BAB 1 - TRAGEDI SAMPUL MAJALAH

1983 Words
Viany memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sekarang masih cukup untuk sekedar makan dan minun di restoran fast food agar di perjalanan nanti, kelaparan tidak akan menyapa. Apalagi jika nantinya akan ada semacam kejadian seperti pada film Train to Busan yang tiba-tiba muncul Zombie, mungkin Viany tidak akan digigit karena terlalu banyak lemak jahat dan juga kolesterol. Itu salah satu teori dari seorang mahasiswa hukum yang selalu percaya dengan monster dalam film. Dia juga heran, kenapa seorang yang anehnya seperti sahabat sejak kecilnya itu bisa masuk fakultas hukum yang katanya susah. Padahal jika Viany melihat dari banyaknya anak hukum, yang tingkahnya tidak sesuai kaidah mahasiswa hukum hanya Randu seorang. Biasanya, anak-anak hukum itu orangnya rajin dan membawa buku-buku tebal berisi tentang pasal-pasal, tapi yang dia lihat dari Randu sendiri tidak seperti itu. Laki-laki itu bahkan jarang masuk kelas dan banyak menghabiskan waktunya hanya untuk menganggu Viany kuliah. Membuat laporan juga minta Viany yang mengetik dan membuat layout-nya. Viany—mahasiswi farmasi malah pintar dalam membuat laporan untuk anak-anak hukum karena sahabatnya itu. Dia jelas tidak bisa menolak, karena Randu yang menjanjikannya traktiran sepuasnya. Bahkan untuk begadang semalaman demi makan gratis pun dia akan lakukan, maklum lah anak kost. Tinggal mengetik yang ada di buku hukum tebal milik Randu, sudah di garis bawahi dan itu gampang. Randu memakan burger ukuran besar dengan double keju. Sedang Viany hanya memakan ayam tanpa nasi karena sebelum berangkat, dia juga sudah makan di kost. Randu saja yang tidak bisa santai karena melepaskan Viany pulang sendiri. Bukankah biasanya keduanya memang selalu bersama-sama? Berangkat atau pulang ke Jogja memang selalu barengan, dan hanya saat ini saja mereka tidak bisa pulang bersama. Selain karena Viany kali ini ada urusan keluarga, Randu juga sedang pelik-peliknya dengan urusan kuliahnya walaupun sudah memasuki masa liburan semester. Ada beberapa penelitian yang harus dia lakukan bersama dengan teman-teman satu kelompoknya di kejaksaan. "Lo nggak papa kan pulang sendirian naik kereta?" Tanya Randu untuk kesekian kalinya pada Viany. Mungkin jika sekali lagi dia bilang begitu, Viany bisa saja melayangkan flat shoes miliknya ke arah sahabatnya itu. Randu itu memang baik, tapi kelewat baik jadi membuatnya sebal. Viany ingin marah, namun takut diturunkan dipinggir jalan. "Hm, lo mau nanya berapa kali sih, Ndu? Lo pikir gue bocah lima tahun apa?" Ketus Viany dengan memakan ayam kedua yang memang menjadi favoritnya. Sudah bukan hal baru jika seorang Viany yang katanya keturunan ningrat, tapi sikap dan perilakunya tidak ada sopan-sopannya. Hanya darah saja yang ningrat, selebihnya hanya rakjel—rakyat jelata. Randu mendengus sebal karena mendengar jawaban Viany baru saja. Tidak ada yang mereka bicarakan setelah itu, hanya ada suasana hening. Keduanya menikmati makanan masing-masing dan baru kembali melanjutkan perjalanan. Laki-laki itu berjalan ke arah Viany yang berdiri di depan pintu keluar setelah membayar makanan mereka tadi. "Udah?" Tanya Viany yang hanya diangguki oleh Randu. Laki-laki dengan kaos polos warna biru dan celana pendek dengan corak doreng khas seragam tentara itu menarik Viany agar berjalan beriringan bersamanya. Sekilas jika dilihat, mereka memang seperti pasangan kekasih yang terlihat sangat romantis. Kenyataan bahwa keduanya hanya sahabat memang tidaklah terlalu terlihat, apalagi jika setiap ada Viany, maka di sana ada Randu. Viany masuk ke dalam mobil Honda Brio yang dikemudikan langsung oleh pemiliknya yaitu Randu sendiri. Mobil hasil dari rengekan kepada papanya tiga minggu lalu dengan alasan tidak bisa mengantarkan Viany kemana-mana. Jadi, seakan-akan Viany yang meminta padahal itu hanya akal-akalan Randu saja agar bisa dibelikan mobil baru. Meskipun dengan begitu Viany bisa hemat ongkos karena Randu bisa mengantarkannya kemana-mana. "Mm, btw lo yakin mau pulang sendiri?" Viany memutar bola matanya malas. Mau berapa kali dia ditanyai hal semacam ini. Bukankah hanya naik kereta dari Surabaya-Jogjakarta itu tidak jauh-jauh amat. Dia bukan mau keluar pulau dan bukan mau tour keluar negeri, tapi kekhawatiran Randu sudah mirip emak-emak takut suaminya nikah lagi. Viany menatap ponselnya yang sepi senyap, maklum lah jomblo siapa juga yang menghubungi. Palingan juga keluarganya atau Randu. Sedangkan Randu yang biasanya mengiriminya pesan saja sedang duduk di jok kemudi sekarang, mana mungkin akan meramaikan ponselnya meski hanya dengan huruf P saja. Sesekali Viany menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Masih pukul tujuh kurang seperempat. Masih ada waktu untuk perjalanan ke stasiun dan tentunya tidak akan terlambat. Dengan bermodal tiket online yang dipesankan Randu sekitar tiga hari yang lalu, pukul tujuh nanti Viany akan segera meluncur untuk sampai di kampung halamannya. Bukan untuk kangen-kangenan dengan anggota keluarganya, namun untuk perjodohan gila yang memang harus dijalaninya. "Kira-kira, jodoh gue kaya apa? Pasti tampangnya biasa aja dan cupu banget. Kaya suaminya mbak Vita, udah pendek terus kumisnya tebel. Untung mbak Vita orangnya sabar walaupun harus nikah sama mas Bowo. Padahal ya Ndu, mantan pacar mbak Vita itu tinggi terus kotak-kotak gitu badannya, apalagi profesinya itu lho. Pilot, mimpi enggak sih mbak Vita malah nikah sama suaminya yang sekarang. Ya bukan masalah profesinya sih, tapi orangnya juga. Lo kan tahu, diantara cucu yangkung yang paling cantik ya mbak Vita itu. Coba deh lo bayangin, mbak Vita yang cantiknya kaya gitu aja dapatnya cuma begitu. Terus apa kabar sama gue yang muka aja pas-pasan?" Teriak Viany di dalam mobil Randu dengan seenaknya. Randu menutup telinganya dengan satu tangannya, kedua bola matanya memelototi Viany yang hanya nyengir tanpa dosa. Memang benar jika keturunan ningratnya itu hanyalah faktor luck saja. Mana ada keturunan keluarga terhormat yang saat bicara nadanya tinggi semua. Mungkin hanya Viany saja yang selalu bicara dengan nada-nada tinggi. Mungkin perempuan itu menganggapnya sebagai orang budek. Baru setelah sepuluh menit, mereka sampai di depan stasiun Gubeng. Viany memang menyuruh Randu segera pulang karena sekitar jam delapanan, Randu memang ada jam kuliah. Dengan buru-buru Viany turun dari mobil sahabatnya itu. Sedangkan Randu juga ikut turun karena harus melihat keberangkatan Viany. "Ndu, nggak usah nganterin gue sampai dalam. Udah sana pergi ke kampus, jangan sampai IPK lo jemblok lagi, nanti gue bisa-bisa diintrogasi sama bokap lo. Sana lo pergi, gue cuma balik ke Jogja Ndu, nggak mau minggat. Jangan bikin gue malu lah," ucap Viany yang sudah menggendong tas ranselnya di punggung dengan cekatan. Tangan kanannya sudah sibuk membukakan pintu mobil laki-laki itu untuk segera pergi. "Bu, kakak itu kenapa? Mereka mau putus ya?" "Hush, kamu jangan ikut-ikutan ya kalau udah besar. Enggak baik di tempat umum berantem," Suara ibu dan anak itu membuat keduanya hanya bisa saling menatap dengan wajah Viany yang menekuk sempurna, dikira dia sedang ribut dengan pacarnya? "Dia pikir gue lagi ribut sama pacar gue apa? Gimana gue mau ribut sama pacar, cowok aja nggak punya!" Teriak Viany dengan wajah kesal yang hanya dipegangi oleh Randu.  Bisa panjang urusannya jika Viany mencak-mencak di depan stasiun. Randu menenangkan Viany yang masih emosi tinggi, "udah-udah, mending sekarang lo masuk daripada kereta lo keburu berangkat. Jangan lupa baca doa dulu sebelum naik, terus kalau udah sampai telepon gue. Bubay my sweet heart," ucap Randu dengan manis. "Iuch, jijik gue," jawab Viany dengan sadis. Sudah biasa bagi Randu jika diperlakukan begitu oleh Viany. Sakit tapi tidak berdarah, pokoknya Randu hanya bisa melihat punggung sahabatnya itu dari jauh. Dengan setengah berlari, Viany masuk ke dalam kereta dan mencari tempat duduknya. Beberapa kursi masih kosong dengan tatanan tempat yang rapi. Viany menyimpan tas punggungnya dan duduk di dekat jendela. Untuk mengusir rasa bosan, dia memilih menonton majalah yang berada di sana. Sampul majalah depan menampakkan wajah seorang laki-laki dengan kemeja dan jas formal yang pas sekali dengan tubuhnya. Viany malah sudah berkhayal seenaknya karena melihat foto laki-laki itu. Viany menatap sampul majalah itu dengan seksama, "duh, kok lo ganteng banget sih mas. Andai elo yang jadi jodoh gue, udah gue plastikin bawa pulang deh. Heran, kenapa cowok yang jadi model majalah Realita ganteng-ganteng banget. Randu mah lewat!" Ucap Viany yang terus memandang foto laki-laki itu lalu memeluk majalah bersampul merah jambu itu dan kembali menciumnya tepat di bagian foto sang model yang memang terlihat sangat menawan di foto. ### Raga sedikit berlari karena bangun kesiangan dan alhasil dia harus mengejar waktunya untuk segera berangkat ke stasiun pagi ini. Dengan bermodalkan nekad, dia berlari ke arah kereta yang sudah dia pesan sejak kemarin. Semua kereta dengan jam malam sudah habis dan akhirnya dia mendapatkan tiket pagi. Stasiun Gubeng cukup padat, apalagi saat ini memang sedang musim liburan. Sebelum akhirnya keretanya berangkat, Raga langsung melompat dan masuk dengan napas yang tersengal-sengal. "Mas?" Suara diseberang sana tidak dia dengarkan. Adik perempuannya itu memang membuatnya susah saja. Raga juga menjadi kesal karena ada sebuah kiriman majalah yang memang bersampul fotonya. Bukankah harusnya dia senang karena terkenal, bukannya malah susah seperti saat ini? Raga semakin mempercepat langkahnya. Oke, dia hanya tinggal mencari tempat duduknya. Setelah itu dia akan melanjutkan tidurnya yang tertunda. Tangan kanannya kini memegang sebuah majalah yang membuatnya marah-marah sejak semalam. Bagaimana tidak? Adiknya adalah fotografer yang memang dipercaya oleh majalah paling hits itu untuk mencari model sampul majalah. Karena tema dari edisi saat itu adalah bukan model yang sesungguhnya, maka adik perempuan satu-satunya itu dengan teganya meminta dirinya untuk berfoto. Meski Raga tidak mau, namun pemaksaan terus berlanjut. Dan alhasil, jadilah foto yang berada di sampul majalah itu. Raga menempelkan ponselnya ke telinga kirinya, "mas malu tahu nggak! Mas bukan model dan harusnya kamu nggak perlu masang foto mas di majalah yang bisa di beli semua orang. Gimana kalau ada perempuan atau laki-laki yang tiba-tiba berhalusinasi pakai foto mas? Ada perempuan m***m misalnya. Sekarang jamannya gitu," ucap Raga sewot dengan wajah kesalnya. Adiknya tertawa dengan keras, "lagian kenapa sih mas? Aku udah transfer honornya ke rekening mas. Lagipula nggak bakalan ada cewek yang ciumin foto mas sampai sampulnya basah kok—" Raga mematikan sambungan teleponnya, sedangkan matanya terfokus pada perempuan yang sekarang duduk di dekat jendela sedang mencium sampul majalah yang sama dengan apa yang dia genggam. Pikiran Raga semakin runyam saja, dan yang menjadi fokus Raga adalah di mana perempuan itu menempelkan bibirnya saat ini. Laki-laki itu menutup aset berharga miliknya dengan tas, lalu menyembunyikan wajahnya yang memerah. Apa dia tidak salah lihat? Dia bertemu dengan perempuan yang benar-benar m***m sekarang? Apa ini yang namanya baik-baik saja jika foto-fotonya tersebar luas. Pastinya perempuan itu sedang sibuk berhalusinasi. Raga memang anti dengan hal-hal semacam itu. Setelah beberapa saat, perempuan itu mendongak dan mendapati Raga sedang berdiri dengan wajah kagetnya. Viany yang menyadari ekspresi wajah laki-laki di depannya itu hanya bisa bengong. Keduanya saling menatap dengan ekspresi yang berbeda. Viany langsung memalingkan wajahnya karena malu, sedangkan Raga sedang mengumpulkan nyawanya yang terbang entah kemana. Apakah dia baru saja mengalami sebuah pelecehan meski perempuan itu hanya mencium yang di foto? Raga buru-buru duduk di kursi yang berada tepat disamping Viany dengan perasaan yang campur aduk. Sedangkan perempuan itu langsung menoleh dengan bergantian menatap orang di sampul majalah dengan laki-laki disampingnya. Mirip! Mungkin itu yang ada di dalam pikiran Viany sekarang. Sedangkan Raga hanya sok sibuk dengan ponselnya karena sudah berpikir yang tidak-tidak tentang perempuan yang ada disampingnya itu. "Mas, model ya?" Tanya Viany heboh dengan menunjukkan majalahnya dengan antusias sedangkan Raga diam saja karena bingung. Mulutnya hanya membuka tanpa ada suara yang keluar. "Eh, enggak kok." Raga langsung saja menjauhkan dirinya meski itu hanya beberapa sentimeter dari Viany. Mungkin jiwanya merasa terancam semenjak duduk di dekat perempuan yang dia kira adalah perempuan m***m itu. Viany tersenyum ke arah Raga, "padahal mirip banget lho. Eh, mas pernah enggak sih ngerasa kalau orangtua itu selalu memaksakan kehendak mereka seenaknya. Masa iya saya disuruh nikah diusia muda cuma karena saya kebanyakan belajar bikin an—" Ucapan Viany terputus karena Raga langsung berjalan menjauh darinya tanpa pamit. Sedangkan perempuan itu hanya bisa memandang aneh ke arah Raga dengan wajah bingung. "—tibiotik. Masa kabur gitu aja sih. Emangnya salah gue di mananya coba? Masnya enggak paham kali ya masalah anak farmasi. Ya iyalah nggak paham orang dianya model." Ucap Viany yang tidak mau ambil pusing. Sedangkan Raga langsung masuk ke kamar mandi dengan tergesa-gesa, dadanya naik-turun karena terlalu banyak senam jantung selama di kereta. Jalan mereka terasa panjang dan Raga cukup tekanan batin karena duduk dengan perempuan itu. Laki-laki itu menyisir rambut cepaknya dengan jari, "astaga ya Allah, dia mau bilang karena kebanyakan bikin an—ak pasti," ucap Raga heboh, harusnya dia mendengarkan sampai habis apa yang sebenarnya Viany ucapkan. Bukannya malah kabur dan langsung menerka-nerka apa yang akan Viany katakan. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD