakutan-ketakutan lain terkait ganasnya jalanan. Kecelakaan yang menimpa kembarannya beberapa tahun silam masih terekam mengerikan, belum lagi yang pernah dialami Erland. Sedemikian menakutkan bagi Arlan.
Pria itu kembali mengambil ponselnya, lalu menghubungi sang istri. Elena perlu tahu kalau ia membelikan Erland sepeda, jadi tidak kaget andai benda itu diantar ke rumah nanti.
"Hallo, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Kenapa, Lan?"
"Aku beli sepeda buat Erland. Kayaknya enggak lama lagi datang."
"Hah? Erland yang minta?"
"Aku yang berinisiatif. Dia cuma punya dua pilihan. Selalu aku antar atau naik sepeda."
"Kamu kayak enggak tahu Erland aja. Dia mana mau? Gengsinya setinggi langit. Dia pasti pilih ngambek demi dapat motor daripada harus naik sepeda."
"Nanti aku kasih pengertian. Aku benar-benar enggak bisa membelikan dia motor. Terlalu beresiko, El."
"Iya, aku mengerti. Oh iya, pulang jam berapa, Lan?"
"Sebentar lagi aku pulang."
"Mampir ke apotek, ya, Lan. Stok obat-obatan di rumah hampir habis. Beli kassa, betadine, alkohol 70%, kapas, plester, obat demam, batuk pilek, maag, diare, beli vitamin buat Reina sama Erland. Terus ... apalagi, ya... hmm."
"Nanti aku beli apoteknya," sahut Arlan sekenanya. Mendengar istrinya terkekeh Arlan turut tertawa kecil, membayangkan wajah lucu Elena ketika tengah seperti itu. "Udah dulu, ya. Kelamaan telepon bikin tambah kangen."
"Apa ini benar-benar Devanio Arlan? Si cowok kaku, enggak peka, dan paling menyebalkan itu?"
"Kamu mau aku begitu lagi, El?"
"No! Tetap jadi Arlan yang sekarang. Penyayang, bijak, manis walaupun masih sering enggak peka, bertanggung jawab, dan ...,"
"Dan? Dan apa lagi?"
"Dan ... mesum."
Klik!
Sambungan diputus sepihak, membuat Arlan mendengkus sebal.
|Bersambung|