3

1216 Words
Uci menjatuhkan tubuhnya di samping Indah dengan wajah tidak bersahabat. Lagi-lagi ia harus bertatap muka dengan Reza. Saat ini ia berada di cafeteria fakultasnya dengan keadaan penuh, sesak ulah para mahasiswa baru. Jadilah ia tidak punya pilihan lain selain duduk di meja yang sama dengan Reza, atau ia bisa saja keluar dengan resiko kelaparan saat kelas selanjutnya. "Nih.. lo baca! Makasih udah ngasih semua kontak gue ke dia," sembur Uci sambil memberikan hapenya pada Indah. "Wahh dia bener-bener niat ngolah temen gue," teriak Indah senang. "Girang amat ya lo pas temen sendiri diolah habis-habisan," ucap Uci kesal, buktinya ia menaikkan suaranya satu oktaf, membuat para mahasiswa baru mencuri lihat dan mencuri dengar obrolan seniornya itu. "Ya iya lah, jadikan gue bisa minta pajak jadian ke kalian ntar." "Jadian nenek lo kipper? Gue risih tau sama mukanya dia." "Iya tapi betah video call berjam-jam. Udahlah Cii.. ga usah banyak tingkah! Intinya lo nyaman sama dia dan gue yakin lo bisa bedain antara Abang dan calon lo ini. Ya kan?" "Serah deh ya." Indah tersenyum lebar mengetahui kali ini dirinyalah yang menang berdebat dengan teman baiknya itu. Selain itu diam-diam ia sangat yakin jika Uci memang akan berakhir dengan Adam, mahasiswa dari jurusan elektro yang terkenal berkat kepiawaiannya memegang kamera dan mengoper bola. "Bersyukur dong non, orang sekece dan penuh karisma kayak Adam mau deketin lo," ucap Indah yang langsung mendapat cubitan dari Uci. "Di depan lo aja dia kece, depan gue?" "Oi cewek-cewek.. kalian ngomongin siapa sih? Dan lo juga Ci, udah tau pembagian kelompok?" Tanya Raka yang sedari tadi hanya jadi pendengar. Raka tidak bisa hanya menjadi pendengar saja bukan? "Kalo lo ngomongnya gitu pasti kita sekelompok, anggota lain siapa?" Tanya Uci, ia cukup mengerti dengan sikap Raka. Ya iyalah mengerti, pake banget malahan. "Nih," ucap Raka sambil menunjuk Reza yang duduk tepat di sampingnya. "Gue cari kelompok lain aja deh. Ndah lo tukeran sama gue ya," pinta Uci yang membuat Reza membelalakkan mata. "Ga perlu repot-repot nyari kelompok lain karna aku yang bakal keluar," begitu ucapnya sebelum meninggalkan makanannya yang masih bersisa. Mendengar kalimat yang menerangkan bahwa kali ini Reza mengalah padanya  membuat Uci terdiam lalu memutar bola matanya seperti biasa saat ia sedang berpikir. Tak lama setelah itu ia mengangguk. Sangat setuju dengan solusi dari Reza. "Mikir apa hayo?" tanya Indah sambil memindahkan sebagian isi piring Uci ke mulutnya. "Penting lo tau? Gue masih marah ya soal Febrian Adam Chavali." "Oke.. kita liat sampe kapan lo marah," tantang Indah. Memangnya Uci sanggup bertahan dengan Raka dan Reza saja? Tepat setelah itu Raka mendesak Indah untuk menceritakan apa yang belum diketahuinya tentang teman yang paling sering mengadu padanya itu, mari sebut Uci teman saja saat ini. Kemudian mengalirlah cerita dari mulut tipis Indah, mereka –Indah dan Raka, bahkan bergosip ria seolah tidak ada dirinya di sana. Awalnya Uci berusaha tampak tenang-tenang saja tapi lama kelamaan ia tak bisa menyembunyikan air mukanya yang berubah menjadi merah padam karena Indah menceritakan bagaimana gombalan-gombalan Adam untuknya. Untuk pertama kalinya dalam pertemanan mereka Uci menyesal menceritakan apa yang dialaminya secara lengkap pada Indah dan berjanji tidak ada lagi tindakan konyol yang akan mengakibatkan ia dipermalukan seperti ini. “Terserah kalian karena yang penting gue ga mempan sama rayuan setan sekalipun. Orang gue setannya kok.” "Loh loh.. lo mau kemana Ci?" Tanya Raka. "Gue. marah. sama. Lo." "Marah kok ngomong-ngomong... kalo gue gabung sama kelompok Indah.. mampus lo sama musuh tercinta lo itu," ancam Raka tanpa tahu bahwa apa yang diucapkannya itu memang benar. Reza adalah musuh yang dicintai Uci sampai rasanya sesak sekali. >>>  Wajah-wajah manusia yang memenuhi jalanan kampus sore ini sama mendungnya dengan langit di atas sana. Entah mereka semua mengalami hal yang sama atau tidak. Sementara itu Uci yang berniat akan mandi kemudian tidur sampai esok pagi bersama Garfield-garfield kesayangannya malah didatangi cewek asing. Cewek itu memblok jalan bagi motor matic Uci. "Lo siapa?" tanya Uci tidak mau membuang-buang waktu. "Lo Uci ‘kan? Gue Siska tapi biasa dipanggil-" "-Bukan urusan gue juga lo mau dipanggil apa. Maksud gue itu ngapain lo nyari gara-gara?" "Bukannya lo yang nyari gara-gara? Lo deketin Adam ‘kan?" "Febrian Adam Chavali maksud lo? Ngapain juga gue deketin sepupu sendiri?" jawab Uci dan setelahnya gadis dengan rambut ikal itu merasa malu dan mundur dari jalannya. Dalam hatinya Uci tertawa, kita lihat apa yang akan dilakukan gadis itu pada Adam nanti. Macam-macam nih Adam padanya. Awas saja nanti. Uci sampai di tempat penuh kecanggungan yang disebutnya rumah dalam keadaan basah kuyup. Saat ia memasuki rumah ternyata semua orang sedang berkumpul dan memakan cemilan buatan mamanya Kak Tesa yang memang selalu disenangi. Tanpa basa-basi ia terus berjalan dengan tergesa menuju kamarnya. Bukan kamar mandi atau handuk yang dicarinya, Uci justru duduk di pinggir ranjang dan mengeluarkan notebook miliknya dari dalam tas yang sudah basah luar-dalam. Tak lama setelah itu ia berdecak kesal, notebooknya kemungkinan sudah rusak. Uci kembali kebawah dan menghampiri Kakaknya "Kak pinjam hair drier!" "Astaga Uciii, ganti baju dulu kan bisa?" ucap Sindi pada adik bungsunya. Uci selalu melakukan segala hal yang membuat Sindi merasa harus menegurnya. "Airnya ‘kan ga netes." "Tapi dalaman kamu keliatan!" "Ya kan kakak juga punya dan juga pake, masalahnya apa coba?" ucap Uci menatak Kakaknya aneh. Mereka ‘kan juga sama-sama punya dua p******a dan orang di rumah ini semuanya keluarga. Jadi terserahlah mau dilihat atau kelihatan. Setelah mendapatkan apa yang dimintanya dari Sindi, Uci kembali mendekam di balik pintu hitamnya. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengeringkan notebook lalu ujung ranjang yang di dudukinya tadi, baru setelah itu dia mandi. Sop buntut yang sejak tadi ditungggu-tunggu keluarga besar itu sudah berada di meja makan lengkap dengan kepulan asap yang dihasilkan karena kuliner satu itu baru saja dipindahkan ke wadahnya. Hujan disertai badai seperti sekarang ini memang sangat cocok dengan makanan yang telah terhidang itu. "Bima kamu panggilin adek ya," pinta Vivi pada anaknya. Menyuruh Bima melakukan sesuatu yang berkaitan dengan adiknya atau sebaliknya adalah salah satu cara istri Pak Arifin itu untuk mendekatkan kedua anaknya yang tak pernah lepas dari kecanggungan dan luapan emosi, bahkan selama ini ia tak pernah melihat anak bungsunya terlihat tertawa bersama abangnya itu. "Yah Ma.." Bima biasanya tidak akan menolak tapi mengingat pertengkaran mereka beberapa hari lalu membuatnya enggan memulai pembicaraan dengan adiknya yang terkenal sangat frontal itu. "Apa susahnya sih Bim, nih liat gue ya," timpal Edo dan langsung meneriaki nama adiknya. Bima mencibir mendengar solusi yang ditawarkan Abangnya itu. Bagaimana mungkin adik mulut pedasnya yang sedang berada di dalam kamarnya sana bisa mendengar teriakan Bang Edo dari meja makan dan di bawah derasnya hujan seperti ini? Tak mau banyak komentar lagi, Bima beranjak dari tempatnya dan berjalan lurus menuju tangga. Sementara itu semua orang yang ada di meja makan saling melemparkan tatapan 'apa lagi kali ini yang akan mereka ributkan?' Satu-persatu dari mereka melihat wajah  satu sama lain untuk mengetahui jawabannya namun semua orang sama tidak tahunya. Bima dan Uci memang selalu memberi kejutan pada mereka, sayangnya kejutan itu bukanlah kejutan manis. Belum sempat Bima mengetuk pintu hitam itu telinganya mendengar suara sesuatu yang dibanting atau justru adiknya yang terbanting? Entahlah Bima tak punya waktu untuk berspekulasi. Ia langsung masuk ke kamar yang sebenarnya daerah terlarang baginya itu karena sudah jelas tertempel tulisan 'kawasan bebas Saudara Bima' di daun pintu bagian luar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD