4

793 Words
"Astaga Ci... kenapa laptopnya dibanting????" teriak Bima kemudian memunguti bagian-bagian yang terlepas seperti serpihan layar dan keyboard. "Laptop? Notebook kalii." "Ya kenapa dibanting?" ulang Bima dengan nada makin tinggi. Ia merasa sikap adiknya ini benar-benar diluar batas wajar. Mentang-mentang anak bungsu dan jadi anak kesayangan jadi dia pikir kalau sudah muak dengan sesuatu tinggal hancurkan saja dan minta yang baru? Begitu pikir Bima. "Muak Bang.. masa pake rusak segala.. padahal udah dikeringin," balasnya santai. Bima yang mendegar itu berusaha mengatasi nafasnya yang mulai memburu, setelah mengatasi masalah internalnya (emosi yang selalu saja naik tiap berhadapan dengan Uci) ia meminta adiknya turun untuk makan. Lucy Adelina tampak sangat penurut sore itu, mungkin karena sebenarnya ada kekalutan karena tugas yang sudah dikerjakannya bersama Raka dan Reza ada di benda yang sudah di bantingnya. Ia juga heran sendiri melihat emosinya yang tidak bisa dikontrol. Uci mengikuti Bima dengan mata fokus pada layar  ponsel pintarnya. Sampai di ruang makan ia langsung duduk dan meletakkan benda itu di atas meja. "Haii kak Eca..." sapanya denga nada kekanakan seperti biasa. "Dih.. kok baru disapa? Ngapain aja kalian diatas? Berantem lagi?" "Dih.. tadi kan Uci lagi panik jadinya ga liat Kak Eca. Kami ga berantem kok.. mana ada acara berantem Uci sama Saudara Bima tanpa kehebohan? Kakak kayak ga tau kami aja," ucap Uci mengingatkan betapa hebohnya Uci dan Bima kalau sudah sama-sama emosi. Ia sangat suka berbicara menyebut namanya jika bersama Kakak sepupunya itu. Tak peduli dengan kata-kata Uci, Tesa menampilkan wajah 'ada apa tadi?' nya ke Bima dan dijawab dengan jawaban yang apa adanya oleh Bima. Dan lagi. Uci kembali meninggikan suaranya pada Bima, menuduh Bima sengaja mengadukan apa yang dilihatnya tadi pada semua orang. Sementara sang Papa yang sejak tadi memutuskan untuk diam sambil mendengar kedua pura dan putrinya yang memang tidak pernah akur ini bicara, merasa sudah paham keseluruhan cerita baik dari sisi Uci ataupun Bima. Tanpa nada menghardik, ia meminta Uci masuk ke kamarnya. "Loh Pa.. aku belum makan loh ini, mana hujan, dingin." "Apa papa peduli?" "Ya ya ya Papa ‘kan pedulinya cuma sama semua cara supaya saudara Bima ga canggung dan ga merasa terbuang." Mendengar itu semua orang terdiam. Antara tidak tahu harus bereaksi seperti apa dan tidak tahu bahwa Uci menyadari semua yang mereka sembunyikan. Uci sendiri sudah menampilkan tampang datar, lalu telfon dari Adam membuatnya mengambil hape yang dari tadi dia biarkan di atas meja kemudian meninggalkan meja makan dengan langkah mengentak. “Tumben lo angkatnya cepat.” "Adam.. lo kan baik, gue mau minta tolong," ucapnya seolah sahut-sahutannya di meja makan barusan bukan apa-apa. “ga gratis ya tapi..” "Iya deh iya... Tadi gue kehujanan - laptop basah - udah gue keringin tapi ga bisa nyala padahal ada tugas kami di sana terus gue banting. Emosi Dam, gue.." Uci sungguh berharap orang yang diyakininya sedang duduk seperti biasa di depan komputernya bisa membantu. “APA???” "Iya salah, gue khilaf." “Kok suara lo aneh gitu? Nangis lo? Nyesel?” "YA KAN GUE GA NIAT KEHUJANAN, SALAHIN MANTAN LO YANG NGULUR WAKTU GUE!" teriak Uci dan mematikan sambungan telfonnya. Beberapa detik kemudian  nada notifikasi w******p milik Uci memenuhi kamarnya karena chat dari Adam terus berdatangan. Entah ini Uci yang bisa memainkan perasaan Adam atau justru Adam yang merasa bersalah karena sudah berkata ketus padanya.   Adam: Siska datengin lo Ci???   Adam: Dia ngomong apa aja?   Adam: Dia ngelabrak elo?   Adam: Heiii   Adam: Dibales dong yang.. jangan di baca aja   Membaca chat yang satu ini membuat Uci mendengus dengan sangat keras karena febrian adam chavali hanya bisa memanggilnya dengan panggilan sejenis itu hanya di pesan saja. giliran telfon atau video call mana berani dia. Dan sempat-sempatnya Adam mengolah dirinya saat Uci sedang kalut.   Adam: Oke besok gue datengin lo di jurusan,bawa bangke si garfield ya..   Nah membaca yang satu ini baru Uci tersenyum karena acara ngambeknya membuahkan hasil namun selang beberapa detik tampang jengahnya kembali muncul.   Me: Lo sebenernya niat bantuin atau ngajak gue ketemu?   Bukannya berterimakasih, Uci malah menaruh kecurigaan pada Adam. Dalam benaknya Adam sedang memanfaatkan keadaan agar bisa bertemu dengannya. Aduh Uci.. mbok ya jangan terlalu percaya diri.   Adam: Bye!   Melihat balasan dari Adam hanya satu buah kata selamat tinggal dan tak ada lagi tanda-tanda bahwa cowok itu sedang online, Uci langsung menelfon balik. "Halo? Adam.. harusnya ‘kan gue yang marah, kok jadi elo yang ngambek?" tanya Uci protes. "Karena elo bawaannya curigaan mulu." "Ya maaf.." "Ya udah.. bawa itu bangke kucing dan gue harap besok lo ga nyebelin kayak biasanya karna gue orangnya-"  "-Ih, lo kok makin kesini makin beda ya?" "Lucy Adelina sewotku cerewetku.. mendingan protesnya besok aja. Sekarang lo tidur!" "Ih gue ga mau lo perintah-perintah ya," lagi Uci menyuarakan protesnya tapi tampaknya Adam tidak peduli dan malah memutus sambungan telfon darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD