The.Vi - 9

1499 Words
Hari ini dua makhluk Tuhan paling lucknut hadir kembali di sekolah. Setelah dua hari dengan sengaja tidak menampakkan diri. Theo dan Vivi keluar dari mobil Lamborghini Veneno Roadster berwarna hitam milik Theo. Mereka berjalan berdampingan, dengan tangan Vivi yang melingkar dilengan Theo. Tak jauh dari sana terlihat Raga yang berjalan malas ke arah gedung olah raga. Theo yang melihat temannya itu memanggilnya dengan bersuara lantang. "WOY, GA! RAGA!" teriak Theo. "Jangan teriak gitu dong, yang!" protes Vivi. "Ayang duluan gih, gue mau susulin bocah galon atu itu," ujar Theo sembari berlari menghampiri Raga. "Nasib gue gini amat sih. Ama temen aja, udah langsung GPL," gerutu Vivi. Cewek itu akhirnya berjalan masuk ke gedung SMA. Berjalan menyusuri lorong menuju kelasnya. Sialnya Vivi harus bertemu dengan Tuti. "Eh, Pipi ... sendirian aja nih? Theo mana? Theo juga kayak lainnya ya? Selancar masukin lobang sana sini ," sindir Tuti. "Eh, Tuti ... mulutnya lagi maintenance ya? Soalnya masih kedengeran nge-bug nih," balas Vivi. Tuti langsung memanyunkan bibirnya, dan jahilnya Vivi menarik bibir Tuti lalu berlari menjauh dari makhluk tak tau diri itu. "Hahahaha, maaf ya Tut!" teriak Vivi. Tuti menghentakkan kakinya karena kesal. Ia tak mengira bahwa Vivi akan jahil seperti itu padanya. "Kesurupan setannya Lia nih bocah," gumam Tuti yang memutuskan kembali ke kelasnya. *** Theo sedang menemani Raga di rooftop, cowok itu masih saja galau dengan hubungannya. Sembari menghisap gulungan tembakau, Raga terlihat melamun dan memikirkan sesuatu. "Belom baekan lu ama si Ami?" tanya Theo yang kini duduk disamping Raga. "Belom nih, makin ngambek aja cewek gue," jelas Raga tanpa melihat Theo. "Yaelah, tinggal lu tarik ke kamar mandi aja, apa susahnya sih?" celetuk Theo yang akhirnya menerima pukulan di kepalanya PLAK "Sakit, bangke!" keluh Theo. "Lagian lu punya mulut lucak banget sih, The!" Raga beranjak dari tempatnya, ia membuang putung rokoknya lalu berjalan kembali ke kelas. Sedangkan Theo masih duduk disana, cowok itu tengah asik bermain game cacing. Hingga lonceng sekolah berbunyi, akhirnya mau tak mau cowok itu harus masuk kedalam kelas. Sesampainya dikelas, teman-teman Theo berseru menyambut kedatangannya. "Whooaaaa, bos. Dari mana aja nih?" tanya Ahmad. "Lu di cariin sensei, The. Katanya lu belom daftar buat olimpiade bahasa Jepang," ujar Arde. "Gue lupa," jawab Theo singkat. "Gimane kagak lupa, di otak lo cuma ada si Vivi. Lagian kabur kemana cewek lu kemaren?" cecar Ando yang langsung mendaYpat tatapan tajam dari Theo. Theo tak menggubris ucapan temannya, ia duduk dan mengeluarkan buku pelajaran untuk dibaca. Benar saja, tak lama kemudian seorang guru bahasa Inggris masuk dan menyapa semua muridnya. "Good morning class," sapa mam Berta. "Morning, mam," jawab seluruh murid. Kegiatan belajar pun dimulai seperti biasa. Theo dan teman-teman lainnya kini fokus pada tugas yang diberikan mam Berta. "Eh, The. Penjelasan soal tenses yang kemaren lo ada catatannya kan?" tanya Arde, seperti biasa cowok satu ini memang tidak pernah mencatat pelajaran yang sudah dijelaskan. "Nih," sembari memberikan buku catatannya pada Arde. Tak lama kemudian, giliran Ando yang sedikit mengganggu Theo. "The, bagi pulpen dong! Punya gue habis nih," ujar Ando sembari mengambil milik Theo begitu saja. Merasa barangnya diambil, Theo menatap tajam kearah Ando. "di KopSis ada banyak, lu bisa beli disana!" ujar Theo kesal. "Yaelah, The. Gitu aja lu gondok, ass." Arde yang menyadari jika Theo akan memukul Ando langsung menahannya. "Sabar, ada mam Berta. Lu kagak mau di usir lagi kan?" ujar Arde menenangkan temannya. Cowok itu memilih fokus pada pelajarannya lagi. Ia tak mau memancing masalah saat ini, karena Mam Berta benar-benar akan mengusirnya dan tak mengijinkannya untuk masuk lagi kedalam kelas. Setelah satu jam berlalu, pelajaran berikutnya adalah Bahasa Indonesia. Pelajaran yang membuat bosan dan ngantuk, karena Pak Edi sebagai pengajar hanya akan memberikan tugas pada muridnya. Guru itu memang jarang menjelaskan pada muridnya, ia hanya akan memberikan tugas membaca dan membuat puisi, atau lainnya yang berhubungan dengan pelajaran itu. "Selamat pagi menjelang siang, anak-anak," sapa Pak Edi yang baru masuk kedalam kelas. "Siang, pak Edi," jawab seluruh murid serentak. "Kan saya bilangnya pagi menjelang siang, kenapa kalian cuma jawab siang?" ujar guru itu melontarkan pertanyaan. "Pak Edi ... ucapan sapanya terlalu panjang, kita kan ga enak pak ngucapinnya," protes salah satu murid. "Alasan, bilang aja pemborosan kata," celetuk Pak Edi sembari duduk ditempatnya. "Nah itu tahu, pak." "Tugas membaca novel Agatha Christie, silakan maju untuk menceritakan synopsisnya, lalu sebutkan siapa saja karakternya," ujar Pak Edi. Theo mengeryitkan dahinya, ia menatap tajam pada Arde. Berani-beraninya ia tak memberitahu jika ada tugas hari ini. Arde yang mengerti langsung mengacungkan tangan. "Ya, kamu Arde, " tunjuk Pak Edi. "Maaf, Pak. Bukannya itu tugas anak sebelah?" tanya Arde. "Pinter, kalau begitu itu tugas hari ini, silakan baca lalu kirim ke saya lewat email, jangan sampai melebihi jam dua belas malam," terang Pak Edi. "Baca novelnya Agatha ga gampang loh, pak. Perlu beberapa kali baca, apalagi yang otaknya pas - pas an macam saya," protes Ahmad. Pak Edi berdiri dari tempatnya lalu menghampiri Ahmad. Perlahan kepala guru itu mendekat kewajah Ahmad. "Saya belum selesai bicara, memang siapa yang suruh kamu buat kumpulin itu tugas hari ini?" "Lah itu tadi bapak bilang tugas hari ini, sebelum jam dua belas malam," jawab Ahmad. "Makannya jangan seenak jidat menyela, saya belum selesai bicara tadi, kata-katanya ketinggalan di tenggorokan saya." Theo yang berada di belakang Ahmad mencoba menetralkan dirinya agar tidak tertawa. Begitu pun dengan Arde dan Ando. "Maaf, pak." ucap Ahmad lirih. "Saya maafkan, tugasnya di kumpulkan besok. Inget ya? Be ... sok!" "I-iya, Pak." Pak Edi memilih kembali ketempat duduknya. Lalu menjelaskan kembali mengenai novel yang harus mereka baca. "Jadi, novel Agatha Christie kan ada banyak. Satu anak satu judul," jelas Pak Edi. Suara keributan mulai terdengar dikelas itu. Bagaiamana tidak, meski Agatha Christie adalah penulis terkenal, tetapi bukunya sangat terbatas. Ya, hanya empat murid saja yang duduk tenang saat ini. Siapa lagi kalau bukan Theo, Arde, Ahmad, dan Ando. Mereka tidak perlu susah payah untuk mencari novel itu. "The, pinjemin cewek lu ya?" tanya Ahmad sembari mengedipkan matanya dan memegang tangan Theo. "Nape kalian liatin gue kek gitu? Pinjem sendiri lah!" celetuk Theo. "Yaelah, The," desis Ando. Theo pun mengirim pesan pada pacarnya untuk meminjam buku. Chat Ayang Vivi❤️ Anda : Yang, pinjem novel Agatha Christie ada? Ayang Vivi ❤️ : Iya, kebetulan bawa ini. Anda : Bawa berapa? Kan lu punya banyak. Sekalian Arde ma yang lain pinjem. Ayang Vivi ❤️ : Cuma atu, yang! Dirumah kalo mau nanti pas balik suruh kerumah aja! Anda : Oke, makasih ayang. Read. Setelah itu Theo kembali memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. Ia kembali fokus pada pelajaran. *** TOK TOK TOK Theo berada didepan ruang guru, lebih tepatnya ruangan Sensei Endang. Ia sudah mengetuk berkali-kali, sayangnya tak ada jawaban dari dalam. Saat Theo memutuskan untuk pergi dari sana, ia bertemu dengan Ovi yang sedang berjalan dibelakang Pak Herman. "Nape lu?" tanya Theo saat mereka berpapasan. "Biasa, ada yang kangen ma gue," jawab Ovi sembari terkekeh. "Gue duluan," pamit Theo. Ovi hanya melambaikan tangan tanpa melihat Theo. Theo memutuskan untuk pergi menghampiri Vivi. Cewek itu sedang berada di lapangan basket untuk berlatih cheerleaders dengan timnya. Sesampainya di lapangan, Theo duduk di samping tas Vivi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai bermain game. Belum sempat menekan tombol 'Bertempur', Aqila sang mama meneleponnya. "Ada apa, ma?" "Papa udah pulang, mama mau masak buat makan malam. Kamu pulang ya, The? Ajak Viana sekalian deh kalo mau," ujar Aqila diseberang telepon. "Iya, nanti Theo coba ajak Vivi kerumah." "Ya udah, adikmu juga pulang." "Owh, Iya." Tut. Cowok itu menghela napas lalu berkata, "pulang juga tu bocah!" Theo memiliki adik perempuan yang tinggal di Bali bersama neneknya. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu, itu karena Theo selalu menghindar dari adiknya. Hubungan mereka tidak terlalu baik saat ini. Semenjak adiknya mengacaukan hubungan Theo dengan Vivi saat masih SMP. "Siapa yang telepon?" tanya Vivi yang entah sejak kapan berdiri dihadapan Theo. "Mama," jawabnya singkat tanpa melihat Vivi. "Ada apa? Tumben nyariin." "Papa baru pulang. Ehm, lu di undang sama mama buat makan malam dirumah. Mau dateng gak? Kalo gak ya gue juga gak pulang," jelas Theo. "Loh kok gitu? Emang kenapa kok gak mau pulang kalo gue kgak ikut?" "Ada Ithien dirumah." "Hmm, ya udah gue ikut." "Ya udah, kita berangkat jam lima." Vivi mengambil botol air mineral didalam tas, lalu meminumnya. Sesekali ia melirik kearah Theo yang terlihat aneh. "Lu kenapa sih?" tanya Vivi. "Hmm? Gapapa, kenapa?" "Keliatan banget kalo lu lagi mikirin sesuatu, yang!" "Gue ga mikirin apa-apa, Ayang. Udah selese belom? Gue laper nih, pengen makan." "Yaelah, yang. Kekantin dulu sana!" Theo mendengus kesal, cowok itu langsung saja berdiri dan berjalan menuju kantin sendirian. "Cowok lu kenape, Capt?" tanya Ghea yang sedang meraih air mineral ditangan Vivi. "Theo mah gitu kalo lagi bahas adeknya! Si Ithien kan yang dulu misahin gue ma Theo pas masih SMP," jelas Vivi. "Lah, pantes aja mukanya kecut gitu kek jeruk nipis," celetuk Ghea. Vivi terkekeh mendengar ucapan temannya, mereka kembali berlatih dan menyelesaikan kegiatannya dalam waktu satu jam. Setelah selesai, Vivi merapikan barang bawaannya lalu berjalan menuju kantin untuk menghampiri Theo. "Udah kelar latihannya?" tanya Theo. "Udah, yuk balik." Theo berdiri lalu menenteng tasnya, ia juga meraih tas Vivi dan barjalan menuju parkiran mobil. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD