Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Theo mengenakan t-shirt armani dengan celana jeans pendek, dan di tangan kanannya terpasang jam tangan kesayangannya. Cowok itu kini tengah mengenakan sepatu Nike Airmax berwarna biru dop.
Sedangkan Vivi memilih mengenakan atasan V-neck berwarna pink dengan lengan 3/4,dan rok mini berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, Vivi memilih make up natural kali ini. Tak lupa juga cewek itu memilih sepatu flat berwarna senada dengan bajunya.
"Tumben ga dandan, yang?" tanya Theo yang melihat pacarnya dengan memicingkan satu matanya.
"Gue ga lagi pemotretan, ngapain juga dandan," jawab cewek itu dengan ketus.
"Lu lagi PMS ya?"
"Udah tau ngapain nanya lagi."
Theo memutar bola matanya malas. Ia menggandeng tangan kekasihnya menuju mobil yang berada di halaman rumah.
Saat membuka pintu rumah, tanpa sengaja keduanya melihat Ami yang sedang dibonceng cowok dengan motor Ducati.
"Itu ... kan ... Ami!" pekik Vivi.
"Posisi Raga terancam punah nih," celetuk Theo yang akhirnya menerima cubitan di pinggangnya, "auh, yang! Sakit."
"Lu kata si Raga dinosaurus gitu bisa punah!"
"Yaa ... maybe," ucap Theo.
Vivi menatap tajam kearah Theo, mereka akhirnya masuk kedalam mobil. Theo melajukan mobilnya menuju rumah mewahnya dengan kecepatan yang lambat. Hal itu tentu saja ia sengaja agar sampai dirumah hanya sekedar makan malam lalu pulang kerumah Vivi lagi.
Vivi tak menggubris masalah mengemudi Theo yang lambat. Cewek itu kini memilih mengirim chat pribadi pada sahabatnya.
Chat w******p,
Anda : Ami!!!
Amitabachan : Apaan, Vi?
Anda : Itu tadi saha?
Amitabachan : Saha, saha naon?
Anda : Ih kesel deh kalo lu belaga b**o gitu! Lu habis di boncengin ama siapa Ami?!
Amitabachan : Ha? Oh, itu tadi ... duh, tar aja deh ya gue kasih tau. Gue ada urusan bentar, dadah Vivi.
Anda : Wah, ngajakin ribut nih anak, buruan bilang!
Read.
"Dasar Amitabachan bikin sebel! Ihhh, napa pake dirahasiain sih, kan gue makin kepo, oneng!" omel Vivi.
Theo yang melihat kekasihnya mengomel hanya terkekeh. Cowok itu sangat mengenal kekasihnya lebih baik dari siapapun, bahkan dari orang tuanya sekalipun.
"Nanti juga Ami kasih tau, yang. Ngapain lu yang kesel sih!"
"Lagian kek anak kecil aja sih! Kalo si Raga salah paham gimana? Kan mereka udah beberapa hari ini marahan," ujar Vivi kesal.
"Hmm, udah biarin dulu aja. Entar juga bakal selese dengan sendirinya."
Vivi melipat kedua tangannya, ia menatap kearah jalanan didepannya.
"Loh, kok masih nyampek sini, yang?" tanya Vivi heran.
"Lah, emang dari tadi cuma jalan empat puluh kilo doang. Lu sih liatin hape mulu."
PLAK
Satu pukulan mendarat di bahu Theo. Cowok itu mengeluh kesakitan pada kekasihnya. Sedangkan Vivi hanya berdecak kesal menanggapi Theo.
***
Sampai dirumah Theo, cowok itu menggandeng tangan kekasihnya untuk masuk kedalam rumah. Seperti biasa, didepan pintu akan ada kepala asisten yang menyapanya.
"Selamat sore, Tuan Muda."
"Sore, yang lain dimana?"
"Ada diruangan masing-masing, Tuan."
Theo menarik tangan Vivi untuk masuk kedalam rumah. Suasananya sedikit hening karena mereka belum melihat siapapun disana. Namun, saat sampai di ruang tengah.
"Theo, udah datang sayang," Aqila menyapa anaknya, ia mendekat lalu memeluk Theo.
"Ini Vivi, ma," ucap Theo memperkenalkan Vivi.
"Viana, sayang. Lama ga ketemu ya, makin cantik aja. Eh, ayo duduk sini."
Aqila meraih tangan Vivi untuk mengajaknya duduk di sofa ruang santai. Vivi hanya tersenyum dan menurut pada Aqila.
"Papa mana, ma?" tanya Theo pada Aqila.
"Diruang kerja tuh, kamu samperin gih! Dari tadi nungguin anaknya ga dateng-dateng."
"Yang, gue samperin papa dulu ya?"
"Iya."
Theo meninggalkan Vivi dengan Aqila disana. Sendirinya masuk kedalam ruang kerja papanya.
CEKLEK
Theo membuka pintu itu perlahan, ia memunculkan kepalanya terlebih dahulu.
"Papa," panggilnya lirih.
"Eh, The. Udah dateng, sini!"
Lelaki dengan kaos berkerah dan celana panjang berbahan katun terlihat masih seperti berusia tiga puluhan. Perlu diketahui, lelaki itu sudah berusia hampir setengah abad. Namun, ketampanannya tidak perlu diragukan lagi. Ia beranjak dari kursi lalu memeluk anaknya dengan erat. Mereka memang sangat jarang sekali bertemu. Sekalinya bertemu pun pasti tidak akan lama.
"Papa bawain oleh-oleh apa buat Theo?" tanya anak itu tanpa basa basi.
"Bukannya nanya kabar papa, malah nanyain oleh-oleh. Dasar kamu tuh!" omel Aaron.
"Yee, kan Theo emang lagi nungguin oleh-oleh dari papa."
"Ada di kamarmu, nanti aja kalo mau liat. Kata mama, kamu bawa pacar? Mana?"
"Lagi sama mama di ruang santai," jelas Theo.
"Owh, masih sama Viana? Anaknya om Damares pemilik maskapai di Aussy," tanya Aaron memastikan.
"Iya, masih kok. Kenapa, pa?"
"Gapapa, syukur deh kalo kamu setia sama satu cewek."
"Hmm, mulai deh. Udah ah,"
Perbincangan itu berlanjut, Theo memilih untuk menceritakan kegiatan sekolahnya dengan teman-temannya. Ia menghindari perbincangan yang mengungkit masa lalu keluarganya.
Sedangkan diruang santai. Vivi nampak nyaman berbincang dengan Aqila. Mereka tertawa bersama saat membicarakan sesuatu hal yang lucu. Hingga seorang gadis dengan tinggi 165cm turun dari tangga menghampiri mereka.
"Ma, kakak udah dateng?" tanya Ithien pada Aqila.
Gadis itu menatap tajam pada Viana, mereka memang tidak terlalu dekat karena beberapa alasan.
"Diruangan papa, Thin!" jawab Aqila.
"Oke."
"Kok kamu ga nyapa kak Viana sih, sayang?" tanya Aqila.
"Hmm, kirain temen mama. Ya udah lah! Thin mau samperin kakak."
"Maafin, Ithien ya, Vi. Duh tante jadi ga enak, tu anak kelamaan tinggal ma omanya jadi gitu," ujar Aqila menyesal melihat tingkah anak keduanya.
"Gapapa kok, tan. Emang Thin ga salah, kita cuma belum dekat aja."
"Hmm."
"Nyonya, makan malamnya sudah siap," ujar asisten rumah disana.
"Oh iya, makasih."
Aqila berpindah posisi, kini ia berdiri untuk melangkah menuju ruang kerja suaminya.
"Viana tunggu sebentar ya? Tante panggil semua dulu buat makan," ujar Aqila sembari melangkahkan kakinya.
"Iya, tan."
Vivi masih duduk disofa ruang santai. Ia melihat kesekitarnya. Rumah itu memang terlihat luas dan megah, bahkan besarnya dua kali rumah miliknya. Tanpa sadar ia melamun dan teringat kejadian saat hubungannya dengan Theo merenggang karena kesalahpahaman yang dibuat adiknya.
"Yang," Suara Theo membuat Vivi terkejut.
"Apaan sih, kaget tau!"
"Lagian, ngapain ngelamun?"
"Yee, saha yang ngelamun ihh!"
"Yuk, makan!"
Theo meraih tangan kekasihnya dan mengajaknya keruang makan. Disana sudah berkumpul keluarga Theo. Kedua orang tua Theo tersenyum melihat Vivi yang berjalan mendekat.
"Duduk sayang, kita makan sama-sama," ujar Aqila.
"Halo, Viana. Masih inget sama om kan?" tanya Aaron dengan sedikit menggoda.
"Inget umur pa, mau ga dikasih jatah sama mama?" celetuk Theo.
Aqila membulatkan matanya, menatap kearah Theo lalu ke sampingnya.
Theo menarik kursi untuk Vivi duduk. Lalu ia sendiri duduk disamping Vivi. Sedangkan Ithien duduk disisi lain Theo.
Suasana makan malam berjalan lancar. Terasa hangat seperti keluarga yang harmonis. Sayang, Ithien merusak keheningan disana.
"Ma, pa, Thin udah selese. Duluan ya?" pamitnya yang langsung saja beranjak menuju lantai dua.
"Kenapa sih tu bocah!" gerutu Theo.
"The, habis makan, tolong ajakin Thin ngobrol ya? Biar Vivi sama mama."
"Yaelah, ma! Males banget bujuk bocah itu!" protes Theo.
"Mau gimanapun Thin adik kamu!"
"Hmm, iya, iya."
"Viana gapapa kan sama tante dulu, biar Theo ngobrol sama adiknya," tanya Aqila.
"Eh, iya gapapa kok, tan."
Selesai menyantap hidangan makan malam. Theo berjalan menuju kamar Ithien adiknya. Tanpa mengetuk pintu ia masuk begitu saja kesana.
"Ga punya sopan santun banget sih!" omel Ithien.
"Lagian lo juga kenapa sih? Gitu amat ama Vivi."
"Kan Thin udah bilang, tu cewek ga bener."
"Emang cewek bener menurut versi lo gimana?"
"Argh! Gue udah pernah tunjukin ya! Jangan bikin gue nunjukin kebusukan cewek lo lagi, model sempak aja belagu."
"Jaga omongan lu! Percuma juga gue kesini, bikin males tau ga!"
Theo memilih keluar dari sana, emosinya tak tertahankan. Cowok itu turun dari lantai dua menghampiri Vivi diruang santai.
"Theo anter Vivi pulang dulu deh," ujar Theo.
"Loh, kok mau balik sih, The? Kan mama sama papa masih kangen sama kamu dan Viana."
"Ada apa sih, yang?" tanya Vivi.
"Theo pulang lagi kalo tu bocah udah balik ke Bali. Males kalo ketemu ama dia!" gerutu Theo.
Cowok itu meraih tangan Vivi dan mengajaknya keluar dari rumah. Aqila hanya terdiam melihat tingkah anaknya yang sedang emosi.
"Tante, Vivi pulang dulu, maaf ya tan."
"Iya, sayang."
Theo melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Selama perjalanan mereka hanya terdiam, hingga Vivi memulai perbincangan.
"Kenapa sih? Lu tengkar lagi ama Thin?" pertanyaan Vivi tak digubris oleh Theo. "kalo ga mau jawab, gue turun disini aja deh?" lanjutnya.
"Biasalah, yang. Tau sendiri gimana mulut anak itu."
"Hmm, kenapa juga lu masukin ati kalo udah tau sifat adek lu kayak gitu?"
"Ya kesel aja lah, kan lu tau sendiri, gue gak suka kalo ada yang jelek-jelekin lu didepan gue."
"Iya, gue tau. Tapi kan itu adek lu, yang. Masak lu samain ama yang lain."
"Udah lah! Males bahas dia."
Theo menepikan mobilnya, ia berhenti disebuah minimarket.
"Mau beli apa, yang?" tanya Vivi.
"Beli k****m!"
"Mampus!"
"Kok mampus?"
"Gimana gak mampus, kalo lu beli k****m yang ada gue kagak bisa tidur malem ini, ayang."
"Hahaha, gue cuma mau beli beer, yang. Lu mau juga?"
"Boleh deh, satu ya?"
"Oke."
Vivi memilih menunggu didalam mobil. Cewek itu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ia melihat ada pesan masuk dari Ranjiel.
Chat w******p,
Anjeli : Kagak mau ke rumah gue lagi lo?
Anda : Astaga, jiel. Lu ketagihan ma gue?
Anjeli : Bosen ama selir, sesekali temen makan temen.
Anda : Sorry, Jiel. Gue lagi sama Theo, moodnya lagi jelek banget, gue gak mau bikin dia makin kacau.
Anjeli : Nape tu bocah?
Anda : Masalah keluarga, udah ya. Bye, Jiel.
Read.
CEKLEK
Theo masuk kembali kedalam mobil. Ia menyodorkan sekaleng beer pada Vivi. Buru-buru cewek itu menghapus chatnya dengan Ranjiel agar tak ketahuan oleh Theo. Vivi tersenyum seraya mengucapkan terima kasih pada kekasihnya. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Vivi.