The.Vi - 5

1735 Words
Vivi sedang berada di lapangan, ia tengah melihat tim cheerleaders latihan. Vivi memilih duduk di tepi lapangan sembari membawa gitar milik Lia untuk dimainkan. Ia memetik gitar itu dan mulai bernyanyi. "So look me in the eyes, tell me what you see, perfect paradise, tearing at the seams, i wish I could escape, i don't wanna fake it, wish I could erase it, make your heart believe. " Vivi berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi permainan gitarnya. "But I'm a bad liar, bad liar. Now you know, now you know, that I'm a bad liar, bad liar, now you know, you're free to go." "Wah ... gak nyangka lo jago main gitar, Vi," ujar Nat yang bertepuk tangan saat Vivi selesai. "Gue cuma bisa beberapa lagu doang, lagian ini juga karena diajarin ama si Lia, " ujar Vivi merendah. "Capt, latihannya udah kelar nih," ujar Gea memberitahu. "Oke, kalian bisa bubar! Gue mau ke kantin dulu," balas Vivi sembari melangkahkan kakinya. "Gue ikut lo deh, Vi! Takut lo di apa-apain ama nenek lampir," ujar Nat. "Ya udah, kita juga ikut kalo gitu," sahut Gea sembari menggandeng Dinda. Keempat cewek itu melangkahkan kaki menuju kantin sekolah. Cidera yang dialami Vivi sudah pulih saat ini, jadi ia tak perlu bantuan siapapun untuk  berjalan. Saat hampir sampai di kantin, seorang OB bernama Maemunah sedang mengepel lantai didepan pintu masuk kantin. Entah disengaja atau tidak, lantai yang akan dilewati oleh gerombolan anak cheerleaders itu terlihat sangat basah. Vivi hampir saja terjatuh, jika ia tak menghindar dengan cara jungkir balik. "Vi, lo gapapa?" tanya Nat panik. "Gapapa!" Vivi lebih memilih diam dan tak menggubris Maemunah itu. "Vivi mau pesen apa?" tanya Dinda. "Jus Alpukat, Din," jawab Vivi. "Oke!" Setelah memesan beberapa minuman dan camilan. Mereka duduk di meja nomor delapan. Letaknya didekat jendela, dari sana akan terlihat pemandangan halaman depan sekolah. Setelah menunggu beberapa menit, makanan dan minuman yang dipesan Vivi juga teman-temannya akhirnya datang. Keempatnya mulai menyantap hidangan masing-masing. Sedangkan Vivi meminum jus alpukatnya sembari memandang layar ponsel ditangan. Ditengah kegiatan mereka masing-masing, Gea membuk suara membicarakan seorang anggota baru di tim cheerleaders. "Eh, Din. Lo tadi liat gerakan Hulda kagak? Keren banget tu anak! Keknya bakal jadi idola nih," ujar Gea. "Ehm, Hulda? Oh ... bukannya tu anak emang dari SMP udah jago?" balas Dinda. Vivi yang mendengarkan perbincangan kedua temannya ikut berpikir. Ia mengingat nama Hulda, dan mencari bentuk wajah cewek itu dikepalanya. Setelah mengingat, Vivi ikut membuka suara. "Hulda ceweknya Gecko?" celetuk Vivi tiba-tiba. "Hah? Gecko anak IPS?" tanya Gea memastikan. Vivi hanya mengangguk sembari meminum jus alpukat didepannya. Sejak SMP, Hulda juga pernah satu tim dengan Vivi. Tak heran jika Vivi sedikit mengingat cewek bernama Hulda itu. Obrolan mereka terus berlanjut tentang Hulda dan beberapa anggota cheerleaders lainnya. "Tumben hape lo diem bae?" tanya Dinda pada Vivi yang masih asik bermain game cacing. "Cacing gue lagi kerja keras nih! Diem dulu deh," "Yaelah, cacing lagi ... awas cacingan loh, Vi," ejek Dinda. Vivi tak menggubris ucapan Dinda, ia masih fokus pada layar kecil digenggamannya. "Ayang lo kemana, Capt? Tumben, kagak keliatan batangnya, " celetuk Gea. "Mana keliatan, kan batangnya disembunyiin, " jawab Vivi asal. "Yaelah,maksud gue tuh ... kan biasanya Theo ngintil bae di belakang lo, Capt!" ujar Gea membenarkan kata-katanya. "Hmm, Theo lagi nobar ama temennya di rooftop," Baru saja Vivi berhenti berbicara, tangannya sudah ditarik oleh Theo. "Eh, eh.. Yang!" seru Vivi yang terkejut tangannya ditarik begitu saja oleh Theo. Vivi hanya melambaikan tangan pada teman-temannya yang tercengang melihat kedua pasangan itu. Sampai di parkiran mobil, Theo menyuruh Vivi masuk kedalam mobilnya dan duduk. Sedangkan Theo duduk dibelakang kemudi, ia menyalakan mesin mobil lalu melajukannya. "Nonton dari negara mana tadi?" tanya Vivi yang sudah paham dengan Theo. "Korea lawan Vietnam!" jawab Theo dingin. Vivi hanya mengeryitkan dahinya melihat Theo yang sedang b*******h tinggi. "Keknya bakal kagak bisa bangun nih besok pagi," gumam Vivi sembari melirik  Theo. Selama perjalanan mereka tak banyak berbincang, hanya sesekali Vivi bernyanyi mengikuti musik yang keluar dari radio. Sesampainya di rumah Vivi, Theo kembali menarik tangan Vivi untuk masuk kedalam rumah. "Pelan kenapa sih, Yang! Kan sakit tangan gue ditarik gitu," ujar Vivi kesal. "Iya, iya ... maaf, Ayang." Sembari mencubit pipi Vivi yang menggembung. Kini Vivi berada didepan Theo, tubuhnya didorong perlahan hingga sampai kedalam kamar Vivi. "Lo udah tau kan? Resiko kalo bikin gue sebel," Theo mengangguk mengerti, ia mengeluarkan dompetnya lalu memberikan kartu kredit berwarna hitam pada Vivi. Ya, itu adalah kartu kredit platinum tanpa limit, dan hanya orang tertentu saja yang memilikinya. Tentu seluruh anak GAS memiliki kartu kredit tersebut, termasuk Theo dan Vivi. Kekayaan orang tua mereka memang tidak main-main. Hal itu juga yang membuat anak GAS terhindar dari beberapa peraturan konyol di sekolah. "Yang ... " panggil Theo "Hmm ... " Vivi hanya berdeham menjawab Theo. "Oiya! Pesenan kemarin udah ada tuh," ujar Theo sembari berjalan mengambil paperbag di walk in closet. Senyum Vivi merekah melihat paperbag bertuliskan Victoria Secret. Ia buru-buru meraihnya dan melihat kedalam paperbag itu. Sayangnya, senyum Vivi menghilang saat ia melihat isi didalamnya. "Ayang, ini apaan?" tanya Vivi dengan tangan yang menenteng sebuah mini dress seksi. "Itu? Pesenan lo kan?" jawab Theo dengan santai. "Gue pesennya bi-ki-ni, Ayang!" ujar Vivi kesal. "Sama aja!" "Hah? Dimana samanya? Jelas beda dong, Ayang!" "Sama! Sama-sama seksi kalo lo yang pake ... udah jangan bawel. By the way, dedek udah bangun nih ... " "Bodo! Solo sana!" Vivi yang kesal, hampir saja melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Sayangnya, belum sempat ia melangkahkan kaki, tangannya sudah ditarik oleh Theo hingga ia jatuh kedalam pelukan kekasihnya itu. "Berani nyuruh gue solo lagi?" tanya Theo sembari menggigit telinga Vivi. "Akh, nggak Ayang ... ehm ... le ... pasin," "Mohon dulu dong biar dilepasin," ujar Theo yang semakin menggoda cewek dipelukannya. "Akhh, Ayang... le ... pasinnn ... " desah Vivi lagi saat Theo meremas payudaranya.  Bibir Theo mengecup leher Vivi, sedangkan tangannya begitu terampil melepaskan pakaian sekolah yang masih dikenakan oleh Vivi. Dua gundukan kenyal kini terbebas dari sarangnya. Membuat Theo semakin gencar untuk  meremasnya. "Akhh... Ayang, pelan-pe.. lan.." desah Vivi saat merasakan tangan Theo yang kasar meremas payudaranya. Satu tangan Theo kini turun kebagian sensitif. Jarinya menekan k******s, hingga membuat tubuh Vivi sedikit menggeliang. "Ge-li.. Akhh, Yang.." Theo meninggalkan bekas kemerahan dileher Vivi, ia juga meninggalkan tanda itu di beberapa titik pada bagian punggung Vivi. "Akhh... Yang.." Theo menggendong Vivi lalu merebahkannya diatas ranjang, Theo mengikat tangan Vivi dengan dasi sekolah miliknya. "Awas aja kalo main b**m, gue sunat tu dedek!" ancam Vivi saat melihat Theo menyeringai mengikat tangannya. "Ssttt... nikmatin aja, Ayang." Kini Theo melepaskan pakaiannya, ia membuang pakaian itu kesembarang arah. Theo turun dari ranjang, ia mengambil sesuatu didalam tasnya. Vivi yang melihat cowoknya sedang bertingkah sedikit aneh menjadi panik. "Yang, itu apaan?" tanya Vivi dengan tatapan tajam. Theo terkekeh sembari menunjukkan sebungkus permen cokelat. "Gue mau coba kek di vokeb tadi, Yang. Pake permen cokelat gini nih," ujar Theo sembari membuka bungkus permen ditangannya. "Bangke deh, awas aja aneh-aneh." "Lama-lama mulutnya nakal ya... ketularan si Sharap nih, Ayang." "Kenapa? Mau marah?" "Kagak, cuma mau kasih hukuman aja." Theo meletakkan permen cokelat diatas p****g p******a Vivi, lalu ia mengulum p****g itu sembari menggigitnya. "Argh ... Ayang, sakit! J-jangan digigit k*****t ... akhh," "Ehm, nakal lagi kan mulutnya." Disaat bibir Theo mengulum p******a, tangannya memasukkan benda kecil kedalam liang kewanitaan Vivi. "Akhh ... apaan tuh?" tanya Vivi kesal. "Mainan, Ayang." "Akkh!" pekik Vivi saat merasakan getaran yang aneh pada bagian bawahnya. "Vibrator? Akhh ... bangke lu, Theo! Akkh ... le-pasin! Aaakkkhhh, " gerutu Vivi. Theo memasukkan sebuah vibrator berbentuk tabung berukuran 5cm kedalam liang kewanitaan Vivi. Alat itu memiliki tombol on-off pada bagian bawahnya. Getaran yang Vivi peroleh dari alat itu membuatnya terasa geli tetapi begitu nikmat. "Gimana, Yang? Enak?" tanya Theo dengan santai. Theo terkekeh melihat wajah Vivi yang menikmati getaran dari vibrator. "Akkkhhh ... Yang ... lo beneran tega nyiksa gue," rintih Vivi.  "Gue gak lagi nyiksa lo, Ayang ... justru gue lagi kasih hukuman yang tepat, biar mulut nakalnya sembuh." "Aakkkhhh ... mau sampek kapan itu..." Bukannya menjawab justru Theo memakan permen cokelat yang masih ada ditangannya. Theo kembali naik keatas ranjang, ia melumat bibir Vivi dengan menyuapkan permen cokelat melalui mulutnya. Permen cokelat itu secara bergantian berada didalam mulut mereka. Hingga Theo menelan permen itu, lalu melepaskan ciumannya. "Yang, udah dong ... Akkhh," "Kenapa, Ayang?" "Gue udah tiga kali nih keluar." "Yaelah Yang, baru juga lima belas menit ... masak udah tiga kali sih." Theo kesulitan menelan salivanya, melihat tubuh cewek didepannya menggeliang dan sesekali menyilangkan kakinya. Tidak tahan dengan godaan yang ada dihadapannya. Theo membuka lebar kaki Vivi, ia mengeluarkan vibrator itu dari dalam kewanitaannya. Kaki Vivi terkulai lemas, peluh sudah membasahi wajahnya. Tangannya yang terikat juga terasa kram. "Yang ... " panggil Vivi dengan nada lirih. Theo melepaskan ikatan ditangan Vivi. Ia mencium kening ceweknya, ciuman itu menurun kehidung, lalu berhenti di bibir merah muda dengan rasa cherry milik Vivi. Theo melumatnya lagi dengan lembut. "Ehm ... " Kali ini Theo memasukkan jarinya langsung kedalam liang senggama dibawah sana. Sedangkan Vivi dengan sendirinya menaikkan sedikit kakinya agar jari Theo dapat masuk lebih dalam. Theo melepaskan ciumannya, ia berpindah menuju p******a Vivi yang terlihat menggoda. "Aakkkhh ... Ayang, enak ... sssttt, " desah Vivi.  Merasa Vivi akan mendapatkan pelepasan, Theo menghentikan kegiatan jarinya. Tubuhnya kini berada diatas tubuh Vivi. Theo menggesekkan kejantanannya di pintu kewanitaan Vivi. "Akkhh... Ayang, masukin... ehm, " Theo sedikit menyentakkan pinggulnya hingga kejantanan miliknya masuk dengan kasar kedalam liang kewanitaan itu. "Akkh!" pekik Vivi yang merasakan nyeri dibagian kewanitaannya. "Ouh, shit... akh.. sempit banget, Yang," desah Theo saat kejantanannya terasa terjepit didalam sana. Theo menggerakkan pinggulnya, ia memompa dengan tempo yang tak beraturan. Hingga pada akhirnya, mereka mendapatkan k*****s secara bersamaan. "Akh, akh ... gue mau keluar, Ayang," ujar Vivi ditengah desahannya. "Gue juga, Yang. Sama-sama, ya?" Theo semakin mempercepat temponya, tubuhnya menegang dan ia mendapatkan pelepasannya. "Akkkhhhh..." desah panjang keduanya saat mencapai pelepasan. Kejantanan Theo masih menancap didalam sana, tubuhnya berada diatas Vivi. "Badan lo tu berat, Theo. Buruan minggir, gue mau mandi!" "Ga mau!" "Nyebelin nih! Yang, gue kagak bisa napas beneran." Theo hanya terdiam dengan mata yang tertutup rapat. Vivi yang kesal mencoba menyingkirkan tubuh Theo dari atasnya. "Bangke ni bocah! Udah molor aja sih." Tubuh Theo bergerak, ia tertidur disamping Vivi dengan tangan yang merentang diatas dadanya. Sedangkan kejantanan Theo sudah terlepas dari sarangnya. Karena sudah terlalu malas, Vivi juga ikut memejamkan mata dan tertidur disamping Theo. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD