Episode Keempat

1785 Words
#ARGA Sedangkan itu Arga bingung bagaimana jika sesuatu kembali terjadi. Memang salahkan saja dia yang terlalu plin-plan terhadap perasaan. Dan terlalu mudah merasa kasihan kepada orang lain sehingga berdampak buruk untuk dirinya sendiri. Bahkan hubungan pribadi dan pekerjaan. Dia memang mudah meluluhkan hati untuk orang lain. Sama seperti orang mudah menaruh rasa padanya. Yang berbeda adalah, Arga hanya sebatas membantu tetapi orang lain bisa saja salah mengartikan menjadikan mereka terobsesi terhadapnya dan segala sesuatu yang menyangkut Arga. Bicara tentang cinta takkan pernah habis. Dering ponsel membuyarkan dia dari kepenatan hari yang ada. "Halo! Ya bagaimana?" To the point menanyakan si penelepon tentang pekerjaannya. 'Cukup aman, hanya saja dia sepertinya aneh. Bersikap baik dengan tidak memberontak lagi' Arga mengangguk mengerti walaupun ia tahu bahwa si lawan bicaranya takkan pernah melihatnya. "Ya, urus saja dulu dia. Aku akan mencoba mengurus pekerjaan di sini di bantu Tirta dan Sean" memijit kepalanya, dia benar-benar pusing. Tidakkah dia diberi sedikit kesempatan untuk mengistirahatkan diri? Melonggarkan pikiran yang sangat menyesakkan d**a. Membuat rongga kosong itu semakin sesak tanpa harus diisi apa-apa. 'Ya Tuan' setelah memutuskan panggilan dia berniat ke rumah sakit melihat neneknya yang sedang lemah sejak kematian kakeknya tiga tahun lalu. Semua kesalahan memang ada padanya. Tapi tak bisakah sebentar saja hidupnya damai? Dengan segala kerinduan dengan keluarganya. Astaga, sudahlah. Arga baru saja sampai di rumah sakit tempat neneknya dirawat. "Bagaimana keadaan nenek Ma?" Dia bertanya dengan panik. "Masih sama. Tidak usah terlalu panik. Dia sudah lumayan baik-baik saja" mamanya terlihat khawatir. Tapi berusaha semaksimal mungkin bersikap santai. Dia tahu Arga adalah kesayangan neneknya. Maka dari itu juga dia tahu bagaimana perasaan Arga. Dia sendiri menguatkan dirinya tanpa suami sebab suaminya juga masih ada urusan jadi dia harus kuat dan tidak panik. "Apa nenek masih, ...." dia menjeds ucapannya, "menyebut namanya Ma?" Lanjutnya. "Ya, dia masih menanyakan Maudy. Bagaimana mama menjawabnya Nak? Kamu sendiri tahu bahwa Maudy tidak bisa ditemukan. Bukan. Dia bahkan tidak bisa kembali kepada kita. Lalu bagaimana caranya kita mencari orang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini?" Mama menangis meneteskan air matanya yang sudah beberapa saat lalu dia tahan. Ia, nenek sudah beberapa hari yang lalu sadar. Tapi mau bagaimana lagi, hal yang selalu dia tanyakan adalah Maudy. Kemana mereka mencari gadis itu? Bagaimana mereka mencari orang yang sudah tidak bisa lagi dicari. Nenek sangat menyesal saat itu ketika dia harus membatalkan pernikahan Maudy dengan Arga secara sepihak. Ya, benar. Yang membatalkan adalah nenek. Kalian tahu bagaimana sayang nenek pada Arga, begitu juga ketika pertama kali Maudy datang bermain ke rumah Arga dan bertemu nenek. Dia sudah sangat akrab seolah mereka adalah kawan lama yang sudah lama tak bertemu. Lalu hari terlewati begitu saja, dia bahkan lebih menyayangi Maudy dari pada Arga. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah kenapa bisa nenek tidak menyetujui pernikahan itu? Padahal dia yang paling bersemangat. Dan? Bagaimana bisa Arga dengan sepihak membatalkannya hanya karena nenek tidak setuju? Banyak tanya dan kejanggalan dalam cerita mereka. Kisah ini terlalu rumit. Entahlah, mama yang tak tahu mau berbicara apa saat itu hanya diam. Dia sangat terkejut. Bagaimanapun Maudy adalah calon menantu terbaiknya saat itu. Mungkin hingga kini. "Mama memikirkan apa?" Tanya Arga. "Jika mama memikirkan yang tidak-tidak itu tidak benar. Apapun yang ada dipikiran mama tentang aku dan nenek, buang jauh-jauh. Kami memang bersalah ma. Tapi tolong. Biarkan kami menyelesaikan permasalahan ini dengan mengakhirinya di waktu yang tepat." Arga menggenggam tangan mamanya. "Percayalah Ma, mungkin nenek memiliki alasan sendiri. Tapi dia sangat menyayangi Maudy. Dia tidak mungkin membuat Maudy celaka. Dan Arga. Arga adalah orang yang patutu disalahkan atas semua kejadian masa lalu. Mama, boleh benci Arga tapi jangan mengabaikan Arga seperti beberapa tahun lalu. Rasanya enggak enak Ma." Simpuhnya masih memegang kedua tangan mamanya. "Mama gak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Maudy. Tapi yang pasti mama merasa semua ini janggal. Tapi jika terbukti kamu bersalah lebih dari dulu. Mama berjanji gak akan memaafkan kamu. Dan kamu ingat, mama adalah orang pertama yang akan membuat kamu menderita." "Hai, tante" sapaan itu menghentikan percakapan antara ibu dan anak itu. "Oh, hai Tir. Mau ketemu Arga? Biar tante pulang dulu diantar Sean. Kamu di sini aja jaga nenek dulu. Mama pulang sebentar aja" tunjuknya pada Arga. "Ayo Sean," ajaknya. Setelah Sean dan mamanya berlalu Arga berdiri dari simpuhannya. "Kenapa?" Cecar Tirta karena tidak biasanya Arga seputus asa ini. Memang beberapa tahun ini dia semakin dingin tak tersentuh. Tapi tidak mungkin dia hampir menangis karena mamanya sebab dia tidak pernah melihat Arga menangis kecuali hari itu. Hari di mana dia harus merelakan semuanya dengan tindakan bodoh menurut Tirta. Dia tidak melihatnya tapi Sean memberi tahu segalanya kepadanya, tentang apa yang terjadi hari itu. "Nenek mencari Maudy" sendunya mengucapkan nama itu. "A.. pa? APA?" Teriaknya terlambat dengan apa yang sudah dia ucapkan. "Bagaimana bisa? Tidak mungkin" tidak percaya akan apa yang dikatakan Arga. Dia tidak mungkin salah dengar atau Arga yang sedang ngawur. Jelas-jelas nenek tahu Maudy sudah tak ada. Dan, apa penyebab nenek tiba-tiba ingin bertemu dengannya? Setelah semua yang terjadi? Tidak masuk akal, pikirnya. "Mama yang mengatakannya. Aku belum ada bertemu nenek. Dia masih istirahat. Sudah beberapa hari lalu dia sadar tapi belum bisa ditemui banyak orang. Hanya mama dan papa juga beberapa yang lain. Tapi baru tadi dia berbicara. Padahal semalam pun aku ke sini, tetapi dia sama sekali tak mau berbicara padaku. Dia bisa melihatku, hanya saja dia berpura-pura istirahat terus. Tadi dia berbicara pada mama bahwa dia ingin bertemu dengan Maudy atau menemuinya dimana pun dia berada. Gila, tidak bisa diterima akal sehat. Tapi memang itulah yang terjadi." Arga menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan agar mendinginkan pikiran serta hatinya yang sedang tak baik-baik saja. "Lalu bagaimana denganmu?" Pertanyaan Tirta membuatnya menoleh cepat, "apanya yang bagaimana?" Lanjutnya. "Apakah kau juga merindukannya? Maudy" pertanyaan itu tak bisa dijawabnya. Pertanyaan yang tak bisa ia berikan jawabannya. Dan memang seharusnya tak memiliki jawaban. Tapi dia tidak bisa mengatakan 'iya' dengan sangat lantang. Terbukti dia tidak percaya diri. Jika mengatakan 'tidak' maka dia akan berbohong. Kebohongannya sudah terlalu banyak. Dosanya bahkan tak terampuni. Jika dia menjadi wanita maka akan dia sumpahi si lelaki tak bertanggung jawab itu. Tapi dia sendiri lelaki. Dia tidak memiliki saudara perempuan selain sepupu, mama dan neneknya. Yang dekat dengannya hanya mama dan nenek. Lalu bagaimana dia akan menebus kesalahannya? Menebus kesalahan nenek? Dan kebohongannya kepada nenek? Memikirkan itu semua dia sampai terduduk di kursi tunggu rumah sakiy dengan mengusap kasar wajahnya. Terlihat sekali dia sedang kalut. Rambut yang acak-acakan, kemeja yang kusut dan wajah yang sendu menyembunyikan lukanya. Luka yang dia buat sendiri. Menorehkan sakitnya kepada orang--orang di sekitarnya. "Aku tidak tahu" pelan sekali dia menjawab mungkin tak terdengar namun, masih jelas di dengar dari ucapan bibirnya yang ragu dan sorot mata yang redup terlihat dari ucapannya yang tidak terdengar lantang seperti biasa Tirta mendengarnya. "Tapi aku bertemu dengan masa lalu itu semalam" ujarnya lagi, "Apa? Oh, ya? Di mana? Kapan?" Tanya beruntun Tirta. "Dan siapa mereka?" Cecarnya lagi "Di taman rumah sakit. Sahabat Maudy. Sky dan Casya" jelas Arga, "Bisakan kamu tanya satu-satu. Aku bingung mau menjawab yang mana. Pertanyaanmu seperti kau adalah seorang pengacara saja." Rutuknya, kesal dengan segala pertanyaan beruntun Tirta walau dia bertanya bukan mengintimidasi hanya saja pertanyaan itu mengingatkan lagi pertemuan tak sengaja semalam, ah, bukan tak sengaja. Hanya Arga yang melihat mereka tidak. "Ya ya ya. Siapa tadi katamu? Siki, sikai?" Ulangnya yang membuat Arga kesal setengah mati, "Bisakah kau mengingat nama orang bahkan ini belum sampai lima menit Tirta? Astaga aku tidak percaya memiliki teman sepertimu" sambil duduk di kursi tunggu dia merutuki teman gilanya itu. Tirta hanya terkekeh dan hampir saja terbahak melihat ekspresi Arga. Bagaimana dia dengan entengnya meluapkan kekesalannya, lihat aja wajahnya maka itu akan sangat lucu. Harusnya dari dulu dia bisa seperti ini. Kenapa baru sekarang? Wajah dingin itu melenyapkan segala godaan orang-orang padanya. Ckckck. "Duduklah Tirta, kau membuatku pusing saja. Seakan--akan kau sedang menyetrika padahal tidak sama sekali. Pekerjaanmu hanya memantau memerintah dan s**********n. Ckckckc, sampai kapan kau akan tetap seperti ini?" Arga tidak mau mengurusi temannya sebab dia lebih parah. Tapi, ya dia harus memberi tahu Tirta bahwa jangan seperti dirinya yang menyesal di kemudian hari. "Ya, aku mengerti. Hanya ingin sedikit mencari pelarian dari hal menyesakkan d**a. Tidak salah kan?" Katanya menaikkan sebelah alisnya bertanda bahwa dia sedang serius atau menantang Arga melakukan hal yang juga. "Dari pada di sini, nenek juga masih istirahat ayo ke kantin rumah sakit. Aku lapar. Setidaknya mencari roti mengisi perut lumayan daripada berdebat denganmu tentang s**********n wanita yang tidak ada habisnya" ujarnya menarik Tirta agar mengikuti dia. "Wah.. kau sudah mulai berani menarikku seperti kambing ya? Jika nanti ada yang melihat wajah gantengku dan kau memperlakukanku seperti ini pasti dia akan menjadi berang. Kau tidak tahu seberapa terkenalnya aku dikalangan para pria dewasa-nan-mapan-- ya? Kau bisa dibunuh para fansku Arga" tekannya dalam setiap kata yang diucapkan. "Aku tidak peduli ayo, duduk!" Perintahnya membuat Tirta meliriknya sinis. Dia akui memang dia kalah soal ketampanan dengan Arga, hanya sedikit. Ingat sedikit. Kalo b******n mereka tahulah siapa yang b******n. Sama-sama. Kekayaan? Sebanding. Bagaimana dia bisa telak oleh Arga? Dasar memang pria itu, laki-laki melow. Tirta duduk setengah hati selagi Arga memesankan makanan dia melirik ke kiri dan ke kanan takut ada yang mengenali walaupun dia yakin pasti beberapa dari mereka mengenalinya. Merapikan kemeja dan jaket kulitnya yang ditarik Arga dengan tidak elegannya. Dasar cecunguk, rutuknya. Arga kembali setelah memesan makanan. Dia melihat Tirta melirik sekitar, dia juga mengikuti setelah duduk. "Apa yang kau lakukan" tanyanya, "Tidak ada. Aku merasa terhina dengan penarikan tidak terhormat tadi. Jadi mencoba melirik apakah ada yang mengenaliku yang menjadi fans setiaku untuk - menghajar-- orang itu" tekannya sarkasme milirik sinis Arga. Arga hanya berpura-pura tidak memgerti dan mengangguk saja tanpa mau menjawab. Tiba-tiba suara seseorang memecahkan gendang telinganya, "Sky, duduk di sini saja" "Oke" Suara itu tepat di belakangnya, dia mengangkat wajahnyaa melihat Tirta yang juga sedang memperhatikannya dan orang yang dibelakang sana. "Ada apa,?" Tanya Tirta, pandangannya tertuju pada wanita di belakang Arga, Arga membalikkan badannya dan .... mereka lagi? Ngapain, batinnya. "Casya dan Sky" ujarnya sepelan mungkin yang masih bisa di dengar oleh Tirta. "Apa? Mereka?" Tirta menunjuk mereka yang segera ditepis oleh Arga. "Kita makan di tempat lain saja." Ujarnya lemah, "Tidak. Di sini saja." Tirta bersikeras. Bukan karena apa-apa. Jika memang Maudy adalah sahabat mereka dan berkaitan dengannya. Mereka pasti tahu kejadian itu. "Jangan sekarang Tirta. Aku mohon" Arga menggelengkan kepalanya. "Jadilah lelaki sejati Arga, kau tidak bisa terus-terusan mengelak dari mereka. Suatu saat pasti bertemu dengan sahabat-sahabat Maudy." Tegasnya, dia hanya mengatakan spontan dan ingin melihat wanita yang dua hari lalu tidak peduli dengan segala gombalannya. Ckckck.. lihat saja, katanya. Arga yang malas berdebat hanya pasrah berharap tidak bertemu mereka hari ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD