Harusnya hidup tetap berjalan, ‘kan? Tapi bagaimana dengan Arga? Hidupnya tak baik-baik saja. Hidup dalam rasa bersalah amatlah sangat menyiksa. Dia bahkan tak berhak bahagia setelah apa yang dilakukan kepada gadis kesayangannya itu. Masa lalu itu sangat mencekam, meremukkan tulangnya, menghancurkan segala hal dalam diri.
Karma yang paling sakit adalah penyesalan yang mendalam sampai sesak rasanya seperti tulang-tulang dicabut dari tubuh ini. Seperti pohon yang dipaksa cabut dari akarnya. Rasanya menyakitkan. Mematikan seperti virus yang meracuni setiap sendi dan sel dalam tubuhmu. Sakitnya perlahan dan semakin bertambah.
Dia memandangi pigura kecil di depannya yang berukuran hanya 4R. Cantik, wajah manis dan senyum tulus itu tak akan pernah dilihatnya lagi. Itu adalah gambar gadis kesayangannya saat masih Sekolah Menengah Pertama. Umurnya masih lima belas tahun. Dia masih mengingat setiap hal yang mereka lakukan bersama gadisnya.
“Kak, kita ngapain di sini?” tanya gadisnya. Ya, dia selalu menyebutnya dengan gadisnya, karena mereka masih remaja. Saat itu dia baru saja masuk SMA. Mengajak gadisnya ke taman dekat danau di pinggir hutan dekat kebun teh kakek. Sangat menyenangkan.
“Bermain. Di tepi danau itu ada batu-batu. Di tengah danau ada tempat menampung batu atau koin. Nanti kita lempar dan meminta sebuah permohonan. Kalau batu atau koinnya mengapung, permohonan kita akan dikabulkan. Jika tidak, kita coba lagi besok!” ujarnya berkelakar.
“Hahahaha.” Gadisnya tertawa terbahak. Dia saja tidak menyangka bisa mengatakan sebuah kebohongan. “Bagaimana bisa batu akan mengapung? Yang benar saja,” katanya dalam hati.
“Memangnya bisa, Kak? Jangan membohongiku!” Gadisnya merajuk.
“Uh, kamu lucu sekali, Gadis Kecil,” katanya menjawil hidung si gadis kecilnya.
Si gadis remaja itu hanya memberengut, tidak suka hidungnya dijawil. Dia tahu hidungnya tidak mancung seperti lelaki remaja di hadapannya ini.
“Aku sudah berumur 15 tahun, bukan anak kecil lagi!” rajuknya.
“Aku tidak mengatakan kamu anak kecil, tapi gadis kecil. Itu berbeda.” Dia menjawab sembari menggoda gadisnya.
“Uh, dasar perayu! Kamu cocok menjadi raja gombal. Suka sekali menggodaku,” ucapnya cemberut. Dia memanyunkan bibirnya menahan malu karena diusili oleh Arga. Wajahnya memerah, menahan degup jantung yang terus saja berdetak tak karuan.
“Mukamu merah, kenapa? Sakit?” tanya Arga, mencoba kembali menjahili gadis itu, berpura-pura tidak tahu.
“Ih, Kak Arga, udah dong!” ucapnya sambil melayangkan tangan, mencubit pinggang Arga. Dia tampak malu.
“Aw, kamu nakal juga, ya? Awas kamu!” katanya sambil berlari saling mengejar.
Arga tidak bisa menyembunyikan perasan bahagianya ketika gadis itu berhasil ditangkapnya. Dia tertawa terbahak melihat gadisnya menyerah, sambil memasang wajah galak yang dibuat-buat. Membuatnya semakin imut untuk dilihat.
Membayangkan masa lalu itu sungguh menyiksanya. Merindukan gadis itu di setiap tarikan nafasnya membuatnya sesak.
“Hahhhh.” Dia menghembuskan nafas secara kasar. Berharap bebannya berkurang setelahnya hanya sebuah pengalihan semata.
Sampai dering ponselnya membuyarkan segala lamunannya yang membuat dia hampir saja mengumpat jika bukan nama asisten sekaligus sahabatnya, Sean, yang memanggil.
“Halo, kenapa Sean?” To the point sekali dia. Memang dia selalu begitu, ‘kan? Bahkan kepada siapa saja. Jika Sean tidak terima, maka jangan menghubunginya. Lagi pula, Sean pasti sudah tahu kebiasaannya.
“Hai, Bro!” sapa orang di seberang yang jelas itu bukan suara Sean.
Dia merutuki Tirta yang menghubunginya menggunakan ponsel pintar Sean. Sebab dia tahu bahwa Arga tak akan menjawab panggilan Tirta yang menggila, mengajaknya ke club malam. Dasar pria play boy cap kadal, rutuknya. Tapi mau bagaimana lagi, dia sepupu jauh sekaligus temannya juga.
“Hem,” jawabnya.
“Ayo kita liburan!” Yang terdengar seperti sebuah perintah daripada ajakan.
“Aku sudah membantu Sean dalam pekerjaannya, maka dari itu, ayo kita liburan! Lagi pula kasihan Sean harus menjadi budakmu tanpa kau perhatikan, Arga!” ucapnya berapi-api.
Apa dia bilang? b***k? Heh, dia menggaji Sean dengan upah yang lumayan besar meskipun kadang pekerjaan berat juga dikerjakannya. Bahkan dia sering menambah gaji juga bonus untuk Sean. Astaga! Kenapa dia harus memiliki teman dengan mulut seperti perempuan?
“Aku yakin Sean tidak minta bantuanmu, Tirta. Lagi pula dia sudah kugaji dengan sepantasnya. Bahkan ditambah bonusnya juga,” sungut Arga kesal.
“Ya, tapi bagaimanapun dia membutuhkan hiburan, Arga. Bagaimana bisa dia menemukan jodohnya bila kau saja tidak mengizinkan dia untuk liburan? Ckckck. Ayolah, Arga!” pintanya dengan sedikit bujukan.
Arga mendesah berat. Dia tahu bahwa Sean takkan pernah meminta padanya. Justru dia yang selalu merepotkan Sean. Bahkan sampai pekerjaan yang harusnya bukan Sean yang mengerjakan pun, dia tetap mau mengerjakan tanpa membantah walau beberapa kali dia protes bila Arga terlalu memaksakan kehendak demi melupakan kenangan lama. Dia membantah bukan karena dia berani atau tidak berani. Dia hanya takut kadang Arga tidak pernah lelah melebihi kapasitasnya hanya untuk sebuah rasa penyesalan.
Dia perlu mempertimbangkan Sean. Ya, dari mereka memang hanya Sean yang santai dan tidak banyak tingkah, terlalu tenang untuk seorang pria yang jua banyak diminati para wanita.
“Halo Arga. Kau masih di sana?” Tirta kembali menyapa, mencairkan suasana.
“Ya, kemana kita pergi?” Akhirnya dia memutuskan akan liburan bersama teman-temannya.
“Bali. Ayo kita ke Bali. Aku rindu laut. Aku ingin bermain di tepi pantai melakukan banyak hal, Arga.”
“Kau bilang Sean yang butuh liburan, kenapa kau yang bersemangat sekali?” selidiknya, “jangan bilang kau sengaja mengambinghitamkan Sean dengan akal bulusmu itu untuk mencapai keinginanmu yang terpendam, Tirta?” tebaknya tepat sasaran. Dia tahu bahkan sangat paham Tirta juga khawatir padanya. Tapi, ah biarlah dia yang menanggung segalanya.
“Hem.” Dia hanya bergumam.
“Tidak, Arga. Jangan mencoba menjadi cenayang! Bahkan kau sama sekali tidak tahu aku memakai celana dalam atau tidak.”
“Astaga, aku tidak peduli denganmu atau celana dalammu itu, Tirta. Tidak semua orang berpikiran sama denganmu. Tapi yang pasti kami sudah tahu isi otakmu yang m***m itu. Sudah, aku mau istirahat. Besok kita berangkat,” putusnya secara sepihak.
“Astaga! Untung dia temanku. Jika tidak—” rutuk Tirta.
“Bagaimana?” tanya Sean mengangkat sebelah alisnya.
“Berhasil. Tapi bagaimana bisa kau bertahan dengannya, Sean? Bersahabat, bahkan bekerja dengannya? Aku rasa satu jam saja aku tidak mau bekerja dengan dia.” Sungut Tirta sambil berlalu mengambil air di lemari pendingin.
Ya mereka sedang berada di apartemen Sean. Soal Tirta yang membantu pekerjaan Sean itu benar, hanya saja dia duduk manis dan memerintah Key yang membantu, asistennya yang datar itu sama seperti Sean dan Arga.
“Ahhh, tidak asik sekali berteman dengan pria-pria berwajah datar,” pikirnya.
“Jangan mengatakan seperti Tirta, kau juga lebih parah dari pada Arga tahu!”
“Siapa bilang? Aku? ” Dia menunjuk dirinya sendiri dan mendapat anggukan dari Sean. Dia pun kesal.
“Ah, hatiku sakit sekali, Sean. Kau mengatakannya.” Dia memegang d**a, berpura-pura sakit hati.
“Sungguh alay sekali!” tekan Sean yang membuat Kay tertawa , tetapi hanya sejenak sebab setelahnya Tirta melototinya.
“Uhhhh, kau tidak asyik,” katanya.
“Jangan membuatku semakin jijik, Tirta!” memberi peringatan tajam.
“Kau jika ingin tertawa, tidak usah malu-malu, Kay,” ucap Sean.
“Terbahaklah sepuasmu Kay!” ucap Tirta kesal.
“Tidak usah takut. Dia takkan berani macam-macam.” Sean menepuk pundak Kay.
Sedangkan di sebuah rumah sakit, Fathur dan Nuril baru saja akan pulang setelah perdebatan panjang tanpa melihat di mana mereka berada.
“Aku ingin melihat kalian terus seperti ini.” Maudy berucap tiba-tiba.
“Seperti apa maksudmu? Hei, kami berdebat setiap hari dan kau senang? Astaga, Maudy. Aku bisa gila jika terus begini. Dia itu keras kepala sekali, sama seperti Ar—” Dia menjeda kalimatnya, teringat bahwa Maudy tak mengingat tentang Arga. Ah y,a dia tak seharusnya membuka luka lama. Biarkan dulu Maudy dengan dunianya yang sekarang.
Fathur yang mengerti pun merangkul pundak tunangannya.
“Maksudnya Arkan. Kau tahu kan? Sepupuku. Astaga, dia juga sama sepertiku, tampan dan digilai banyak wanita,” katanya sambil mengerling menggoda.
Niatnya memang menggoda saja, tidak tahunya Nuril justru terpancing dan ngambek.
“Oh, iya dia. Apa kau bilang? Digilai para wanita? Dan kau senang? Oh, aku baru tahu sifat burukmu itu, Fathur, ckckck. Aku tidak mau pre-wedd di Bali!” gertaknya.
“Eh, eh, apa maksudmu? Kamu membatalkan menikah denganku? Oh, tidak bisa!” ucapnya sambil menahan sebelah lengan Nuril.
Maudy benar-benar tidak bisa menahan gejolak untuk tertawa lepas yang membuat kedua pasang mata menoleh ke arahnya.
“Duh, maaf ya, aku ngga bisa nahan ketawa lihat kalian. Jadi ngga sabar keluar dari rumah sakit dan lihat kalian menikah, tapi jadi ngga bisa bantuin pas prewed ya,” kata Maudy.
“Tenang aja, Dy, ngga usah dipikirin. Yang penting kamu sembuh dulu. Aku juga ngga bakalan nikah kalau kamu belum sembuh.” Fathur berusaha menenangkan Maudy. Nuril tahu penderitaan sahabat sekaligus sepupunya itu dulu.
“Iya, kamu tenang aja. Dia akan aman bersamaku. Dan kamu harus sembuh. Nuril juga selama ini menunda karena nungguin kamu sadar. Dia yakin kamu akan sembuh,” ucap Fathur dengan senyum manis yang meluluhkan orang-orang di sekitarnya. Senyuman tulus dari kakak untuk adiknya. Ya, dia sudah menganggap Maudy adalah adiknya sendiri.
“Ya sudah. Jangan sedih-sedih lagi. Yang penting aku sudah sadar dan mulai sembuh. Kan ini menjelang hari bahagia kalian. Jangan terlalu memikirkan aku ya!” pintanya.
Dia tidak enak ketika sahabat dan sepupunya memikirkan dia yang notabene sakit dan melupakan hari bahagia mereka yang ditunggu-tunggu.
“Ya, Dy, tentu.” Nuril memeluk Maudy.
“Ya sudah, besok kami akan ke Bali. Kami harus pulang sekarang. Mungkin Casya, Sky, atau tante akan datang sebentar lagi. Kamu tidak apa 'kan sebentar sendirian?”
Dia bertanya karena tidak enak meninggalkan Maudy sendirian di kamar rumah sakit. Maudy hanya mengangguk.
“Santai saja. Aku berani dan biasa aja kok. Sudah sana.”
“Ya kalau begitu, istirahatlah, Dy,” ujar Fathur.
Setelah berpamitan mereka keluar dari ruangan Maudy. Maudy sendirian memikirkan banyak hal. Sedangkan Nuril dan Fathur masih berdebat.
***