#Teman Lama
***
Fathur dan Nuril meninggalkan Maudy penuh dengan tanya. Maudy tahu dari yang mereka bicarakan pasti menyangkut tentang masa lalu yang mereka coba sembunyikan darinya.
Tak mau berpikir terlalu lama, akhirnya Maudy memutuskan untuk istirahat. Lebih baik dia tidur untuk menyegarkan pikirannya yang melambung entah kemana.
Sedangkan itu, Fathur dan Nuril masih berdebat tentang prewed mereka yang akan jadi atau tidak. Ckckck.. pasangan ini sungguh lucu. Mau prewed masa harus bilang mau dibatalkan atau tidak. Memang mereka berdua sebenarnya tidaklah niat, hanya menguji seberapa kenal dengan pasangan. Masihkah rasa cinta yang menggebu tetap ada nantinya sampai mereka menjadi kakek dan nenek?
"Kamu yakin Maudy baik-baik saja saat ini?" Fathur memulai pertanyaan.
"Aku sih gak yakin. Ya, tapi perlu dicoba bahwa dia hidup lebih baik dari ini," ujar Nuril.
"Kamu kenapa gak yakin gitu sih?"
“Aku sih—" Dia menggantung ucapannya. "Aku gak tau ya, Sayang. Yang pasti, aku punya feeling di mana dia bakalan ketemu sama Arga.”
Nuril menghembuskan nafasnya kasar.
“Bisa ngga, kita ngga usah bahas ini? Aku malas banget, Tur! Lagian kan belum tentu kekhawatiran kamu jadi kenyataan sih," ucapnya dengan kesal.
"Aku tahu kamu gak suka sama Arga, tapi bagaimanapun dia temanku. Pernah dekat denganku walaupun pernah menyakiti sahabatku yang lain. Setidaknya dia tidak pernah bersikap pura-pura selama ini."
"Kamu bilang tidak pernah? Dia sudah berpura-pura selama hidupnya. Berpura-pura mengabaikan rasa sakit Maudy dan malu keluarga kami. Seandainya keluargamu yang ada di posisi itu, pasti juga ngga akan bisa bersikap biasa saja begini." Nuril benar-benar kesal. Hampir saja mengeluarkan u*****n. Untungnya lobi rumah sakit ini tidak begitu ramai dan orang-orang tidak perlu melihat perdebatan antara pasangan itu malam-malam begini.
Ya, mereka sudah sampai lobi, tidak sadar bahwa mereka telah banyak memperdebatkan hal yang seharusnya tidak dibahas di area umum, karena yang dibahas adalah sebuah rahasia keluarga.
"Kamu ngga pernah ngerasain keluargamu di posisi begini, dibatalkan dan tidak dihargai secara sepihak hanya karena hal yang tidak pasti. Dihina dan dicaci maki karena tidak setara denganmu." Nuril masih berbicara dengan nafas yang tersengal karena dia baru saja berteriak walau tidak cukup menguras segala emosi yang selama ini bersarang di hatinya. Mengeluarkan segala unek-unek yang menghantui karena melihat sepupunya hampir meregang nyawa.
"Kamu tenang dulu, ya. Aku ngga bilang Arga benar. Kenapa sih, kita harus selalu bertengkar karena masalah ini?” Fathur mengangkat tangannya agar Nuril berhenti dulu berbicara.
"Jangan sampai ini menyakiti kamu, walaupun aku tahu, kamu pasti merasakan sakitnya. Tapi tidak baik untuk melampiaskannya kepada satu pihak saja. Kita kan gak tahu apa Maudy pernah membuat atau tidak. Lagian kan bukan Arga yang buat Maudy koma,” tutur Fathur menjelaskan, mencoba membuat kekasihnya tenang.
"Aku tahu kamu masih ngga terima atas semua yang terjadi. Tapi mungkin inilah yang terbaik buat kita semua. Kalau ngga ada kejadian tiga setengah tahun lalu, semua ngga akan damai seperti ini. Kamu jangan jadikan itu ajang pembalasan dendam. Yang salah Arga tapi bukan Arga yang buat Maudy kehilangan ingatannya."
"Tapi gara-gara Arga, dia jadi hilang kendali atas dirinya. Sampai harus bunuh diri. Kecelakaan itu membuatnya hilang ingatan. Walau aku senang dia tidak mengingat temanmu itu!" katanya sambil menunjuk Fathur lalu berjalan menjauh menuju mobil yang terpakir di depan rumah sakit.
"Ya, aku paham." Fathur merangkul pundak Nuril.
"Tapi tetap jadi kan prewed di Balinya?" Dia mencoba menggoda, menaik-turunkan sebelah alisnya.
"Sekalipun aku bilang ngga, kamu pasti maksa," sungutnya memasuki mobil. Kemudian Fathur memasuki pintu kemudi.
“Ya harus dong! Aku maksa! Udah berat juga perjuangannya masa mau disia-siain.”
Dia sudah berjuang banyak masa mau dilepas begitu saja? Dia akhirnya memaksa tunangannya dengan cara halus.
Fathur pun bingung, teringat perkataan Nuril tadi, apa yang menyebabkan Arga membatalkannya secara sepihak? Yang dia dengar, bahwa nenek juga menolak saat itu sampai mengakibatkan nenek Maudy sakit mendengarnya. Ah, dia bingung dan benar-benar tidak paham atas apa yang dipikirkan sahabatnya itu.
***
"Jadi kapan kita ke Bali?" tanya Arga.
"Besok pagi kata Tirta," jawab Sean. Dia membuka lemari pendingin dan memberikan sebotol minuman kepadanya.
"Dasar, anak itu selalu saja harus dituruti apa katanya," rutuk Arga, "lalu ngapain juga aku di sini?" Dia semakin kesal saja. Sean mengedikkan bahunya tanda bodo amat.
"Tirta menyuruh kita semua berkumpul di sini," jawabnya lagi, "entah untuk apa, aku juga tidak terlalu tahu. Dan tidak mau tahu."
Sean pergi ke sofa depan televisi menyala dan membaringkan tubuhnya di sana. Dia butuh istirahat.
Arga heran, kenapa dia bisa berteman dengan orang yang datar dan setenang itu dalam bersikap. Tapi kadang menguntungkan bertema dengan Sean yang datar serta dingin dari pada Tirta yang kreak dan selalu mau tahu serta suka menggoda. Intinya dia bersyukur karena memiliki mereka yang benar-benar mengerti walaupun kadang lari dari konteksnya.
"Hai, Guys. Tirta coming! Kalian pasti rindu aku, ‘kan? Aku rindu banget kamu, Ga, dan aku ri-ndu—" Dia tidak jadi melanjutkan, melihat Sean yang melotot padanya.
Arga kembali mencabut kata-katanya. Ingin mengumpati Tirta yang kadang tidak tahu tempat di mana harus menggila.
"Bisa gak lo datang santai dan tenang aja? Gak usah pecicilan kaya anak SMA yang lagi ngejar gebetan!”
"Gak bisa! Gue udah nyiapin tiket kalian dan kebutuhan di sana. Ini liburan, Guys, kalian ngga bawa kerjaan, ‘kan? Harusnya sih enggak, kan gue udah bilang gak ada yang namanya pekerjaan pas lagi di sana,” jelasnya panjang lebar. "Dan kenapa kalian masih santai? Kita ngga siap-siap gitu? Buat prepare?"
"Gak usah kaya anak SD yang baru mau pakai baju seragam tapi ga bisa, deh! Lo bisa beli semua di sana. Lagian gue ngga yakin lu ngga punya pakaian. Secara kan ada apartemen dan villa lo di sana. Okelah, di villa ngga bakalan ada karena hanya jadi tempat ngabisin malam dengan gairah yang luar biasa sampai perempuan di sana juga ngga bisa keluar. Tapi apartemen, gue ngga yakin gak ada itu pakaian. Atau lo bisa beli? Beli pakaian beberapa pasang ngga akan buat lo jatuh miskin dan gak bisa beli nasi sekotak lagi, ‘kan?" Sean berhenti berbicara. Dia pun heran kenapa bisa sepanjang itu dia berbicara karena selama ini terkenal dengan datar dan pendiam.
Arga masih melongo, begitu juga dengan Tirta. Tapi tidak lama sebab dia langsung kembali menggoda Sean.
"Woahhhhh, benarkah ini Sean sahabatku? Aku tidak menyangka dia bisa bicara sepanjang itu," katanya. Hampir saja dia melayangkan cubitan gemas kepada Sean jika tidak ditepis tangannya oleh Sean yang membuatnya semakin gencar menjahili sahabatnya itu.
"Ah, aku sakit hati, Kaka. Kenapa kau sangat tega padaku? Aku hanya gemas." Sembari memasang wajah sok imut yang membuat Arga hampir muntah dan ingin membenturkan kepala Tirta pada tembok atau memukulnya dengan remote tv.
Sean hanya diam berwajah datar. Lalu menutup matanya.
"Kunci pintunya! Aku sebentar lagi akan pergi ke kamar. Kau boleh tidur di kamar tamu, Arga." Dia memang biasa memanggil Arga jika di luar pekerjaan. Begitulah mereka.
"Ah, aku tidak ditanya? Aku tidur dmereka, Kaka?" Tirta masih saja berakting seolah-olah tidak dianggap.
"Jangan seperti anak kehilangan induknya, Tirta. Kau bisa tidur di manapun. Lagi pula, biasanya kau beralaskan karpet, asal gairahmu terpenuhi juga kau mau,” ucap Sean.
Tirta mendengus mendengar perkataan Sean.
"Ckckck. Kenapa lagi-lagi aku merasa kau punya dendam pribadi denganku, Sean?" tanyanya penuh selidik.
"Pulang dari Bali kita bahas," ujarnya dan menutup mata.
Tinggalah Tirta sendiri ditemani sepi. Masa dia seperti jomblo akut atau disebut “jones, jomblo ngenes”
“Ah, mending stalking sosial media Casya saja,” pikirnya, tersenyum sendiri. Dan semua itu tak luput dari perhatian Sean. Arga? Jangan ditanya. Dia akan beristirahat atau tidur secukupnya. Temannya itu adalah satu-satunya manusia yang harus tidur paling tidak enam jam perhari. Menyebalkan.
***
"Kan aku sudah bilang, tidak usah foto di pantai pas siang hari. Cukup pagi dan sore saja. Siang kita bisa jalan-jalan atau di hotel saja makan atau apa pun," ujar Fathur.
"Kamu gimana, sih? Kita udah di Bali dan kamu mau kita hanya di hotel dan restoran saja. Gak bisa dong! Enak aja mau berdiam diri doang,” batin Nuril.
"Kita bisa pergi ke mana aja. Panas-panasan gini juga seru, kok. Tadi karena menyengat aja mataharinya. Karena sudah mulai siang. Kamu sih, kita kan janjian jam delapan. Untung fotographernya baik. Malah molor sampe jam sepuluh. Ya, otomatis kita pasti kena panas terik yang jamnya siang. Gimana sih!" gerutunya pada sang kekasih yang hanya nyengir tanpa rasa bersalah.
"Lagian si koko itu ngga apa-apa, kok,” dalihnya agar tak semakin lama perdebatan ini.
"Apa kamu bilang? Iya iyalah, kan kamu bayar dia mahal."
"Nah, itu dia," katanya sembari memainkan rambut kekasihnya.
"Tapi kan sama aja, Sayang. Kamu buang-buang uang karena memang kesalahanmu. Harusnya bisa ngga nambah biaya. Jadi tambah. Ah, udahlah." Nuril melepaskan diri dari sang kekasih dan duduk di kursi kayu sambil menikmati es kelapa muda.
Tak ada gunanya berdebat dengan Fathur yang selalu saja punya alasan dan argumen sendiri tentang apa pun. Justru jika semakin dilawan, dia akan memaksa dan menunjukkan kekuasannya. Dulu dia begitu tenang sebelum menjadi pacar. Tapi setelah sudah, posesif dan pemaksa itulah dia. Tapi itu juga yang membuat Nuril jatuh cinta. Seberapapun arogansinya dia selalu nurut dan mau mengalah sama Nuril.
***
"Harusnya kita pakai jet pribadi. Biar gak kena delay. Masa iya berangkat pagi malah jadi menjelang siang.” Dia menggerutu tidak jelas. Bukan tidak jelas, hanya saja kedua temannya tidak mempersalahkan keberangkatan yang ditunda selama hampir dua jam. Harusnya jam delapan menjadi pukul sembilan lebih empat puluh lima menit.
"Harusnya. Tapi sudah, ya biarin ajalah. Kita juga liburan bukan mau bekerja." Arga mencoba santai.
"Tapi kan—” Melihat Sean mengangkat tangannya, akhirnya Tirta berhenti bicara.
"Lagian bagus, jadi kita punya waktu istirahat dan sore bisa jalan-jalan. Karena kalau kecepetan ke sini, aku takut tujuannya bukan liburan lagi. Tapi menghabiskan waktu untuk b******a," ujarnya.
"Wah, aku baru tahu, ternyata mulutmu lemes ya, Se.” Tirta kesal.
Sean mendengus malas karena harus dipanggil ‘Se’, tapi itulah Tirta, semakin dilarang akan semakin menjadi.
Sedangkan Arga hanya santai melihat-lihat dan berjalan di tepi pantai, tidak memedulikan kedua temannya sedang berdebat. Dia saja malu melihat mereka. Tapi itulah menyenangkannya memiliki teman seperti mereka.
Sebenarnya dia letih,tapi mau bagaimana lagi, perjalanan yang harusnya sebentar jadi agak lama karena ditunda. Dan baru saja sampai mereka hanya beristirahat tidak lebih sepuluh menit dan tidak ada kerjaan, lebih baik keluar jalan-jalan.
Tapi baru beberapa langkah dia menjauh dari temannya, nasib memang tak berpihak padanya. Di sana dia melihat teman sekaligus sahabatnya yang beberapa tahun ini sudah lama tidak dilihatnya. Dia rindu, ya pasti.
Fathur berjalan membawa dua buah kelapa tapi dia tidak tahu dengan siapa Fathur di sini. Arga ingin menemui Fathur, tapi dia belum siap. Akankah mereka bisa bercerita di sini?
Dia akhirnya memutuskan untuk mengikuti arah Fathur berjalan, tapi suara itu menghentikannya. "Arga, sini!”
Ah, sial dia melupakan kedua temannya. Akhirnya karena tidak ingin membuat mereka khawatir, dia pun kembali bersama mereka, yang tidak disadari Arga adalah Sean yang menatapnya memperhatikan Fathur. Yang meyakini bahwa lelaki itu adalah teman masa lalunya.
***