Selangkah Lebih Dekat

2177 Words
4. Selangkah Lebih Dekat   Suasana panti asuhan di pagi ini begitu hangat saat semua anak panti sarapan bersama. Usia anak panti yang termuda adalah lima tahun, sedang yang tertua dua belas tahun. Sebagian besar mereka memiliki asal-usul yang tak jelas, anak yang dibuang orang tuanya. Ada yang dibuang di selokan, toilet mall, bahkan juga di Masjid. Di panti asuhan Permata, mereka mendapat perlakuan yang begitu hangat serta kasih sayang tulus dari para pengurus panti. Semua penghuni panti adalah keluarga, yang meski tak memiliki ikatan darah, tapi mereka saling menyayangi satu sama lain. Anak-anak berpamitan satu per satu untuk berangkat ke sekolah. Ada satu anak yang masih TK, setiap hari berangkat dan dijemput oleh Ummi. Riana mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Ia berpamitan pada ummi dan abah serta Fauzan, mahasiswa berumur 20 tahun yang juga menjadi pengurus panti dan tinggal di sana. Saat melangkah menuju halaman, ia dikagetkan dengan mobil Rayyan yang berhenti di depan pintu gerbang. Pemuda itu keluar dari mobil dan tersenyum menyapanya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” “Mau berangkat bareng nggak, Ri? Ada Sabila kok di dalam.” Rayyan semakin gencar melakukan serangkaian pendekatan pada gadis itu. Meski abah pernah mengatakan bahwa Riana belum siap menikah dan belum ingin ta'aruf dengan siapapun, tapi dia tak ingin menyerah. Mengandalkan bantuan orang-orang sekitar rasanya tidak akan maksimal, karena itu dia juga harus bergerak, meski sekedar menawarkan tumpangan. Seorang gadis remaja berseragam SMA menurunkan kaca jendela mobil dan tersenyum cerah menatap Riana. “Ayo Teteh, ikut sama kita.” Riana melirik Sabila yang terbiasa memanggilnya “teteh”, panggilan umum di daerah ini. Ia membalas senyumnya. “Saya bisa jalan sendiri.” Riana tak enak hati jika harus berangkat diantar Rayyan, meski ada Sabila di dalam. “Ayolah, Ri. Sekalian aja karena kita satu jalur.” Rayyan berusaha untuk membujuk. “Ayo, Teh ikut kita. Sekali ini aja, please.” Sabila menyatukan kedua telapak tangannya pertanda ia begitu memohon. Riana mengangguk, “Baik.” Rayyan tersenyum sumringah. Ia membuka pintu mobil dan mempersilakan Riana masuk ke dalam. ****** Seorang gadis berjilbab mengamati langkah salah seorang rekan kerjanya yang memasuki ruang guru. Tatapannya beralih pada mobil yang melaju sesaat setelah berhenti di depan pintu gerbang. Ia tergopoh-gopoh berjalan menuju ruang guru untuk menemui rekannya. “Ri... Tadi yang nganter kamu teh Aa Rayyan, ya? Franda memicingkan matanya. “Iya, ada adiknya juga kok,” balas Riana cepat. “Kayaknya kalian lagi dekat, ya? Aa Rayyan teh dulu kakak kelasku waktu SD.” Riana tersenyum, “Deket gimana? Dia dan keluarganya memang sudah lama jadi donatur tetap di panti.” Franda duduk di kursi sebelah Riana. Franda adalah teman lama Dinda. Riana bisa bekerja di sekolah ini karena mendapat informasi dari Dinda bahwa ada satu Sekolah Dasar di daerah Soreang, kabupaten Bandung yang membutuhkan tambahan guru. Saat ia mencari informasi kost di sana, Franda memberi tahu bahwa ada panti asuhan dekat sekolah yang membutuhkan pengurus panti. Riana menawarkan diri untuk menjadi pengurus di panti asuhan Permata meski gajinya sedikit. Ia ingin menjadi seseorang yang bermanfaat untuk sesama. “Tapi baru kali ini aku lihat Aa Rayyan nganter cewek. Sebelumnya aku nggak pernah denger dia dekat sama perempuan.” Riana tersenyum sekali lagi, “Jangan terlalu berlebihan, Fran. Kami nggak dekat gimana kok. Biasa aja.” Franda senyum penuh arti, “Yakin biasa aja? Kayaknya Aa Rayyan tertarik sama kamu. Kurang apa dia sih, Ri? Anaknya baik, shalih, punya bisnis travel dan Frozen foods, sayang sama ibu dan adiknya, pokoknya perfect.” Riana terpekur. Terngiang ucapan ummi yang mengatakan bahwa Rayyan ingin berta'aruf dengannya. Mungkin segala sudut dunia menertawakannya, mencemoohnya bahwa dia begitu bodoh karena menolak laki-laki yang menjadi idaman banyak perempuan. Ia tak perlu berkoar-koar menjelaskan sejuta ketakutannya menghadapi pernikahan karena masa lalu pahitnya bersama Aldebaran. Ia juga tak perlu berbagi apa yang ia rasakan kepada siapapun. Bahkan Dinda, sahabat terdekatnya pun belum tentu bisa memahaminya. Ia memilih memendam dalam-dalam perasaannya pada satu-satunya laki-laki yang pernah menjamahnya. Percuma saja ia curahkan isi hatinya pada Dinda sekalipun, karena ia tak akan mengerti bahwa apa yang dia rasakan sudah sedemikian rumit. Ia tak mau terus disalahkan dan dilabeli dengan sebutan perempuan bodoh yang menaruh hatinya pada seseorang yang bahkan tidak bisa memimpin dirinya sendiri. Laki-laki itu pun masih harus berjuang keras untuk keluar dari sisi gelapnya. Bagaimana dia bisa memimpin keluarga jika mengendalikan hawa nafsu saja masih berantakan. Aldebaran yang ia kenal adalah laki-laki berotak m***m yang sering gagal menjaga pikirannya dari seputar d**a dan s**********n. Aldebaran yang ia kenal sering kali terobsesi pada sesuatu yang negatif, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Aldebaran yang ia kenal kerap mencari hiburan di night club dan belum terbuka hatinya untuk beribadah. Satu motto yang mengatakan bahwa cintailah seseorang yang hatinya terikat pada Masjid dan mencintai Allah, maka cintamu akan bertambah pada Yang Maha Kuasa, kini hanya sebatas pemanis di bibir, karena nyatanya hatinya ia berikan pada seseorang yang dekat dengan maksiat. Terkadang ia merasa seperti bukan dirinya. Ia berteriak dalam hati, memintanya bangun dari cinta yang telah mematikan logika. Ia menjerit dalam hati, menyuruhnya melupakan laki-laki b******k itu dan membuka hati untuk laki-laki lain. Ia menenangkan diri bahwa pasti akan ada laki-laki baik yang menerimanya ada adanya, tak peduli apapun kondisinya, meski sudah tak perawan. Namun, nama itu masih terus berkelana di benak, terlebih belakangan ini Aldebaran semakin intens menghubunginya. Awalnya ia kesal pada Dinda karena luluh untuk memberikan nomor ponselnya yang baru pada Aldebaran. Namun ia tak bisa terus-terusan marah pada gadis manis itu. Ia berpesan pada Dinda agar alamatnya tidak sampai bocor pada laki-laki itu. Gadis itu masih saja terpaku pada anggapannya yang mengira Aldebaran telah mengoyak kesuciannya. Bagi sebagian perempuan, status lajang tapi bukan perawan itu bukan masalah untuk mereka. Tapi bagi Riana, hal itu menjadi beban yang memberatkan langkahnya. Semua itu adalah aib yang harus ia tanggung seumur hidup, yang membuatnya mundur ketika ada seseorang serius mendekatinya. Banyak ketakutan yang bercokol yang akhirnya membentuknya menjadi pribadi yang lebih tertutup. ****** Aldebaran menghempaskan tubuhnya di sofa yang terletak di pojok coffee shop milik Satria. Rasanya lemas, semangat hidupnya seolah turun ke titik terendah. “Ana apa maning, bro? Hidupmu akhir-akhir ini kayaknya galau mulu. Apa masih mikirin Riana?” Satria menyajikan sepiring pisang goreng krispi yang ditaburi meses dan keju.” “Sapa maning nek dudu calon bojoku. Rasane urung tenang nek urung entuk alamate Riana.” (Siapa lagi kalau bukan calon istriku. Rasanya belum tenang kalau belum dapat alamat Riana). “Udah ke rumah orang tuanya?” Satria menaikkan alisnya. Aldebaran mengangguk, “Udah. Tapi ya gitu. Mereka masih keukeuh nggak mau ngasih. Wong koh pada jahat temen, ya. Apa ora ngrasakna rekasane dadi Inyong. Apa aku kudu mohon-mohon ben pada gelem aweh alamate Riana? Suwe-suwe tak bledug sisan umahe apa ya.. Jan gawe mangkel banget sumpah.” (Orang kok pada jahat banget, ya. Apa nggak ngrasain menderitanya jadi aku. Apa aku harus mohon-mohon biar pada mau ngasih alamat Riana? Lama-lama aku bom sekalian rumahnya apa ya.. Bener-bener bikin dongkol banget sumpah). Aldebaran tak bisa lagi meredam emosi yang bergejolak. Ia tak peduli cerocosnya memancing perhatian pengunjung lain untuk melirik ke arahnya. Wajahnya sudah memerah karena marah. “Sabar, Bro. Riana kayane emang wis emoh karo kowe. Ibarate bayi kuwe wis gumoh, enek, wis ill-feel, pokoke tiada maaf bagimu.” (Riana kayaknya emang udah nggak mau sama kamu. Ibarat bayi itu udah gumoh (muntah), enek, udah ill-feel, pokoknya tiada maaf bagimu). Aldebaran berdecak dan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, menyilanya ke belakang. Ia mengembuskan napas frustrasi. “Tapi aku benar-benar serius sayang sama dia, Sat. Aku tuh pingin jagain dia. Pingin bahagiain dia.” Tatapan Aldebaran seolah bermuara pada sesuatu yang tak berujung. “Risiko jadi mantan playboy tuh kayak gini. Butuh usaha keras untuk meyakinkan seseorang. Skandal kamu dulu itu emang udah parah banget sih, bro. Kamu menyelingkuhi Diandra. Terus kamu jebak Riana, meski kamu belum sampai nidurin dia, tapi kamu udah melecehkan dia. Pikir pakai logika, cewek bakal pikir-pikir seribu kali untuk menerima cowok yang rekam jejaknya udah jelek. Pokoke wong lanang nek wis keganjel kasus esek-esek, mbuh arep tukang selingkuh, pelecehan seksual, apa hobi celup nganah celup ngeneh, kuwe wis ora nana regane neng mripate wong wadon.” (Pokoknya laki-laki kalau udah terganjal kasus esek-esek, mau tukang selingkuh, pelecehan seksual, apa hobi celup sana celup sini, itu udah nggak ada harganya di mata perempuan). Setiap kata yang terlontar dari Satria diamini oleh Aldebaran. Ia menduga, Riana keberatan dengan masa lalunya. “Tapi nggak adil juga kalau seseorang dinilai dari masa lalunya. Yang terpenting masa sekarang, kan? Ya memang aku juga belum baik sepenuhnya, tapi setidaknya aku mencoba jaga hati dan raga buat Riana.” Satria menghela napas, “Itu semua belum cukup.” Senyap... “Bro apa hati kamu emang nggak bisa lagi pindah ke lain hati? Aku melas ndeleng awakmu. Nganti kurang turu, kurang mangan gara-gara wong wadon.”(Aku kasihan lihat kamu. Sampai kurang tidur, kurang makan gara-gara perempuan). Aldebaran menatap sahabatnya tajam. “Aku nggak bisa mikirin cewek lain lagi. Aku cuma ingin Riana,” tandas Aldebaran. Ia melirik sahabatnya sekali lagi, “Bagaimana usahamu minta alamat dari Dinda?” Satria terperanjat. Belakangan ini, dia memang berkomunikasi beberapa kali dengan gadis itu via direct message di **. Namun Dinda masih menanggapi dingin. “Belum berhasil, tapi insya Allah kalau nanti udah dapet, aku bakal kasih tahu alamatnya ke kamu.” Aldebaran mengangguk, “Makasih, ya.” ****** Setiap malam selalu terlalui tanpa arti. Kerinduan pada gadis itu seakan tengah memuncak saat malam begini. Ia tak pernah membayangkan bahwa merindukan seseorang bisa menjadi sesakit ini. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi menahan rindu yang menyesakkan. Ia membuka aplikasi w******p dan membaca status Riana. Laki-laki itu dinilai dari tempat tongkrongannya. Yang suka nongkrong di club malam pasti nggak jauh-jauh pergaulannya dari miras, n*****a, dan perempuan. Beda sama cowok yang rajin sholat dan kajian di Masjid, insya Allah pergaulannya juga baik dan terjaga. Aldebaran merasa tertampar. Ini seperti sindiran untuknya. Mungkinkah Riana sengaja membuat status seperti ini untuk menyindirnya? Ia mengirim balasan atas status yang dipajang calon pacar halalnya itu. Kamu nyindir aku? Satu menit, dua menit terlewati, balasan belum juga datang. Saat ponselnya berbunyi, hatinya berbunga. Baru saja mendengar bunyinya, perasaannya sudah seperti terbang, padahal belum tentu juga w******p yang datang dari orang yang diharapkan. Riana mengirimkan balasan. Aku nulis status bukan untuk menyindir atau ditujukan untuk seseorang. Kalau kamu tersindir, ya bagus lah. Ternyata kamu masih akrab dengan dunia malam. Glekk... Ini seperti bumerang untuknya. Ia yakin, Riana semakin hilang respek padanya. Aldebaran hendak menelepon tapi ia urungkan. Ia yakin Riana tak akan membalasnya. Ia membalas pesan w******p dari Riana. Aku sedang berusaha memperbaiki diri. Kalau kamu mau mendukungku, aku pasti bakal makin bersemangat. Kali ini Riana sedang berbaik hati. Ia obati kegalauan dan kerinduan Aldebaran dengan balasan-balasan WA-nya. Jika memang sungguh-sungguh memperbaiki diri, ada atau tidaknya dukungan, kamu akan tetap maju. Niatkan semua karena Allah, bukan karena seseorang. Aldebaran tertegun sesaat. Ia kembali mengirimkan balasan. Ya aku akan tetap maju meski kamu nggak mau mendukungku. Sepi.. Tak ada lagi balasan. Sepuluh menit berlalu, Riana tak lagi membalas pesannya. Aldebaran kembali mengirim beberapa pesan. Ia tak peduli entah pesannya akan dibalas atau tidak. Aku akan terus belajar memperbaiki diri dan aku masih menunggumu di sini.. Aku ingin bertemu, ingin lihat kamu... Cuma sekedar ingin tahu keadaanmu. Terserah nanti kamu mau menemuiku atau nggak, asal aku udah tahu alamatmu, aku bakal merasa tenang. Aku serius ingin menikahimu. Cukup beri aku kesempatan untuk membuktikan. Aku memang b******k, masa laluku kelam. Mungkin kamu jijik lihat aku. Mungkin aku memang nggak pantas buat kamu. Tapi tak ada salahnya kamu kasih aku kesempatan untuk memantaskan diri buat kamu. Aku cuma ingin menjagamu lebih baik. Nggak terbersit sedikitpun untuk nyakitin kamu. Please kasih aku kesempatan. Ada saatnya orang merasa lelah untuk mengejar. Ada saatnya ia menyerah, bukan karena cinta itu telah hilang, tapi ia tahu, mungkin memang orang yang dicintai lebih bahagia bersama orang lain... Tapi aku belum ingin menyerah... Aku akan terus mengejarmu sampai kamu bilang “ya”. Silakan menyebutku bodoh. Bagiku tidak ada kata bodoh dalam cinta. Aku yakin dengan perasaanku dan aku akan terus memperjuangkan. Aldebaran menghela pasrah. Ia tak akan mengharapkan balasan apapun. Ia tahu, Riana tak akan membalasnya. Pria itu tak pernah tahu, gadis yang saat ini membaca rentetan pesan darinya tengah sekuat tenaga menahan air mata agar tak jatuh. Meski akhirnya menyerah. Tetes-tetes air mata yang mengalir seakan menandakan betapa dalam perasaannya. Ia hanya mampu berbisik diantara heningnya malam.. berbisik sesuatu yang tak akan pernah sampai padanya...I love you... ******* Aldebaran mengerjap. Ia mengucek matanya dan melirik jarum jam. Baru jam tiga dini hari. Entah kenapa malam serasa jauh lebih panjang dari sebelumnya. Rasanya ingin cepat-cepat bertemu pagi. Ia meraih ponselnya dan membaca pesan w******p dari Satria. Bro, aku udah dapet alamat Riana. Siap-siap ya setengah gajimu ditransfer ke rekeningku hahaha. Aldebaran terperanjat. Ia tak menyangka Satria yang biasanya tak bisa diandalkan berhasil mendapat alamat Riana. Kalau tidak ingat umur, rasanya ia ingin melonjak-lonjak saking gembiranya. Terbayang olehnya untuk menyusul gadis pujaannya dalam waktu dekat ini. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD