Theo sedang berada di kelas, ia terlihat malas mendengarkan penjelasan guru Bahasa Inggris.
"Dialects of english vary not only in pronunciation but in grammar. For example, people who use what is called General American English or BBC English might say, I didn't do anything, while someone who speaks what is called African American Vernacular English might say, I didn't do nothing. London working class version, I ain't done nuffink! The dialect a person uses is usually decided by where they live." jelas Mam Berta
Mata Theo sudah terlihat sayu, ia bahkan sudah tidak bisa menahan kepalanya. Kepala Theo sudah menempel pada bangku, matanya sudah tertutup rapat. Hal terakhir yang ia ingat adalah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.
Arde mencoba membangunkan Theo, karena Mam Berta sedang berjalan ke arah mereka.
"The,bangun g****k,mampus ni bocah." bisik Arde
"Ehem!" deham Mam Berta
Arde meringis takut melihat Mam Berta yang siap menggebrak meja.
BRAAAK
"Bangke!" umpat Theo yang terkejut
Theo membulatkan mata, saat melihat Mam Berta berada di sampingnya.
"M-mam... pus..." ucap Theo lirih
"What are you doing, Big Boy?" tanya Mam Berta.
"Of course I'm sleeping, Mam" jawab Theo dengan santainya.
"Don't you know that in my studies, no one can sleep!"
"Of course, i know."
"Get out from my class!" teriak Mam Berta.
Theo berdiri dari bangkunya, ia berjalan keluar dari kelas. Theo hanya tersenyum licik setelah berada diluar kelas.
"Akhirnya,kekantin aahhh..." ujar Theo.
Kini ia berjalan menuju kantin, saat melewati kelas Vivi, ia berhenti sejenak. Matanya mencari keberadaan cewek paling seksi di kelas, tentu ia adalh Vivi. Vivi tanpa sengaja melihat Theo yang celingukan mencari dirinya.
"Capt, pacar lo tuh.." ujar Gea
"Hmm, biarin.. palingan juga di usir gegara tidur di kelas, "
"Hapal banget sih, Vi." sahut Nat
"Udah fokus aja, ngapa jadi ngomongin cowok gue sih."
Merasa tak digubris, Theo melangkah lagi menuju kantin. Sampai di kantin, Theo memesan steak dan juga smoothies. Ia duduk di dekat jendela, Theo mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.
Text Message
To Ayang Vivi ❤️
" Yang, ke kantin sekarang! "
From Ayang Vivi ❤️
" Ogah! Gue fokus pelajaran sastra, Ayang. "
To Ayang Vivi ❤️
" Ato mau gue jemput?"
From Ayang Vivi ❤️
" Berani bikin onar di kelas gue, lo bakal solo selama sebulan!"
To Ayang Vivi ❤️
"Ampun, Kanjeng Putri...."
BRAAK
"Bangke!" teriak Theo terkejut.
Ia melihat Ovi didepannya tertawa terbahak-bahak.
"k*****t, ngapain lo?" tanya Theo kesal
"Lo dikeluarin juga dari kelas?"
"Udah biasa gue mah, lo lagi pelajaran apaan? Biasa juga langsung ke kelas Sharap, ngapain dimari?"
"Gue mau main catur, jelas gue kesini karena laper." ujar Ovi
"Ya kali lo mau main beneran, tapi jangan dimari juga, Pik."
Tak lama kemudian makanan keduanya datang, baru saja mereka akan menyuapkan makanan kedalam mulut. Pak Herman selaku guru BK sudah berkacak pinggang berdiri dihadapan mereka.
"Kalian ini memangnya tidak tahu, kalau sekarang jam pelajaran? Bukan jam istirahat!" ujar Pak Herman
"Ya tau, Pak. Kagak ada yang bilang ini jam istirahat." jawab Theo.
Ovi tak menggubris ucapan Pak Herman, ia melanjutkan kegiatan makannya.
"Ikut saya ke ruang BK sekarang!"
"Bentar, Pak. Nanggung makannya, habisin dulu, Pak. Saya laper, udah bayar mahal juga, kalo kagak di habisin kasihan orang tua saya yang udah nyari duit buat anaknya yang paling cakep ini." jelas Ovi sembari memasukkan makanan kedalam mulutnya
Theo yang mendengar penjelasan Ovi hanya terkekeh. Ia juga masih terus memakan steak yang ada di hadapannya.
"Sudah salah masih saja melawan, saya tidak mau tahu. Cepat ikut saya sekarang!"
Pak Herman meraih tangan keduanya dan menarik mereka menuju ruang BK.
***
Lonceng sekolah berbunyi, waktunya untuk istirahat. Vivi merapikan buku yang ada di atas meja,dan memasukkan semua kedalam tas. Kakinya masih sedikit sakit, tetapi ia bisa berjalan meski sedikit tertatih.
"Kekantin yuk, Capt." ajak Gea
"Iya."
Vivi bersama ketiga temannya berjalan menuju kantin. Iris Vivi menelusuri setiap sudut kantin, ia nampak bingung mencari seseorang disana.
"Lo kenapa, Vi?" tanya Dinda.
"Nyariin cowok gue."
"Owh"
Vivi mengeluarkan ponselnya, ia menelepon Theo untuk menanyakan keberadaannya.
"Kok gak bisa di telepon sih!" ujar Vivi kesal
"Eh, Vi. Lo nyariin cowok lo kan?" sahut Lilian yang kebetulan melihat Vivi.
"Lo tau?"
"Di ruang BK ama Ovi."
"Ya udah, thanks ya?"
"Oke"
Setelah mengetahui dimana Theo berada. Vivi memesan makanan di kantin bersama temannya.
"Lo mau makan apa, Vi?" tanya Nat
"Ehm, spagetti saos bolognese sama jus strawberry."
"Oke"
Setelah memesan, mereka duduk di meja nomor lima. Letaknya tak jauh dari pintu masuk kantin.
Ddrrtt... Ddrrtt...
Ayang gue is Calling...
"Hmmm"
"Kok hmm sih, Yang?" tanya Theo
"Udah kelar di omelin Pak Herman?"
"Udah, Ayang... lagi dimana?"
"Kantin, mau makan."
"Ya udah, gue kesana kalo gitu."
Tut tut tut
Tak lama kemudian, makanan yang dipesan Vivi datang. Ia melahap makanan itu sembari bermain game cacing kesukaannya.
Cup...
Satu kecupan mendarat di pipi Vivi. Ia hanya melirik kesamping lalu memutar bola matanya.
"Ya , ya! Mati deh..." ucap Vivi kesal melihat cacingnya tertabrak.
"Nabrak, Capt?" tanya Gea
"Iya nih, dasar cacing kremi."
"Hahahaha..." Theo tertawa lepas melihat pacarnya kesal.
"Ketiduran lagi tadi?" tanya Vivi
Theo hanya mengangguk sembari menyendok makanan milik Vivi, dan melahapnya.
"Ihhh, pesen sendiri napa sih, Yang!"
"Jadi istri jangan pelit-pelit napa ama suami."
"Ijab aja belom pake sebut suami-istri,"
"Mau ijab sekarang?"
"Ogah! Yang ada ntar gue lo kasih makan sperma." celetuk Vivi yang ditanggapi dengan tawa lepas teman-temannya.
"Seharian gue belum cipok lo nih, Yang. Mau gue cipok sekarang?"
"Berani cipok gue minta beliin berlian nih." ujar Vivi mengancam.
Theo terkekeh mendengar ancaman Vivi.
"Serius cuma berlian? Sini gue cipok beneran."
Theo meraih tubuh Vivi, belum sempat Theo mencium bibir ceweknya. Ia sudah didorong oleh Vivi.
"Yang, banyak orang ih,"
Theo berdiri dari tempatnya, ia menggendong Vivi dan berjalan meninggalkan ketiga teman Vivi.
"Mau kemana?" tanya Vivi
"Rooftop"
"Hah? Ngapain?"
"Masih nanya mau ngapain?"
"Ayang, ini yang semalem masih nyeri, masih tega mau gempur gue?"
"Ga lama kok, sekali aja"
Vivi mendengus kasar, sedangkan wajah Theo menyeringai melihat cewek yang berada digendongannya kesal.
"Buset dah, ada emak sama anak koala nih." celetuk Raga yang tanpa sengaja berpapasan dengan mereka.
"Diem lo!"
"Mau kemana?" tanya Raga.
"Rooftop." jawab Theo singkat.
"Oke dah, jangan lupa bekal tisu! Wkakak."
Setelah itu Raga melangkah pergi menuju gedung SMK.
"Yang!" panggil Theo
"Apa?"
"Lo kok tambah berat sih." keluh Theo.
"Hah? Masak sih, Yang? Duuhh... Musti rutin latihan lagi nih."
"Akhirnya, sampek..."
Theo menurunkan Vivi, mereka duduk di sebuah kursi panjang yang memang sudah ada disana untuk anak GAS.
"Gue ngantuk, jagain bentar ya, Yang?" ujar Theo yang kini sudah tidur di pangkuan Vivi.
"Lo ngajakin gue kesini cuma buat nemenin lo tidur?"
"Gak gitu, Ayang. Gue capek habis gendong lo tadi."
Vivi hanya diam tak membalas ucapan Theo. Ia mengeluarkan ponselnya, dan kembali bermain game cacing kesukaannya. Theo memejamkan mata, ia tertidur tak lama setelah itu.
***
Setelah dari rooftop, mereka kembali kekelas masing-masing untuk mengambil tas. Ya, jam pelajaran sudah berakhir. Saatnya mereka melanjutkan kegiatan untuk ekskul.
Theo mengantarkan Vivi ke lapangan, ia ingin melihat latihan para anggota baru tim cheerleaders. Sedangkan Theo sendiri, setelah itu pergi menuju ekskul pecinta alam di gedung olah raga.
"Theo!" panggil Arde.
"Hmmm."
"Mau ekskul kan?"
"Yoi."
Mereka berjalan bersama, sebelum mereka sampai di gedung olah raga. Ada tiga cewek yang menghadang Theo.
"Ehm, Theo. Ini buat lo." sembari memberikan sebuah kado.
"Seingat gue, hari ini bukan ulang tahun gue tuh." ujar Theo
"Iya, emang bukan. Itu buat lo, terima gue jadi selir lo dong, The." ujar cewek itu.
"Emang sekaya apa lo? Berani banget nawarin diri buat jadi selir!"
"Lo kok jahat sih, The. Ranjiel aja kagak sekejam itu omongannya waktu nolak gue, eh."
"What? Anjeli nolak lo? Dan sekarang lo berani nawarin diri ke gue?" Theo terkekeh.
"Seharusnya lo gak usah bilang tadi soal Anjeli, tapi karena lo bilang, gue jadi lega kagak dapet bekas sahabat sendiri." lanjut Theo.
Theo mengembalikan kado pada cewek itu. Ia melangkah kembali menuju gedung olah raga bersama Arde.
"Cewek jaman now, mereka bertindak tanpa mikir." celetuk Arde yang juga terkekeh mengingat hal yang baru saja terjadi.
Theo hanya menggerakkan bahunya sekilas. Ia memang tidak begitu tertarik untuk menggoda cewek selain Vivi. Meski hubungannya dengan Vivi terkadang tidak berjalan baik, tetapi Theo selalu setia dengan Vivi. Ia hanya suka menggoda cewek untuk menarik perhatian Vivi.
Sampai ditempat latihan, Theo berganti pakaian. Ia mengenakan kaos tipis dengan celana cargo pendek.
***
Vivi hanya duduk melihat teman-temannya latihan. Sesekali Vivi memberi arahan pada tim cheerleaders, khususnya anggota baru.
"Capt, anak baru mulai dipilih deh buat posisinya, biar gampang entar kita latihannya. "ujar Gea.
"Boleh, Ge. Oke, perhatian buat anak baru, gue mau liat kalian split sama kayang. Terus buat yang berat badannya di atas lima puluh kilo maju sini." ujar Vivi.
"Capt, ada Tuti." bisik Gea
"PIPI!" teriak Tuti
Gea menghampiri Tuti, sebelum Tuti mendekati Vivi, ia sudah mendorong tubuh Tuti.
"Ge, udah gapapa." ujar Vivi
"But, Capt!" seru Gea kesal.
"Ada apa, Tut?" tanya Vivi
"Vi, pelatih lo marah ya? Kenapa gue kagak lolos?" ujar Tuti dengan suara yang dibuat-buat.
"Pelatih gue kagak marah, Tut. Gue juga kagak tau, kan dari awal udah gue bilang kalo keputusan ada di tangan pelatih Nora," jelas Vivi
"Yaelah, Vi. Bantuin napa." rengek Tuti
"Keputusan pelatih gue mutlak, kagak ada yang bisa bantah dia, termasuk gue."
Tuti menundukkan kepalanya, ia sungguh kecewa karena Vivi itu tidak bisa membantu dirinya. Tuti duduk disamping Vivi, ia melihat tim cheerleaders sedang berlatih.
"Gue boleh liat kalian latihan kan?" tanya Tuti perlahan.
"Iya, boleh kok. Temenin gue duduk disini ya, Tut,"
Tuti mengangguk, memang di antara anak GAS hanya Vivi yang terlihat dekat dengan Tuti. Namun jika harus memilih antara GAS dan Tuti, tentu Vivi akan memilih GAS. Berada dalam tingkat teratas adalah salah satu pencapaian yang terbilang sulit untuk Vivi. Ia harus menyingkirnya banyak murid agar bisa diposisinya sekarang ini.
Bersambung...
*yang mau lanjut bisa coment dan kasih bintang...