Sekolah Baru, Teman Baru

1048 Words
Matahari sudah mulai naik, Viola tergesa-gesa menyiapkan segala keperluannya untuk berangkat ke sekolah baru di kota neneknya. Pukul enam lewat lima belas menit, ia sudah rapi mengenakan seragam lamanya juga sepatu kets warna hitam. Dengan langkah pelan salah satu tangannya menyambar tas ransel juga ponselnya yang berada di atas meja belajarnya, bukan ... lebih tepatnya meja sederhana dari kayu bekas meja belajar mamanya, ia melangkah ke luar kamar. Ia menyapa wanita yang usianya lebih dari paruh baya tersebut, yang sedang sibuk menghidangkan nasi di atas meja makan sederhana itu, menyilahkan Revalin dan Viola untuk sarapan, ada nasi goreng dengan asap yang masih mengepul tersaji dalam mangkuk berukuran sedang dan roti serta selai strawberry. Namun ananknya masih sibuk mengecek surat-surat penting untuk pindah sekolah cucunya, memastikan tak ada berkas yang terlewat. Suaminya Revalin kembali dahulu pagi-pagi buta naik bus diantar ke terminal olehnya karena ada urusan bisnis yang mendadak harus diselesaikan. "Ayo sarapan dulu, ini susunya Vi," kata nenek membawa secangkir gelas berisi s**u vanila. Meletakkannya di atas meja di hadapan Viola, tersenyum hangat lalu duduk di kursi sebelah cucunya. Viola mengangguk menatap mata neneknya, mengambil sepotong roti tawar untuk diolesi selai strawberry. Menyeruput s**u hangat dua tegukan kemudian menggigit lalu mengunyah roti tersebut. "Kamu yang betah ya sama nenek, nanti kalo ke sekolah naik motor aja, ya? Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot mata Rose, syukurlah jika nenek Viola bisa mengikhlaskan kepergian suaminya lebih cepat. "Iya Nek, udah nenek tenang aja." Hibur Viola mengelus punggung tangan neneknya singkat. "Ayo, Vi! nanti kita telat," kata Revalin setelah mondar mandir mencari kunci mobil, lupa meletakkannya di mana. "Aku berangkat dulu ya, Nek," jawab Viola seraya melahap roti terakhirnya, kemudian bangkit. Meraih tas lalu mencium pipi kanan dan kiri neneknya. Rose bangkit mengikuti sampai ke depan pintu, ia melambaikan tangan ke arah cucunya. Vi tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil, mamanya melajukan mobil keluar dari halaman. Mobil melaju pelan, jalanan ramai lancar karena mereka berada di jalan di desa terpencil. Sebenarnya Revalin dan Barry tak tega membiarkan putri semata wayangnya hanya berdua dengan neneknya di kota ini karena mereka perempuan dan tak ada yang melindungi, karena Rose tak mau ikut ke kota jadinya Viola yang ditugaskan untuk menemani neneknya. Mereka melewati jalan raya yang tak begitu luas namun sudah beraspal, di kanan kirinya perkebunan teh. Setelah melewati kebun teh tibalah di jalan raya yang luas, lalu lintas cukup ramai dan sudah dekat dengan sekolah SMA. Mereka sampai setelah bel sekolah berbunyi nyaring membuyarkan siswa-siswi yang sedang asyik ngobrol di depan kelas. Mobil diparkir di halaman sekolah, kemudian turunlah keduanya. Revalin dan Viola berjalan menuju ruang guru yang ada di dekat pintu masuk. Mereka disambut ramah oleh beberapa guru dan staf yang belum meninggalkan ruangan. Setelah menyerahkan berkas dan selesai diproses, Revalin undur diri untuk pulang sedangkan Viola diantar oleh seorang wanita paruh baya untuk langsung bergabung mengikuti pelajaran. Viola mengikuti seorang guru yang belum diketahui namanya itu. Sambil berjalan pelan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sekolah yang asri. Penuh dengan bunga dan tanaman hijau, sejuk dipandang mata. Lalu berbeloklah yang diikutinya. 'Kelas XI IPA 4' batin Vi membaca papan di gawang pintu sekilas lalu mengekor masuk ke ruang kelas di lantai dua tersebut. "Bu, ini siswi pindahan dari kota ... saya tinggal dulu ya," ucap wanita tadi yang mengantarkan Viola. "Oh, begitu ya, Bu? iya ... baik-baik," timpal bu guru yang berdiri menulis materi pelajaran dipapan tulis berhenti dari aktivitasnya sejenak. Viola menganggukkan kepalanya lalu berkata, "Terima kasih, Bu." Mata Viola mengekor wanita tadi keluar kelas hingga punggungnya tak terlihat lagi. Siswa-siswi di depannya berbisik-bisik, ada ucapan yang terdengar sampai telinga Viola. Mereka tak sungkan membicarakannya padahal masih di hadapan mereka. Bu guru lantas duduk di kursi, mempersilahkan Vi untuk memperkenalkan diri. "Kenalin gue Viola, siswi baru dari kota," ucap Vi sama sekali tanpa gugup. Beberapa dari lelaki yang sekarang ini sah menjadi teman sekelasnya bertanya, heboh dan antusias karena tak bisa dipungkiri karena Viola sangat cantik, pantas jika mereka tertarik. "Kamu sekolah di mana di kota asalmu?" "Kamu udah punya pacar belum?" "Kamu manusia atau bidadari?" "Minta no. Hpmu dong Vio?" Celotehan mereka hanya membuat telinga Viola sakit, ia refleks menutup telinga dengan kedua jari telunjuknya. C'tak C'tak C'tak! Bu guru memukul penggaris ke mejanya. "Diaaam!" teriaknya geram. Semuanya kaget lantas diam. "Kamu duduk aja dikursi yang masih kosong ya Viola," katanya kemudian menulis kembali materi pelajaran dipapan tulis. Mata Viola mengedar, kaki Viola melangkah ke depan, segera duduk dibangku nomor tiga dari depan barisan kedua. Di sana duduklah gadis cupu sendirian, mengenakan kaca mata berbentuk bulat kacanya tebal, rambutnya dikuncir kuda. 'Gila, itu mata apa udah parah banget kacanya tebel gitu!' batin Viola tersenyum ke arah teman sebangkunya. "Hai," ucap gadis di sampingnya tersenyum tulus sambil mengangkat tangan kanannya. Viola pun terpaksa tersenyum. Kemudian mengeluarkan buku dari dalam tasnya untuk mengikuti pelajaran. ____________ "Gimana sekolah kamu, Nak?" tanya neneknya saat dia sampai di rumah. Mamanya sudah siap untuk kembali ke kota besok pagi, tas dan koper sudah ditaruh di kursi ruang tamu. "Lancar, Nek. Aku mandi dulu ya," pamit Viola melenggang masuk ke dalam kamar ibunya yang sekarang resmi menjadi miliknya. "Iya, kamu makan dulu aja, baru mandi Vi," sahut neneknya menunggu di sofa depan TV. Tak beberapa lama ia keluar dari kamar kemudian melewati neneknya yang tengah asyik dengan acara di TV. "Nanti ajalah, Nek. Udah gerah sih badanku lengket semua," sahut Vi yang sudah berada di kamar mandi namun suaranya masih terdengar jelas. Setelah mandi, mereka bertiga makan bersama di meja makan. "Vi, kamu baik-baik ya di sini ... mama akan usahain tiap weekend nengokin kamu sama nenek, jangan khawatir soal uang. Minta papa atau mama, nanti juga kamu kasih ke nenek sebagian ya ...." pinta Revalin pada anaknya. "Iya, Ma," jawab Viola singkat kemudian menyuap nasi ke dalam mulutnya. "Tenang aja, Re. Ibu pasti jagain anak kamu, kan cucu nenek satu-satunya. Kalo kamu kesepian, bikinin adik buat Viola, ya kan Vi?" Lirik nenek ke arah Viola. "Uhuk uhuk uhuk!" Viola hampir tersedak, selama ini mama dan papanya sama sekali tak pernah membicarakan tentang adik, ia sangat syok saat ditanya neneknya barusan. "Kamu kenapa, Vi?" tanya neneknya bingung. Mengelus punggung cucunya menyodorkan air minum pada cucunya. "Apa kamu nggak ada niatan buat nambah anak, Re?" tanya Rose. Viola penasaran dengan jawaban mamanya. Begitu pula wanita yang telah melahirkannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD