PROLOG

1449 Words
1. PROLOG Laki-laki itu menyesap secangkir Americano dan mengedarkan pandangan sekeliling. Dua perempuan duduk di seberang dan terlihat jelas satu diantaranya mencuri pandang ke arahnya. Siapa yang tidak terpukau? Wajah tampan dengan cambang tipis di sepanjang rahang, tidak hanya membuatnya terlihat gagah, tapi juga gahar. Bukan gahar menakutkan, tapi gahar yang begitu manly, dambaan perempuan yang menyukai tipikal laki-laki macho. Pria itu hanya melirik sekilas lalu mengalihkan pandangan ke luar etalase. Hiruk pikuk kendaraan berlalu-lalang, memang tidak sepadat kota besar, tapi cukup menebar polusi yang membuatnya malas berkendara di siang terik dan berdebu ini. Laki-laki bernama Aldebaran Atmaja kembali menatap ke arah depan. Lagi-lagi perempuan cantik di seberang menatapnya penuh arti. Ia menunduk. Ia merasa usianya yang sudah 31 tahun, duda dengan satu anak perempuan berumur lima tahun, tidak pantas lagi untuknya berpetualang mencari cinta. Sejak ia jatuh cinta pada gadis bernama Riana Purnamasari, semua perempuan tak lagi menarik di matanya. Ia hanya menginginkan Riana. Meski harus mencari gadis itu sampai ujung dunia, ia tak akan menyerah. Ia bersumpah akan menemukan perempuan itu. Satria, sahabat terdekatnya sang pemilik coffee shop menarik kursi di hadapan sang pria, lalu duduk di sana. Laki-laki itu tak lagi seperti laki-laki selengekan, seperti yang ia kenal. Sejak patah hati, mendadak ia menjelma menjadi sosok yang begitu serius dan dewasa. “Apa belum ada kabar soal Riana?” Satria memecah kebekuan. Aldebaran menggeleng. “Aku sudah nanya ke orang tuanya, juga Dinda, sahabat dekatnya. Mereka sepakat nggak mau ngasih tahu.” Nada bicara Aldebaran menunjukkan rasa frustrasi sekaligus kesedihan yang berusaha ia tutupi. “Kamu beneran jatuh cinta sama dia?” hingga detik ini Satria masih saja ragu. Bagaimana tidak ragu? Sahabatnya pernah berselingkuh dari mantan istrinya. Hal ini yang menjadi alasannya bercerai dengan Diandra. Sekarang mantan istrinya telah menikah dengan pria baik. Alea, putri semata wayangnya ada dalam hak asuh sang mantan. Jalan yang mempertemukannya dengan Riana pun terbilang unik. Tentu Satria masih ingat, bagaimana sahabatnya menjebak Riana dengan obat perangsang agar mau dijadikan boneka dalam mewujudkan ambisinya menghancurkan rival terberatnya, orang yang saat ini sudah sah menjadi suami dari Diandra. Meski sahabatnya masih punya hati untuk tak menjamah keperawanan Riana, tapi dia sudah mencicipi kulit mulus gadis itu. Gadis yang malang... Kini Aldebaran seolah kena batunya. Laki-laki yang pernah begitu b******k ini akhirnya merasakan betapa sakitnya patah hati dan dibuat tidak berdaya karena seorang perempuan. Aldebaran mengangguk. “Kalau aku tidak jatuh cinta padanya, aku nggak mungkin seperti orang gila begini. Setiap hari aku nunggu kabar dari dia. Aku harap dia mengaktifkan akun media sosialnya. Aku berharap dia pulang ke Purwokerto. Aku nggak tahu lagi harus mencari kemana. Nomornya yang sekarang aku juga nggak tahu.” Aldebaran menghela napas kesal. Ia ingin melupakan Riana, mencoba move on dan fokus dengan pekerjaannya. Namun ia tak bisa melenyapkan gadis itu dari pikirannya. Ia seperti cinta mati dan tak ada lagi yang mampu menggetarkan hatinya selain Riana. Satria turut prihatin dengan apa yang menimpa Aldebaran. Allah menegurnya dengan patah hati yang begitu menyiksa. Setidaknya ia bisa belajar bagaimana cara menghargai perempuan. Di sisi lain ia bersyukur, setidaknya ada celah bagi Aldebaran untuk memperbaiki kesalahan dan belajar menjadi orang yang lebih baik. Aldebaran pulang ke kediamannya yang masih ia tata menyesuaikan selera Riana. Catnya masih berwarna ungu muda. Foto-foto gadis itu masih terpajang. Hiasan bunga mawar masih tertata rapi. Riana memang menolak ajakannya untuk menikah. Namun ia tak ingin menyerah. Ia akan membawa kembali gadis itu ke rumah ini sebagai istrinya. Pria itu duduk termangu di ujung ranjang. Tempat yang pernah menjadi saksi bagaimana bejatnya kelakuannya mengerjai Riana dengan obat perangsang. Malam itu begitu panas sekaligus malam yang naas untuk Riana. Ia menahan diri untuk tak melakukan lebih jauh kala sosok putri kecilnya tiba-tiba melintas di kepala. Sejak kejadian itu, gadis itu didera stres luar biasa. Ia tertekan, depresi, pernah kabur dari rumah, dan kehilangan semangat hidup. Hingga detik ini gadis itu masih mengira bahwa dirinya tak lagi suci, menyangka Aldebaran telah merenggut keperawanannya. Pria itu tak pernah memberi tahu hal yang sebenarnya pada sang gadis, bahwa malam itu, ia tak melakukan sesuatu yang lebih. Apapun yang telah terjadi di masa lalu, nyatanya tak jua mampu menghadirkan Riana kembali dalam kehidupannya. Aldebaran memejamkan mata. Aku memang pernah begitu brengsek... Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu... ****** Riana menyiapkan makanan untuk berbuka puasa anak-anak panti asuhan sekaligus para pengurus panti, termasuk dirinya. Para penghuni panti dianjurkan untuk berpuasa sunnah Senin-Kamis, tapi tidak ada pemaksaan untuk mengerjakan. Biasanya anak-anak yang berumur di bawah delapan tahun, tidak ikut berpuasa. Gadis itu merasa lebih tenang setelah memutuskan untuk tinggal di Bandung, menjadi pengurus di panti asuhan, sekaligus mengajar di salah satu Sekolah Dasar. Ia lupakan segala kegetiran di kota asalnya. Ia pernah begitu rapuh, jatuh di palung terdalam karena ulah b***t pria b******k yang telah merampas kehormatannya. Sekarang ia berjanji untuk menjadi Riana yang baru, Riana yang kuat, Riana yang tak akan mudah untuk jatuh dan menangis. Ia akan menjaga hatinya untuk tidak jatuh cinta atau menikah. Rasa trauma karena luka yang digoreskan Aldebaran telah membentuknya menjadi sosok yang skeptis akan cinta. Bagian terpedih adalah, ketika dengan segenap kesadarannya, ia akui, ia jatuh cinta pada laki-laki yang ia sebut b******k itu. “Ri...” Panggilan Ummi,wanita paruh baya yang telah mengurus panti asuhan selama sepuluh tahun lamanya membuatnya terhenyak. “Iya, Um..” Wanita itu tersenyum tipis, “Kemarin Rayyan nanya sama Abah, Apa Riana sudah punya calon? Dia ingin ta'aruf sama Riana. Anaknya baik. Rajin sholat dan berbakti sama orang tua. Dia juga punya pekerjaan yang halal dan bagus. Dia punya usaha travel dan bisnis makanan juga. Umurnya 28 tahun. Barangkali kamu berminat untuk ta'aruf sama dia?” Riana terdiam sejenak. Riana merasa tak pantas untuk dekat dengan siapapun, apalagi laki-laki sebaik Rayyan. Seumur hidup ia mengemban aib itu dan takut untuk menikah. “Saya belum siap untuk menikah, Um.” Riana tak enak hati mengecewakan wanita yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri itu untuk kesekian kali. Setiap ada laki-laki yang berminat untuk mengajaknya ta'aruf, ia selalu menolak. Usianya 24 tahun, usia yang sudah cukup matang untuk berumah tangga. Namun ia masih saja takut... Selama bayang-bayang Aldebaran masih kerap menghantui dan memberatkan langkahnya, ia belum bisa membuka hatinya untuk laki-laki lain. ****** Aldebaran mengetuk pintu kost itu sekali lagi dengan gemuruh emosi yang tak terbendung. Selama ini ia cukup sabar menghadapi Dinda, sahabat baik Riana yang keukeuh tak mau memberi nomor ponsel Riana yang baru. Seorang penghuni kost keluar dengan mimik muka menunjukkan rasa takut. “Maaf, Mas. Dinda nggak mau ketemu sama Mas.” Gadis berambut sebahu itu gelagapan. Ada rasa takut mengamati wajah tampan sang dosen. Di sisi lain rasa kagum membuncah kala mengamati betapa gagahnya pria satu ini. “Saya nggak akan pulang sebelum Dinda keluar dan mau memberi tahu nomor Riana. Sampai malam sekalipun, akan saya tunggu. Saya nggak akan pulang sebelum teman kamu itu mau memberikan info nomor handphone kekasih saya. Bilangin ke dia, saya cuma minta nomor ponsel pacar saya, bukan alamatnya.” Suara kencang Aldebaran menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di jalan kecil depan kost. Dinda yang mendengar Aldebaran ngamuk-ngamuk di depan kostnya, menjadi resah dan gelisah tak menentu. Ia tak ingin membocorkan nomor ponsel Riana, tapi di satu sisi, ia tak enak hati pada penghuni kost lain. Satu hal yang mengganggu pikirannya, Aldebaran menyebut Riana sebagai kekasihnya. Padahal tidak ada ikatan apapun diantara mereka. “Aku peringatkan sekali lagi Dinda. Kalau kamu nggak keluar dan nggak ngasih tahu nomor Riana, aku akan maksa masuk ke dalam kost.” Aldebaran mendongakkan kepalanya dan menatap tirai yang tersibak di atas balkon. Jelas, gadis itu mengintip dari balik tirai. “Udahlah, Din, keluar. Turuti kemauannya. Malu-maluin banget tuh orang. Nggak malu sama muka gantengnya. Kelakuan dan muka nggak sinkron.” Salah satu teman Dinda ikut merasa terusik. Dinda terpaksa keluar kost. Dalam hati ia meminta maaf pada Riana. Kali ini ia menyerah. Ia akan memberi tahu Aldebaran tentang nomor handphone Riana yang baru. Jauh di dalam hati, ia pun tak tega melihat laki-laki itu begitu tersiksa kehilangan Riana. ****** Riana membersihkan diri, menggosok gigi, lalu berwudhu. Ia sudah mengantuk dan ingin tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi. Ia selalu bangun sebelum Subuh untuk membantu Ummi memasak. Jumlah anak asuh di panti asuhan ada dua puluh orang. Pengurus panti hanya ada empat orang, Ummi, Abah, dirinya, dan satu laki-laki berusia 20 tahun yang selalu mengurus panti juga kuliah di salah satu universitas terdekat. Saat ia naik ke ranjang, ponselnya berbunyi. Ada satu pesan w******p dari nomor yang belum ia simpan. Tiba-tiba dadanya berdebar hebat dan setitik air mata lolos kala ia membaca deretan huruf di layar ponselnya. Riana.... Apa kabar? Aku merindukanmu... Sangat merindukanmu... Please balas WA-ku... ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD