NURAGA SUKMA JOYODININGRAT

1996 Words
"Bali tugas sesuk, kowe langsung neng Jogja. Ora nganggo alesan sibuk utawa liyane. Sliramu kudu sowan eyang kakung. Sliramu musti ngerti, ngopo eyang geger ngendiko Sliramu bali. Ngerti to le, opo sing dadi pangarepane eyang?" (Pulang tugas nanti, kamu harus ke Jogja. Tidak pakai alasan sibuk dan lainnya. Kamu harus datang menemui eyang kakung. Kamu harusnya mengerti, kenapa simbah harus menyuruh kamu pulang. Paham kan Nak, apa yang eyang mau?) Aku menghela napas panjang setelah mendengar suara eyang kakung dari telepon, "nggeh, eyang kakung. Raga pulang ke Jogja setelah tugas di sini selesai. Kalau begitu, Raga kembali lagi bertugas ya, eyang. Masih banyak tugas yang harus Raga selesaikan," ucapku yang hanya ditanggapi dengan deheman eyang kakung. Lagi-lagi aku mendapatkan telepon teror dari keluarga besar yang menyuruhku pulang ke Jogja setelah tugas. Bagaimana bisa aku tenang jika sebenarnya alasan keluarga besarku gencar menyuruhku pulang hanya agar aku cepat menikah, tapi bukan dengan jodoh pilihanku sendiri. Melainkan jodoh yang sudah di tetapkan keluarga sejak aku masih kecil. Baiklah, itu semua adalah hal biasa untuk anggota keluarga Joyodiningrat, seperti aku. Namaku Nuraga Sukma Joyodiningrat—biasa dipanggil Raga atau kapten jika di lapangan. Aku bukan seorang pilot dengan empat bar balok dipundak dengan warna keemasan, tapi aku seorang tentara angkatan darat dengan tiga balok di pundakku dan mempunyai warna keemasan juga. Aku tidak akan menjelaskan soal tugasku serta pangkatku, aku hanya akan menjelaskan tentang keluargaku. Keluarga besarku adalah keturunan darah biru, walaupun nyatanya saat aku terkena tembakan, darahku tetap saja merah. Kata orang-orang, keluargaku adalah trah yang terhormat. Mempunyai banyak garis keturunan leluhur berkasta tinggi. Entahlah, apakah hal seperti itu masih berlaku di era modern seperti saat ini. Pada intinya, jika masuk dalam garis keturunan keluarga, maka aku akan mendapatkan jodoh yang sudah dipilihkan oleh para sesepuh kami. Mau punya pacar atau tidak, suka atau tidak, kami harus melaksanakan pernikahan itu. Karena bagi para sesepuh, ada semacam peribahasa Jawa soal cinta, witing tresno jalaran sako kulina—cinta datang karena terbiasa. Sebenarnya peribahasa itu tidak sepenuhnya salah, aku pun percaya. Tapi yang menjadi masalahnya adalah, haruskah secepat ini? Walaupun nyatanya umurku ini sudah menginjak tiga puluh tahun dan sebagian teman-teman seperjuanganku sudah banyak yang menikah. Jangankan teman satu perjuangan, mereka yang baru naik pangkat menjadi Lettu saja langsung pengajuan. Miris memang, tapi mau bagaimana lagi? Tradisi yang menuntutku untuk menunggu calonku itu berumur dua puluh tahun. Aku mengusap wajahku kasar karena frustasi. Sebenarnya aku juga sudah memiliki pacar yang berada di Jogja pula. Kami LDR sejak lama karena aku memang sering berpindah tugas. Selain itu, dia juga sebagai dokter juga sibuk dengan pekerjaan di tempat yang baru. Setelah dia lulus dari fakultas kedokteran dan mengikuti koas serta melakukan intersif, dia baru bisa menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta di Jogja. Kami sudah pacaran sejak SMA, jarak umur kami hanya dua tahun. Selama ini kami sangat jarang bertemu dan jarang juga berkomunikasi karena aku juga kadang di tugaskan di tempat-tempat yang jarang ada sinyal. Jadi, kami sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Baru saja aku ingin berdiri dari dudukku, ponselku kembali berdering dan sekarang sudah menunjukkan deretan huruf bertuliskan ayah. Aku buru-buru mengangkat telepon yang pasti intinya hanya akan membahas soal perjodohan dan pernikahan yang sudah final. Dan mungkin saja, calon yang dipilihkan keluargaku itu, baru saja menginjak dua puluh tahun. Makanya semua anggota keluarga gencar untuk segera menghubungiku. Aku paham sekali soal ini, apalagi setelah aku pulang nanti, akan segera dilaksanakan semacam pengenalan antara aku dan dia. "Assalamualaikum yah, ada apa?" Tanyaku dengan menatap hamparan langit biru yang kini semakin cerah. Wajahku sudah berubah bosan karena semua orang berusaha menerorku dengan banyak telepon soal seberapa siapkah aku dengan pernikahan bodoh ini. Jika boleh jujur, sebenarnya aku juga tidak mau dijodohkan seperti ini. Mirip laki-laki yang tidak bisa mencari perempuan saja untuk dinikahi. Sedangkan mereka semua tahu jika aku punya pilihan sendiri. "Walaikumsalam, gimana kamu di sana, le? Sehat?" Tanya ayah yang membuatku hanya bisa menarik napas panjang. Aku sebenarnya tidak benar-benar sehat karena galau parah soal acara perjodohan itu. Rasanya ingin bicara pada ayah, tapi sepertinya sama saja. Aku dan ayah memang sama-sama TNI yang menikah pada usia tiga puluh tahun. Bedanya, ayah dan bunda sama-sama masih lajang. Sedangkan aku? Aku sudah punya perempuan yang berada di sisiku dan calonku itu? Mungkin saja dia juga punya laki-laki di sisinya. Apakah perjodohan ini tidak akan menyakiti banyak pihak. Aku sudah beberapa kali mengenalkan pacarku pada keluargaku, namun hasilnya tetap nihil. Respon mereka baik namun tidak pernah memberikan lampu hijau bagi hubungan kami. Aku mendekatkan ponselku ke arah telinga kembali, "hm, Raga sehat kok, yah. Sebenarnya, tadi eyang kakung udah telepon dan nyuruh Raga pulang setelah tugas di sini selesai. Memangnya sudah waktunya ya, yah?" Tanyaku ragu meskipun aku tahu jika memang sudah saatnya. "Iya, sudah. Dia juga akan pulang ke Jogja bulan depan bertepatan dengan kepulanganmu juga kan?" Aku kembali termenung dengan pertanyaan ayah, kok bisa samaan dengan bulan terakhir aku selesai bertugas. Apakah tidak aneh jika nanti kami bertemu, apa dia tidak kaget akan segera dijodohkan dengan laki-laki yang umurnya sepuluh tahun lebih tua darinya. Memangnya aku ini tidak akan dianggap sebagai bujang lapuk atau malah seorang p*****l yang suka dengan daun muda. Tapi, jika menentang untuk tidak mau menikah, itu sama saja membuat masalah dengan semua lapisan keluarga dan akan dianggap menodai harkat dan martabat diri serta keluarga. Dan pastinya pihak calonku juga akan sedikit membuat kekacauan karena merasa dirugikan. Ah, aku benci dilahirkan di keluarga yang terlampau terhormat seperti ini. "Jangan berpikir untuk kabur dari tanggung jawab jika kamu tidak mau nasibmu akan sama dengan Danu. Jangan membuat malu keluarga dan dirimu sendiri. Soal cinta, pasti nanti akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Ayah percaya kamu nggak akan bisa mengecewakan semua orang," ucap ayah kembali yang hanya membuatku semakin bingung dan merasa bersalah. Soal mas Danu yang ayah singgung itu adalah anak kedua dari pakdhe Arjo. Mas Danu juga sama-sama tentara seperti aku, dia juga dijodohkan namun menolak mentah-mentah soal pernikahan dan kabur dengan perempuan pilihannya. Mereka akhirnya berpisah beberapa tahun kemudian karena istrinya berselingkuh dengan bawahan mas Danu sendiri. Setelah itu mas Danu pulang ke Jogja dan meminta maaf kepada seluruh anggota keluarga. Yang bisa aku ambil dari maksud ayah adalah, pilihan keluarga sudah jelas untuk memberikan penghidupan yang sempurna. Karena mereka tidak akan asal-asalan memberikan calon untuk keturunan mereka. Maka dari itu orang Jawa selalu menggunakan 3B dalam mencari mantu, yaitu, bibit, bebet, bobot. Sedangkan masalah cinta, akan mengikuti waktu. Lagipula, aku tidak siap seperti mas Danu yang hidup diantara keluarga namun respon mereka dingin karena kesalahan mas Danu yang menolak perjodohan, sudah mencoreng kehormatan keluarga. Bahkan calon yang sebenarnya sudah di pilih untuk mas Danu sendiri, ternyata adalah cinta pertama mas Danu di waktu kecil. Aku tahu karena mas Danu yang banyak cerita setelah kembali ke Jogja waktu itu. Aku kembali fokus dengan ayah meski aku sebenarnya juga tidak terlalu setuju, "Raga nggak akan kabur, yah. Mungkin untuk Raga hal ini aneh. Raga nggak habis pikir kenapa jaman modern seperti ini masih ada acara perjodohan." Jawabku dengan intonasi nada rendah. Takut jika ayah akan murka. Bisa dicoret namaku dari daftar warisan. "Kita bicarakan kalau kamu sudah sampai Jogja. Laksanakan saja perintah ayah," ayah langsung saja menutup telepon dan aku hanya bisa melihat layar ponselku yang sudah tidak lagi menampilkan foto ayah. Baiklah, apa dayaku jika seorang tentara yang terkenal garang di lapangan bakalan di jodohkan dengan pilihan keluarganya. Aku harus menyembunyikan semua ini dari bawahanku atau aku akan diejek habis-habisan dan dikira komandan yang tidak laku. Memangnya aku ini apa? Semacam laki-laki yang tidak bisa mencari jodoh sendiri? Ah, biar aku lihat, secantik apa pilihan keluargaku. Apakah lebih cantik dibandingkan pacarku. Samar-samar aku mendengar ada suara beberapa orang yang bicara dibalik semak-semak. Sudah pasti ada penyusup yang menguping pembicaraanku dan sudah jelas adalah si kampret-kampret menyebalkan itu. Aku berjalan mengendap-endap untuk melihat ke arah siapa oknum-oknum kurang ajar yang akan menjadi sasaran emosiku. "Ada apa sih kok pada rame-rame di sini? Lagi nguping ya?" Sudah jelas ini suara Pratu Jaya. Laki-laki dengan wajah ganteng tapi kadang suka telmi—telat mikir, kalau diajak bicara hal-hal di luar militer. Aku hanya melipat tangan di d**a sambil terus memasang telingaku. "Itu, masa danki yang galaknya nggak ketulungan mau dijodohin sama keluarganya. Tadi kami dengar pembicaraan danki di telepon," ucap Letda Fian dengan tertawa pelan. Ini namanya penghinaan terhadap atasan bukan? Keterlaluan, mereka harus diberikan pelajaran. "APA? Danki mau dijodohkan? Terus pacarnya yang dokter dan cantik itu mau dikemanakan? Duh, mana cantik banget lagi itu pacarnya danki. Udah gitu, body-nya uh," Lettu Sandi ikut memberi tanggapan yang membuatku semakin kesal. "Ehm," dehemku yang membuat ketiga laki-laki dengan pakaian doreng itu langsung berdiri tegap menghadapku dengan wajah was-was namun tetap saja dalam posisi siap. Ketiganya langsung berbaris rapi dan pandangannya lurus, "siap, salah danki!" Teriak ketiganya yang sudah melihat kemarahan di wajahku. Ketiga bocah ini memang tidak pernah paham bagaimana strategi menguping dengan baik dan benar. Jika begini kan, aku jadi harus turun tangan menguping pembicaraan mereka. "Siap salah—siap salah, gimana sih kalian, nguping pembicaraan aja sampai ketahuan. Bagaimana kalau kalian mengintai musuh, bisa-bisa kalian tertembak duluan. Mana ada mengintai tapi berisik macam kalian ini," tegurku dengan galak, khas jika aku melatih mereka di lapangan dan sebagai pengarah bagi anak buahku. Aku memutari ketiga anak buahku itu dengan ekspresi wajah sangar, "dasar kalian ini menyebalkan memang. Sudah ku bilang untuk tetap berjaga, lalu apa yang kalian lakukan di sini? Ingin tahu urusanku? Atau mau tahu masalah pribadiku," aku semakin gencar mengomeli ketiganya. Biar tahu rasa. "Siap, salah danki!" Seru ketiganya dengan wajah bersalah. Benar-benar mereka ini sangat mudah memasang wajah melas yang membuatku menjadi tidak tega untuk sekedar menyuruh mereka berguling-guling di depan barak atau sedikit melakukan atraksi tarian perut misalkan. Aku menghela napas kasar, jika aku sedang dalam keadaan yang lebih buruk dari ini, mungkin aku akan mengamuk. Tapi aku juga butuh saran dari para laki-laki yang sudah berkeluarga seperti mereka. Setidaknya mereka lebih berpengalaman soal hal semacam ini. Rasanya aku harus membuktikan satu hal di dalam keluargaku, mungkin saja bisa mengubah jalan pikiran mereka. Jika pilihan keturunan mereka juga bisa lebih baik dari pilihan mereka. Aku menatap hamparan langit dengan wajah yang menengadah sedangkan bibirku mulai bicara sesuatu pada ketiganya, "sudah, aku maafkan kalian. Tapi aku butuh pendapat kalian sekarang. Lihat aku ya, menurut kalian aku ini seperti apa?" Tanyaku yang membuat ketiganya hanya bisa menoleh ke arah kanan dan kiri saling menatap satu sama lain. Lalu mereka tertawa dengan keras karena ucapanku. Aku menaikkan sebelah alisku dan beranjak pergi, "percuma bicara dengan kalian. Sekarang silahkan push up dua ratus kali, sebelum selesai jangan ada yang datang pada saya." Ucapku yang membuat ketiganya langsung menghentikan tawanya. Siapa suruh bermain-main denganku yang sedang dilanda stress begini. Biar tahu rasa, sekali-kali mereka harus diberikan pelajaran soal kesopanan pada atasan. Baru saja aku sampai di depan barak, suara ponselku kembali terdengar. Aku langsung menatap ke arah ponselku dan melihat deretan nama bertuliskan Ayu, perempuan menyebalkan satu ini mau apa lagi? Cukup untuk hari ini dan aku sudah cukup lelah. Klik. Aku mengangkat telepon dari orang di seberang sana dengan cepat, "halo," sapaku dengan tidak santai. Sedangkan suara di seberang sana sedang mengintruksikan sesuatu. "Mas, foto mas yang waktu itu, bulan depan bakalan masuk ke majalah Realita. Keren kan Mas? Siapa dulu dong fotografernya," ucap adik perempuanku itu dengan girang. Namun berbeda dengan aku yang hanya bisa bengong dengan ekspresi mulut terbuka karena saking shock-nya. Memang adik durhaka, hari ini memang hari sialku mungkin. "Heh, Ayu, kamu nggak bilang sama mas kalau foto itu bakalan kamu masukin ke majalah. Mau bikin muka mas tercoreng apa? Mas ini tentara tahu nggak? Bikin malu aja," ketusku dengan kesal dan hanya ditanggapi dengan tertawaan darinya. Memang hari ini semua orang bertindak menyebalkan. Awas saja jika tugasku selesai, akan aku selesaikan kekacauan yang membuatku kesulitan seperti ini. Apalagi perjodohan gila ini juga membuat aku merasakan hidup di neraka. Setidaknya dengan pembicaraan anak buahku tadi, aku semakin keras berpikir agar aku tidak melewati pernikahan tanpa cinta seperti ini. Tapi, aku juga tidak bisa membuat malu keluargaku dengan menolaknya. Maka dari itu, akan aku buat semua orang melihat kualitas pacarku yang seorang dokter dan akan aku bandingkan dengan perempuan pilihan keluargaku itu. Permainan baru saja dimulai!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD