Episode Ketiga

1308 Words
Maudya merasa ini bukan dunianya. Sama halnya dengan separuh ingatan yang hilang. Ya, orang-orang ini yang dia kenal memanglah tulus–terlihat sangat tulus–tapi dia selalu yakin bahwa ada yang kurang entah itu apa. Yang jelas kadangkala dia seperti tidak mengenal dirinya sendiri. Bukan tentang orang-orang dan waktu saja, tapi sikapnya dan karakter dirinya sendiri dia merasa bukan dirinya. Benar-benar bukan dirinya. Dia memang santai tapi tidak menjadi pendiam. Dia bahkan tidak ingat kapan dirinya tertawa lepas. Bukan menjadi pribadi yang berbeda walau dia sebenarnya bukan yang heboh terlalu heroik tapi dia merasa.... Apa memang benar dia yang seperti ini atau sebenarnya dia tidak pernah berada dalam fase ini? Atau peralihan dari sisinya yang hilang ingatan? “Dy, kenapa?” Sky mencoba mengajaknya berbicara. “Ada yang sakit?” Dia khawatir melihat Maudy yang tidak biasa dari raut wajahnya. “Ha? Ah-ya, maaf. Sepertinya aku lelah,” katanya meminta maaf. “Ah, ya sudah kalau begitu. Aku antarkan kamu ke kamar lagi,” lanjut Sky. “Tidak usah, Sky. Begini dulu saja. Sepertinya aku masih ingin menghirup udara dengan leluasa sejenak.” Sky memperhatikan Maudy yang terlihat semakin kurus tapi wajah pucatnya sudah mulai merona kemerahan di bawah sinar mentari. Yang artinya, dia mulai berangsur membaik. Kondisinya sudah tidak terlalu memprihatinkan. Dia sudah bisa tersenyum samar walau tak tampak setulus dulu. Mungkin Maudy memang kehilangan ingatan, tapi dia merasa jiwa yang terluka pastilah tak selalu baik-baik saja. “Kamu kenapa melihatku seperti itu?” tanya Maudya sembari mengernyit, melihat tatapan Sky padanya seperti menerawang jauh. “Ah, oh? Tidak.” Sky yang ditanya pun tergagap karena ketahuan melihat Maudy dengan pancaran sedih dan binar mata yang meredup mengingat masa lalu. “Heheh,” kekeh Maudy. “Santai aja Sky. Duduk sini!” pintanya. Sky mengamati kembali dengan saksama raut wajah Maudy seperti memikirkan banyak hal, tetapi ragu untuk mengungkapkan. “Kamu mau ngomong apa sama aku?” Sky to the point. “Hem, tapi kamu jangan marah ya?” Maudy meliriknya. “Aku ngerasa kamu lagi ragu sama diri kamu sendiri,” ujarnya menjelaskan. Seketika Sky terkejut mendengarnya. “A-aku? Aku ragu sama diriku sendiri? Kenapa, Dy?” “Kenapa?” ulang Maudy. “Kamu jangan tanya aku, Sky! Yang tahu hatimu, ya cuma kamu. Dirimu dan sikapmu yang tahu ya kamu. Bagaimanapun kamu dekatnya dengan seseorang, kamu mesti tahu seberapa kenal orang itu denganmu. Kamu yang tahu porsimu.” “Lagi pula, aku merasa bahwa selama ini kamu benar-benar tidak mengerti arti cinta, ya? Walau sebenarnya mungkin saja, aku pun masih meraba arti cinta yang sebenarnya. Sebab, aku merasa ada yang kurang,” Maudy mengecilkan volume suaranya di kata terakhir. Sky menghembuskan nafasnya kasar seolah ada beban berat yang menimpa. “Kamu kenapa? Ada masalah dengan hatimu?” Maudy menembakinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Sky tergagap menjawab, yang tentu saja tepat sasaran. “Hehehe, kamu bisa banget ya Dy. Nanyanya satu-satu dong!” ucapnya sembari terkekeh. “Eh, maaf ya. Aku penasaran aja sih,” kata Maudy menggaruk tengkuknya yang tak gatal, canggung karena terlalu banyak pertanyaannya kepada Sky. “Iya, ini masalah hati. Aku menyukai, ah bukan, aku mencintai seseorang tapi—” Dia menjeda ucapannya, agak ragu menyampaikan kepada Maudy apa yang dirasakannya. Sebab, kondisi Maudy saat ini pun kurang stabil, mengatakan siapa yang menyukai dan dia sukai otomatis akan menyebutkan orang-orang yang dekat dengannya secara tidak langsung walau nama bisa di skip. “Tapi apa?” Maudy menaikkan sebelah alisnya, menantang Sky mengatakan hal yang sebenarnya. “Ah, ya. Aku menyukai seseorang. Tapi mungkin, dia tak berjodoh denganku. Tapi sekarang aku melihat ada sebuah kesempatan, yang terjadi adalah orang lain menyukaiku.” Dia menjawab sendu. Sebab memang dia tak ingin kehilangan keduanya. Sebagai sahabat oleh Maudy, atau memang masih ada kesempatan di hatinya. Atau dengan Casya. Sama saja. Dia tidak ingin kehilangan keduanya. Serakahkah dia? Katakan saja begitu. Tapi benar. Dia menyayangi mereka berdua dengan porsi yang berbeda. Casya sudah lebih dia anggap sebagai adik dan kakak, Maudya sebagai tambatan hati. Dan itu sungguh berbeda. Rasanya tak bisa dijabarkan. “Sky,” panggil Maudy. “Ya?” Dia menoleh kepada Maudy. “Sebenarnya, apa yang diinginkan hatimu? Jangan sampai menyesal karena kamu terlambat mengatakan.” “Aku memang kehilangan separuh ingatanku. Tapi aku belum lupa bagaimana caranya menyukai seseorang. Dan, tak pernah lupa bagaimana cara orang menatap orang lain dengan penuh cinta. Bagaimana rautnya dengan bahagia bersama orang yang dikaguminya. Ya, kadang cinta muncul karena rasa kagum dan terbiasa. Tapi ada beberapa hal yang memang tidak disadari bahwa kita sudah jatuh cinta. Namun, kita hanya takut. Entah takut memulai dengan orang baru karena takut disakiti atau kita yang malah menyakiti.” “Sebenarnya kamu bagian yang mana, Sky?” Maudy menoleh ke arah Sky. Mereka bertatapan. Beradu pandang seolah menyimpan banyak tanya dan rahasia. Dalam tatapan mata tak akan pernah bisa berbohong. Dan, tanpa mereka sadari sepasang mata melihat dari jauh. Ah, dia baru menyadari bahwa cintanya tak akan pernah bersambut. “Ah, maaf Dy. Sebaiknya kita kembali ke kamar saja. Takutnya tante nyariin.” Maudy mengangguk. “Tapi kamu harus tahu, bahwa hatimu takkan pernah berbohong. Tolong, Sky, aku mungkin lupa setengah ingatanku. Tapi aku merasa ada yang janggal dengan semua ini. Termasuk kamu, yang terlalu perhatian denganku,” jelasnya. Sky mematung mendengar itu. “Apa Maudy tahu dia menyukainya? Apa dia tak nyaman dengan rasa yang dimilikinya? Tapi kenapa?” Batin Sky bergejolak. Susdah, jangan dipikirkan. Ayo, kembali ke kamar!” ajaknya sambil menyentuh lengan Sky dengan jemarinya yang lembut. Menyadarkan Sky dari segala lamunan liarnya. Terhenyak dan kembali kepada sebuah kenyataan, bahwa Maudy tak pernah mencintainya. Apa dia harus menerima orang lain masuk? Apa dia bisa? Ah, rumitnya. “Ah iya, ayo!” Sky mendorong kursi roda itu. Semua itu tak luput dari sepasang mata yang mengamati dari jauh. Menyadarkannya bahwa-cintanya-kembali-tak-terbalaskan.Dia sudah menyerah— *** Sedangkan di belahan bumi lain, seseorang yang selama ini terobsesi dan penuh ambisi tengah terkurung di sebuah rumah yang besar. Ah, bukan rumah. Memang dia tinggal di sebuah rumah tapi sepertinya kesempatan kali ini tidak baik hingga dia harus tinggal di sebuah ruangan yang tak lebih besar dari pada kamar mandi. Dia merencanakan sebuah misi dan suatu tindakan agar dapat keluar dari sini. Memang mereka pikir dia tidak bisa keluar? Orang-orang bodoh itu, benar-benar sangat nnaif “Dasar bodoh,” geramnya. Drrrt drrrt! Getaran ponsel dalam sakunya menghentikan geraman tertahan itu. “Ya?” katanya tanpa basa-basi. “Halo Nona? Semua berjalan lancar tapi—” jeda si penelepon ketika takut Si Nona Muda itu semakin berang. “Kenapa? Jangan membuatku semakin marah!” gertaknya. “Tidak ada, Nona. Bukan sesuatu yang penting. Aku akan membantu bagaimana caranya agar Anda bisa keluar dari sana dan hidup dengan baik.” “Ya, aku juga ingin ke Indonesia setelah keluar dari sini. Seberapa naif dan bodoh mantan tunanganku itu. Aku ingin melihatnya dengan wajah bodohnya beserta keluarganya,” ujarnya. Ya dia memang selama ini berambisi tapi ternyata ada saja yang menghalanginya. Lihat saja, setelah ini maka tak akan pernah dia bermain-main terlalu lama. Jika bisa dia akan langsung menghabisinya. Sedangkan Si Tuan sedang menyusun rencana, maka b***k juga hanya bisa pasrah. Dia menyusun rencana untuk membantu majikannya. Dia memang kasihan kepada Nona Muda itu. Tapi mau dikata apa? Dia hanya seorang pesuruh. Dibayar ketika melakukan sesuatu pekerjaan atas imbalannya dan berguna untuk dia hidup. Dia tak pernah mengerti, hanya mengangguk walau Si Tuan tak pernah tahu anggukannya. “Baik, Nona. Saya akan kerjakan bagian saya.” Setelah panggilan diakhiri, dia akan mencari tahu kenapa mantan tunangan nonanya itu selalu pergi sendirian akhir-akhir ini. *** Sedangkan itu, seseorang pria dewasa sering sekali pergi ke rumah sakit. Entah karena apa, dia sepertinya memiliki urusan. Sampai ketika, dia tak sengaja melihat seseorang dari masa lalu itu. Matanya terbelalak tidak percaya. Dua orang sekaligus. Siapakah Dia? Masa lalu itu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD