Tak Akan Menyerah

1978 Words
2. Tak Akan Menyerah Jantung Riana seolah berpacu berkali lipat lebih cepat hanya dengan membaca pesan w******p yang ia yakin benar itu adalah pesan w******p dari Aldebaran. Ia sudah berpesan pada orang tua dan Dinda untuk tidak memberi tahu nomor ponselnya yang baru pada Aldebaran. Kini ia kesal, salah satu diantara mereka ada yang berkhianat. Riana membiarkan saja pesan itu. Jujur, hatinya bergetar dan ia bahagia membaca satu pesan dari Aldebaran, karena itu adalah pertanda bahwa Aldebaran baik-baik saja dan masih teringat padanya. Namun ia kembali muram. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk melupakan laki-laki itu. Nyatanya, nama itu masih saja berputar-putar di kepala. Ingatan akan malam naas itu kembali terngiang. Penyesalan selalu saja datang setiap kali menyadari bahwa dirinya sudah tak lagi utuh. Satu per satu kisah perjalanan cintanya berseliweran di benak. Selama 24 tahun menghirup napas, ia belum pernah pacaran. Ia pernah menyukai Argan, ayah dari Sakha, muridnya yang istimewa dengan kemampuan akademisnya yang cemerlang. Setelah duda itu melepas kesendiriannya dengan menikahi seorang mahasiswi, ia mundur. Orang tuanya menjodohkannya dengan Rayga. Awalnya ia menolak. Saat ia menyadari Rayga adalah laki-laki baik dan belum pernah berpacaran, ia mencoba menyambung kembali perjodohan mereka yang putus. Gayung tak bersambut karena Rayga sudah memiliki calon istri. Riana memutuskan untuk tak lagi memikirkan cinta seorang laki-laki meski tak sedikit yang berusaha mendapatkan hatinya. Sampai akhirnya Aldebaran datang menawarinya bekerja sama untuk menghancurkan hubungan Rayga dan Diandra, mantan istri Aldebaran. Di sinilah awal sumber bencana dalam hidupnya. Ketika ia mundur dan tak mau lagi bekerja sama dengan Aldebaran, pria itu menggunakan cara licik untuk menjebaknya. Ia tak menyangka, Aldebaran membubuhkan obat perangsang ke dalam minumannya saat mereka makan bersama di restoran. Ia terlalu percaya bahwa laki-laki itu adalah teman yang baik karena selama berteman, laki-laki itu selalu menghiburnya dari luka patah hati yang begitu perih. Malam itu telah mengubah kehidupannya. Ia merasa dunianya tak lagi sama dan sebagian dirinya hilang. Satu hal yang semakin menjatuhkannya hingga terjerembab tanpa daya adalah ketika ia menyadari bahwa logikanya mendadak mati kala berurusan dengan laki-laki itu. Ia tak ingin menjadi bagian dari deretan perempuan bodoh yang jatuh cinta pada laki-laki yang telah menghancurkannya. Sayangnya dia sudah masuk ke deretan itu. Perasaannya mengalir begitu saja dan ia tak bisa lepas dari bayang-bayang pria 31 tahun itu. Ia tak menyangka akan sesulit ini mengenyahkan sosok itu dari hatinya. Riana tak membalas pesan w******p Aldebaran. Ia tak ingin membuka kembali akses bagi pria itu untuk berkomunikasi dengannya. Jatuh cinta menjadi sedemikian pelik kala dia memilih menghindari pria yang berhasil mengoyak-oyak pertahanannya. Kadang dia bertanya, adakah yang seperti dirinya? Terkadang takut dan cemas, ingin lari sejauh-jauhnya dan tak ingin bertemu lagi dengan pria itu, meski jauh di lubuk hatinya, ia merindukannya. Riana masih berpikir waras bahwa ia tak akan menghabiskan hidupnya bersama seseorang yang mungkin saja akan menyakitinya di kemudian hari, sama seperti yang ia lakukan pada mantan istrinya. Rekam jejak hidup Aldebaran yang berliku dan buruk seakan menjadi alarm yang mengingatkannya untuk bangun dari perasaan yang melenakan. Ia kembali tersentak kala dering ponsel membuyarkan renungannya. Satu panggilan video call dari Aldebaran. Hatinya kembali berdesir. Rasa deg-degan menyapanya lagi. Lebih jauh lagi, seluruh persendian seolah melemas dengan getaran yang bertalu di setiap incinya. Riana tak menerima panggilan itu. Ia berusaha memejamkan mata tanpa menghiraukan panggilan yang berulang. Seolah belum ingin menyerah, Aldebaran kembali menghubunginya, kali ini bukan panggilan video call tapi panggilan biasa. Riana tak jua mengangkatnya. Aldebaran mondar-mandir di balkon kamarnya seperti orang yang kehilangan arah, lebih parah lagi seperti anak ayam kehilangan induknya. Frustrasi, dongkol, geregetan, dan ingin rasanya menyusul Riana saat itu juga. Ia hanya perlu bersabar hingga gadis itu luluh dan mau membuka jalur komunikasi lagi dengannya. Aldebaran kembali mengirimkan pesan w******p untuk gadis yang belakangan ini selalu membuatnya uring-uringan. Ri, kenapa teleponku nggak diangkat? Kalau memang nggak mau ngangkat telepon, setidaknya balas pesanku. Jangan bikin orang tersiksa kayak gini, Ri. Setiap hari aku nunggu kabar dari kamu, berharap pulang ke Purwokerto. Aku yakin kamu juga kangen sama aku. Kenapa mesti menghindar? Aku nggak akan macem-macem sama kamu. Aku sayang kamu, Ri. Gimana bisa aku macem-macem sama kamu? Satu, dua, tiga menit terlewati, tak ada balasan dari Riana. Aldebaran mengerang frustrasi. Ia tak menyerah. Ia kembali mengetik huruf demi huruf dan mengirimkannya pada gadis itu lagi. Apa susahnya ngetik balasan, Ri? Sampai kapanpun aku nggak akan nyerah buat dapetin hati kamu. Rumah aku masih aku tata seperti saat terakhir kamu datang ke sini. Aku bersumpah akan membawa kamu kembali ke rumah ini sebagai istriku. Kita akan besarin anak-anak bareng di sini. Hening. Riana belum juga tergerak untuk membalas. Aldebaran mendesau lemas. Teringat saat Riana meminta pertanggungjawabannya. Ia abaikan permintaannya dan sibuk dengan rencana untuk menghancurkan Rayga yang akhirnya tak pernah ia laksanakan. Di saat ia tersadar bahwa ia telah mengabaikan gadis itu, Riana pergi tanpa mengucap sepatah kata perpisahan. Mungkin jika waktu itu dia bergerak cepat melamar Riana, saat ini dia tak akan galau mengenaskan bagai orang linglung yang mondar-mandir tak tentu arah di balkon. Bisa jadi sekarang dia tengah bermesraan dengan Riana atau meniru adegan film romantis di mana mereka menghitung bintang bersama. Semua telah terjadi dan tak perlu ada yang disesali. Laki-laki itu kembali mengirim pesan w******p untuk gadis yang ia beri nama “calon pacar halalku” di kontak handphone-nya. Ri... Please jawab pesanku. Meski kamu cuma balas satu kata aja nggak masalah buat aku. Yang penting kamu mau balas. Lebih baik lagi kalau kamu ngasih tahu aku di mana kamu tinggal. Aku pingin banget ketemu sama kamu. Riana Riana sayang... Calon istriku... Calon pacar halalku.. Calon ibu dari anak-anakku.. Ri... Riana Purnamasari.. Kekasihku.. Aku kangen.. Banget.... Kangen banget sama kamu... Demi Allah aku kangen berat... Kangeeennn.... Kangeeennn... Banget nget nget nget... Aku sayang kamu... Cinta banget, nggak mau lagi sama yang lain. Cuma pingin kamu aja... Ri... Riana... Aku cinta kamu. Aldebaran menekuk wajahnya. Muram itu masih tampak jelas. Bahkan jauh lebih menyedihkan dibanding saat patah hati ditolak mantan istri untuk rujuk. Ia berpikir mungkin hati Riana sudah tertutup untuknya hingga rentetan pesan w******p yang ia kirimkan tak ada satu pun yang dibalas. Ia bersiap untuk tidur. Berharap esok hari akan ada keajaiban, calon pacar halalnya membalas pesannya. ****** Aldebaran bergegas menuju area parkir. Jam mengajarnya sudah usai. Ia ingin secepatnya menemui Satria dan meminta bantuan darinya. Di tengah koridor, ia berpapasan dengan Laksita, atau biasa disapa Sita, dosen baru berusia 25 tahun yang menjadi idola di kalangan mahasiswa. “Pak Dosen kok terburu-buru?” sapa Laksita dengan senyum ramah. Aldebaran membalas senyumnya, “Iya, Bu, saya ada janji dengan teman.” “Oh...” Laksita memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Ia penasaran juga siapa “teman” yang dimaksud. Dia tertarik dengan dosen ganteng itu, dosen yang dijuluki duren oleh para mahasiswi dan rekan-rekan kerjanya. “Ya, sudah, saya permisi dulu, ya, Bu. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Gadis itu masih memandang lepas langkah Aldebaran yang menjauh. Pesona dosen satu itu memang tak terbantahkan. ****** Satria membelalakan matanya dan menatap temannya dengan pandangan bertanya, “Kamu serius nyuruh aku deketin Dinda buat ngorek alamat Riana? Nggak ah.” Satria membuang muka ke arah lain. “Apa susahnya kamu coba? Bantulah temanmu ini. Aku wis usaha njaluk alamate Riana meng wong tuwane, meng Dinda, kok ya pada sekongkol ora gelem aweh. Sumpah rasane kemekel pisan. Ora pengertian, ora pada melas. Sing jenenge nahan rindu kuwe ora kepenak. Mangan ya ora enak, turu ora lelap, jan rasane nyiksa awak lahir batin.” (Aku udah minta alamat Riana ke orang tuanya, ke Dinda, kok ya pada sekongkol nggak mau ngasih. Sumpah rasanya geregetan banget. Nggak pengertian, nggak kasihan. Yang namanya menahan rindu itu nggak enak. Makan ya nggak enak, tidur nggak lelap, rasanya menyiksa badan lahir batin). Satria terkekeh. Bukan bermaksud tidak bersimpati, tapi cara bicara Aldebaran begitu lucu dengan logat ngapaknya kala sedang kesal begini. “Sabar, Al. Cinta kuwe memang perlu diperjuangna. Kiye urung sepira'a dibanding perjuangane Bandung Bondowoso sing gawe sewu candi kanggo Roro Mendut dalam satu malam.” (Cinta itu memang perlu diperjuangkan. Ini belum seberapa dibanding perjuangan Bandung Bondowoso yang membuat seribu candi untuk Roro Mendut dalam satu malam). Aldebaran menyadari kekeliruan sahabatnya ini. “Dudu Roro Mendut, Dul. Tapi Roro Jonggrang. Wis salah, ngotot maning,” Aldebaran menimpali. (Bukan Roro Mendut, Dul. Tapi Roro Jonggrang. Udah salah, ngotot lagi). Satria tertawa terpingkal-pingkal. “Jadi gimana, nih? Mau bantu aku, nggak? Apa kamu nggak kasihan sama aku? Rasa rinduku itu ibaratnya sudah sampai di ubun-ubun. Kur gari ngenteni njethor. (Tinggal nunggu meletus). Satria tidak sampai hati juga melihat sahabatnya menggalau sepanjang hari. “What should I do?” Satria menengadahkan telapak tangannya. “Masa gitu aja nanya. Kamu kalau kenalan terus deketin cewek itu gimana?” Aldebaran menajamkan matanya. Satria tersenyum simpul, “Aku tuh beda sama kamu, bro. Kamu ahli dalam hal beginian. Kalau aku kan nggak. Biar aku lebih tua setahun dari kamu, tapi pengalamanku minim.” “Kapan-kapan deh aku kenalin. Tapi kamu jangan lupa sama misi kita. Pokoknya mesti dapetin alamatnya Riana. Kalau kamu berhasil, setengah gaji aku, aku kasih ke kamu, deh.” Aldebaran menaikkan alisnya dan tersenyum. Satria mengangguk. Penawaran yang menggiurkan. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. ****** Riana membereskan semua buku-buku yang ada di meja kerjanya. Rasanya lega hari ini suasana belajar-mengajar di kelas berlangsung lancar. Kegaduhan jauh berkurang dan murid-murid mulai bisa beradaptasi untuk menerimanya sebagai guru baru mereka. Riana mengajar kelas dua. Ia belum bisa mengatakan bahwa ia kerasan di sekolah barunya, tapi ia mulai bisa beradaptasi, baik dengan lingkungan sekolah maupun rekan guru dan murid-muridnya. Riana berjalan kaki menuju panti asuhan yang tidak jauh dari sekolah tempatnya mengajar. Tiba-tiba suara klakson mengagetkannya. Ia berbalik. Mobil berhenti di depannya. Seseorang menurunkan kaca jendela dan menyapanya ramah. “Assalamu’alaikum, Riana.” “Wa’alaikumussalam.” Riana melirik sang pemuda dan seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelah pemuda berusia 28 tahun itu. Riana menggangguk dan tersenyum pada wanita itu, ibu dari sang pemuda. “Sendirian, Ri? Kalau Riana berkenan, apa boleh saya mengantar Riana pulang?” pemuda bernama Rayyan itu tersenyum ramah. Sejak Riana datang ke panti asuhan Permata, Rayyan merasa tertarik dengan kesantunan Riana. Rayyan dan keluarganya sudah lama menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat Riana tinggal. Riana merasa tak enak untuk menolak karena ada Bu Diah, ibu dari Rayyan. Tentu jika Rayyan menyetir mobil sendiri, ia tak akan berani menawari Riana untuk pulang bersama. “Saya.. Saya jalan kaki saja, sebentar lagi juga sampai.” “Nggak apa-apa, Nak Riana. Ayo masuk saja. Saya juga ingin mampir panti, ingin ketemu sama Ummi.” Diah turut menawari Riana untuk pulang bersama. Ia menyukai Riana, gadis shalihah yang ia pikir pantas untuk menjadi pendamping hidup putra sulungnya. “Iya, Ri. Ayo ikut, biar sekalian.” Lagi-lagi Rayyan menawarinya dengan ramah. Riana tak bisa lagi mengelak. Ia menerima tawaran Rayyan dan ibunya, dua orang yang kerap berdonasi untuk panti asuhan yang ia kelola. Sepanjang jalan menuju panti, Rayyan seakan tak berkutik dengan godaan wajah cantik Riana yang memantul di kaca spion. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak mengamati pantulan bayangan wajah sang gadis di kaca spion. Kecantikan dan keindahan tubuh perempuan itu menjadi ujian tersendiri bagi kaum Adam. Perempuan yang berbusana sesuai syariat sebenarnya telah membantu para pria untuk menahan pandangan. Umumnya laki-laki akan merasa sungkan dan segan pada perempuan yang bisa membawa dirinya dengan baik. Setiba di panti, ummi dan abah menyambut kedatangan Rayyan dan Diah dengan sambutan hangat. Riana masuk ke kamar untuk meletakkan tas dan berganti pakaian. Ia sudah menunaikan sholat Dhuhur di sekolah. Saat hendak mengambil baju ganti, ponselnya berbunyi. Lagi-lagi Aldebaran mengirim pesan w******p. Assalamu’alaikum calon pacar halalku. Kamu lagi apa? Udah sholat? Udah makan? Riana tercenung. Semalam ia mengabaikan pesan-pesan w******p dari Aldebaran. Rasanya ia tak tega juga. Ia mengirimkan balasan. Wa'alaikumussalam, udah. Riana tak pernah tahu, balasan singkat ini membuat seseorang nun jauh di sana melonjak kegirangan karena mendapat balasan dari sang gadis pujaan. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD