2

1182 Words
Uci memasuki rumahnya dengan gontai, debar yang dulu ada saat ia melihat Reza kini tersisa perasaan miris dan ngilu, salahkan semua perlakuan yang didapatnya dari cowok itu. Saking risihnya Reza padanya, Uci bahkan pernah disalahkan untuk perbuatan yang tidak dilakukannya beberapa hari lalu. Saat itu Uci, Indah dan teman-teman mereka yang lainnya ikut meramaikan lomba-lomba yang diadakan dalam acara dies natalis kampus mereka. Tim futsal dari fakultas Uci maju sampai babak semifinal dan cewek ini tak pernah tau kalau Reza adalah salah satu pemainnya. Lalu tim mereka kalah dengan selisih satu point. "Ini gara-gara ada dia," Reza menuduh kehadiran Ucilah yang menyebabkan timnya kalah, ia menganggap Uci selalu membawa awan kesialan yang pasti akan bermetamorfosa menjadi hujan kesialan baginya.  Seberapa pedas dan ketus mulut Uci ditambah kalimat bantahan yang sering di lancarkannya pada orang lain, tapi ia tetap tidak berkutik jika sudah dihadapkan dengan Reza.   "Lo deket banget ya Ci, sama Ejak" Saat ini Uci dievakuasi oleh teman-teman mereka menuju kawasan bebas Reza. Sedangkan orang yang digiring pasrah, tak b*******h.  "Deket kepala lo cantik!!"  "Buktinya elo satu-satunya cewek yang di aku-kamuin Ejak, ya selain pacarnya."  "Ya plus kata-kata super sarkasnya dia ke gue, itu kan maksud lo? Lo ga tau aja seberapa ingin gue di gue-elo in sama si Ejak."  "Oh iya, tadi tuh gue liat lo tatap-tatapan gitu sama Adam. Lo naksir dia? Mau gue bantuin?" tanya Iindah mengalihkan topik karena tidak ingin temannya sakit hati mengingat perlakuan Reza. Reza selalu menjadi kekanakan kalau sudah berhubungan dengan Uci.  "Adam? Adam mana?" Tanya Uci heran. Ia tak pernah tau dan tak pernah kenalan dengan cowok yang namanya Adam.  "Nomer punggung 8. Halah .. tumbenan banget lo sok polos,"  Uci bukan melihat dalam tanda kutip. Hanya saja orang yang diperhatikannya sejak tadi sungguh, benar-benar mirip dengan Abang yang paling dibencinya. Atau memang orang itu Abangnya? Kurang ajar banget Abangnya kalo sampe muncul di sini, begitu pikirnya. Tapi ternyata itu orang lain. Orang lain yang benar-benar mirip dengan Agustian Bima Prananda.  "Yeee... emang gue kaga tau." "Kemaren aja nyalahin gue tanpa alasan dan sekarang lo mau gue kerja bareng lo? Ngotak please, gue ga segitu butanya karena cinta ya," gumam Uci dengan nada rendah. Terlepas dari semua itu, ia merutuki kebodohannya yang menyia-nyiakan kesempatan untuk berada di dekat Reza lagi. Padahal kalo tadi ia terima sudah pasti ia bisa selalu bertemu pria itu bukan? AH! EMOSI SIALAN! "Sepatumu Ci.. jangan bikin Mama capek dong." "My home, my rules Saudara Bima," ucap Uci cuek setelah sempat berpikir ada apa sampai Bima bisa berada di rumahnya. Ya terlepas dari rumah ini memang rumahnya, sangat aneh jika Bima terlihat di sana. "Ya kan kamu juga harus jaga kebersihan rumah kamu. Mama udah capek bolak-balik rumah sakit belum lagi ngurus rumah tiap hari dan anak-anak gadisnya ga sadar diri." Kan? Kembali lagi pada pembicaraan yang ujung-ujungnya akan memojokkan dirinya. Mereka –Sindi dan Uci, memang termasuk golongan cewek dengan tangan halus. Dalam artian sangat, sungguh jarang melakukan perkerjaan apalagi yang namanya bersih-bersih rumah. Dan Mama mereka memang capek bolak-balik rumah sakit karena pasien tidak kenal dengan jam kerja bukan? Hellooww? Terus menurut Bima apa kerjaan asisten rumah tangga mereka? "Oo... jadi gue salah lagi? Mumpung lo masih ngomongin soal 'sadar diri' kenapa ga kita bahas betapa ga tau dirinya elo? Hah??? Lo sadar ga gimana sikap lo ke Mama-Papa, Orang tua kandung lo. Mereka ga pernah buang anak laki-lakinya, tante Dian aja yang ngotot mau rawat elo karena katanya dia ga bisa lagi punya anak. Dan jangan coba-coba salahin keberadaan gue atas apa yang terjadi, gue juga ga pernah minta dilahirin!!!" ucap Uci menggebu. Ia memang salah satu orang dengan emosi yang mudah meledak, terlebih barusan ia juga dibikin muak oleh kata-kata Reza. "Juga jangan pernah awasin gue lagi ya.. gue bukan adik lo. Lo boleh punya dua pasang orang tua, dua orang kakak dan satu abang. Tapi gue janji lo ga bakal bisa punya adik!!!" Kali ini Uci berteriak dan melemparkan sepatunya ke arah pintu kemudian meninggalkan Bima begitu saja. Daun pintu berwarna hitam itu dibuka kasar oleh pemiliknya dan tampaklah ruangan yang sangat bertolak belakang, kamar gadis itu didominasi oleh warna peach dan boneka Garfield erbagai ukuran di kepala tempat tidurnya. Ttak lama setelah tubuhnya benar-benar sudah berada di wilayah teritorinya itu pintu kembali dihempaskan dengan penuh tenaga kemudian melemparkan diri ke kasur. Pertemuan dengan Reza dan berbicara dengan Bima sanggup membuat gadis itu terisak. Tapi ia Beruntung, pengalih perhatiannya menelfon. Uci akan dengan senang hati melampiaskan kekesalannya pada orang yang baru-baru ini sangat rutin menghubunginya baik itu via line, WA atau DM ** bahkan telfon dan SMS biasa. "Adam..." “Hei.. ganggu ya?” "Gue bilang iya pun lo ga bakal berenti ganggu gue kan?" tanya Uci dan selanjutnya anak bungsu Pak Arifin itu larut dalam obrolannya dengan cowok yang baru-baru ini dikenalnya berkat Reza Alaric Sagara. Untuk yang satu ini Uci benar-benar harus bersyukur atas sikap aneh Reza yang kumat pada waktu yang tepat karena sekarang ia punya satu orang selain Indah yang bisa diajak ngobrol ngalur ngidul. Kehebohan yang dibuat oleh Reza membuat Adam memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk bicara dengan cewek yang sejak tadi diam-diam di perhatikannya. "Hei.. boleh duduk?" tanya Adam memulai percakapan pertama mereka. "Oh, hai Adam, boleh kok. Tapi lo agak jauhan deh.. bau soalnya," jawab Uci tanpa rasa bersalah, Adam yang mendengarnya hanya tersenyum simpul. Wajar saja dirinya bau setelah beberapa babak bermain.  "Lo kenal gue?" Tanya Adam terperangah. Apakah jalannya untuk mendekati gadis yang bahkan tidak ia kenal namanya ini akan berjalan dengan mulus? Melihat bagaimana gadis itu mengetahui namanya, Adam berasumsi bahwa ada kemungkinan cewek ini tertarik padanya.  "Eh iya.. gue Lucy Adelina dan tau nama lo karena temen gue yang barusan pergi bilang kalo cowok dengan nomer punggung 8 itu namanya Adam. Mungkin dia ngincer elo, ati-ati lo, Dam..." jawab Uci lancar, kelewat lancar malah. Ia tidak tau saja kalo kelancaran omongannya itu bagaikan petir di siang bolong bagi Adam. "Jadi dugaan gue salah ya?" tanya Adam tanpa sadar menyuarakan isi hatinya. Apa yang disampaikan Uci tentang Indah tak akan membuatnya senang karena kenyataannya dia sudah mengenal Indah selama satu tahun, dan tak ada yang special untuk teman satu organisasinya itu.  "Lo mikir apa tentang gue?" Tanya Uci menyipitkan mata.  "Jujur, gue ga mau sok polos dan pura-pura ga tau kalo dari tadi lo cukup sering ngelirik gue. Gue mikirnya kita pernah kenal atau jangan-jangan kita teman kecil mungkin?" Dan bisa di pastikan bahwa kalimat terakhir itu ngelesnya pinter abis. Adam anak siapa sih? Modusnya oke punya.  "Gue juga ga mau sok polos dan pura-pura ga tau kalo lo juga liatin gue. Jadi apa gue ngingetin lo sama seseorang?" Tanya Uci mengembalikan kata-kata Adam.  "Hahaha lo pinter ya nyerang gue. Oke oke. Lo ga mirip siapa-siapa sih, tapi heran aja liat cewek masih ngotot merhatiin gue padahal udah kegep."  "Ooo.. gue melototin lo karna lo mirip hm... sebut aja Abang gue."  "Abang apa Abang?"  "Kalo gue bilangnya Abang berarti emang Abang," jawab Uci agak kesal dan begitulah sampai obrolan mereka  mengalir begitu saja termasuk obrolan tentang kenapa Reza seperti orang gila meneriakinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD