Episode Ketujuh

1764 Words
#Pertemuan Tak Terduga *** Entah kebetulan atau tidak, sebuah ketidaksengajaan yang disebut takdir oleh yang Maha Kuasa, sekilas Fathur melihat Arga di sana. Di tepi pantai sendirian. Dilihat dari pakaiannya seperti bukan seseorang yang sedang berlibur, hanya melepas penat versi seorang Arga. Mereka kenal sudah lama, jadi bukan tidak mungkin dia mengerti tentang Arga walau sedikit. Beruntungnya mungkin saja Arga tidak melihatnya. Hanya ketika dia ingin menghampiri, Arga sudah menghilang dan berfikir sepertinya dia bersama teman-temannya. "Kamu liatin apa, sih?" Nuril datang dengan membawa dua bungkus harum manis. "Oh? Gak apa-apa kok, Sayang. Salah lihat aja deh kakayanya.Fathur mencoba berdalih. "Yuk kita kembali aja ke hotel!" ajaknya. *** "Gue pikir dengan ke Bali, gue bisa lihat yang seger-seger. Eh, ternyata kagak," ucap Tirta kecewa. "Gue pikir dengan ngajak kalian itu, gue bisa menemukan kesenangan, ternyata malah gue yang gabut di sini.” "Ya pergi aja lo ke sana. Banyak motel or club malam kan di sini?" kata Sean frontal. "Ih, Kaka Sean, gue seakan-akan otak m***m sendiri deh. Gue ngg terima!" ujar Tirta. "Ayo, nanti malam kita party. Gue yakin kalian bakalan ketagihan kalau udah mulai." Tirta tidak mau menyerah, terus saja dia merayu Arga dan Sean. "Ga, harusnya lo itu udah mikirin masa depan. Menikah dan punya anak. Ya sih, semua orang punya masa lalu, tapi kan hidup lo terus berjalan. Life must go on, dong!" jelasnya. "Gue tahu, lo masih merasa bersalah. Tapi bagaimanapun, Maudy udah ngga ada. Kita ngga bisa ngarepin yang udah ngga ada buat kita temui lagi. Mau meminta seribu maaf pun, lo ngga bakalan bisa ketemu dia lagi. So, what? Lo harus nunggu berapa lama lagi?" Tirta mulai memberi nasehat. Pernyataan Tirta sebenarnya sudah lama masuk dalam relung hatinya. Dia harus bagaimana? Tapi untuk melupakan seseorang yang kau cintai dengan sepenuh hati itu rasanya sulit. Apalagi saat dia pergi untuk selamanya karena kesalahanmu walaupun bukan kau yang melakukannya, setidaknya karenamu dia pergi. Itu rasanya sebuah penyesalan yang tidak akan pernah ada habisnya. “Lo bicara kaya gitu, kaya udah pernah ngalamin aja. Lagian lo ngga tahu rasanya, Ta. Mungkin lo pernah, tapi meninggalkan sebuah penyesalan akibat perbuatan lo membuat seseorang itu pergi meninggalkan lo selamanya tanpa bisa bertemu dan melihatnya lagi, itu adalah karma yang paling dalam menurut gue," ucap Sean. "Lagi pula, lo bilang Arga harusnya udah move on? Lo sendiri gimana?" Sean melemparkan yang telak mengenai Tirta. "Jangan nyuruh orang nikah sembanrangan! Karena ketika lo suka sama dia, ngga berarti lo harus nikahi dia. Pernikahan itu bukan mainan kaya lo ganti pasangan atau sekedar melampiaskan nafsu dengan sekali pakai." "Bahasa lo apaan dah, Yan, sekali pakai. Emang pakaian?" Arga merasa canggung mendengarnya. "Ya itu perumpaan, Ga. Lo jangan nyuruh Arga buat move on dan nikah. Sekarang lo? Gue tanya udah punya pasangan belom? Jangan bilang lo menganut free s*x without married. Dan asal bisa celup di mana aja yang menghasilkan keturunan. Hati-hati! Karma berlaku, Ta" "Gue—" Perkataan Tirta terpotong oleh Sean, karena dia tiba-tiba mengangkat tangannya, menyela. "Gue tahu kita ngga ada yang sempurna. Dosa kita di mana-mana dan udah banyak. Tapi gue berpikir, kita udah umur berapa? Gak harus kan kita selalu nakal? Oke, boleh, tapi kan setidaknya ketika lo udah memikirkan masa depan itu berarti udah matang dengan segala resikonya. Memikirkan masa depan dengan matang berarti harus terima konsekuensi yang ada," kata Sean menerangkan. "Kita engga tahu gimana kehidupan Maudy dan Arga sebelum ini. Gue hanya dengar-dengar aja. Gue juga cuma lihat fotonya Maudy. Jadi ngga bisa disimpulkan gitu aja. Dan lo, Ga—" Dia memotong ucapannya, meminum jus, lalu melanjutkan, "Sampai kapan mau kaya gini? Kalau lo belum siap terus, engga akan pernah ada waktu siap kalau kita ngga mau menyelesaikannya. Maudy udahgngga ada, dan lo belum minta maaf sama keluarganya. Saat itu yang lo lakuin langsung pergi setelah kejadian berlangsung. Belum ke makamnya buat minta maaf, ‘kan? Harusnya lo tahu dan mampu atas konsekuensi yang lo dapat dari perbuatan itu." "Kita juga belum pernah ngobrol heart to heart sih sebenarnya. Jadi rancu akan beberapa hal yang ngga sepenuhnya benar,” terang Sean. "Gue—" Kalimat itu terpotong mana kala matanya menangkap seseorang di sana. Dia mengikuti arah berjalan orang itu sampai tanpa sadar dia ikut berjalan yang membuat kedua temannya heran. “Kenapa, Ga?" Tirta bertanya penasaran. "Ah, nggak. Gue seperti melihat teman lama," ujarnya. Tapi gak mungkin Fathur ke sini, pikirnya. Cuma memang bisa jadi, mengingat temannya itu juga punya bisnis dan dia juga cukup terkenal. "Oh, ya, gue sama Tirta ada kerjaan sedikit dan lo renungin aja dulu. Sebenarnya ngga sepenuhnya yang dibilang Tirta salah, cuma cara dia menyampaikannya ngga pas aja. Lo tau kan, dia gimana? Raja-m***m-Akut.” Sean terkekeh karena ucapannya sendiri. "Eh sendiri, lo!" Tirta menyikut perut Sean, membuatnya mengaduh dan saling pandang lalu tertawa terbahak bersama. "Ya udah, gue pergi dulu sebentar sama Sean. Lu anggap aja lagi milih-milih cewe, mana yang buat lo tertarik kali aja nyangkut." Sean menepuk pundak Arga dan meninggalkannya sendirian. *** Setelah kedua temannya pergi, tinggalah Arga sendirian. Kembali dia merasa sepi dan benar-benar kesepian. Dulu dia tidak pernah merasa kesepian walaupun dia sendiri yang kadang merasa sepi. Sebab sepi bukan berarti dia kesepian. Tapi sekarang dia benar-benar kesepian. Berjalan sendirian di tengah banyaknya orang di pantai ini sedang liburan, tidak menjadikan perasaannya yang hampa semakin membaik. Banyak pemandangan yang indah dari laut sampai manusia yang bermain, berpacaran, serta bertengkar. Dia memperhatikan sampai tidak sadar bahwa seseorang berjalan mendekat ke arahnya dan menepuk pundaknya, membuat dia terlonjak kaget karena benar-benar tidak fokus. "Hai, apa kabar? Gue pikir salah orang, ternyata engga." Fathur berusaha mencairkan suasana karena dia tahu mereka sama-sama canggung. "Ah, ya, ha-hay!"Arga tergagap. Dia bingung dan sekaligus canggung. Jujur otak pintarnya tidak bisa digunakan saat ini. Arga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ya, ini gue. Ya beginilah gue. Lo sendiri gimana?" tanyanya. "Em, baik. Ngga ada yang lebih baik dari ini sebelumnya. Mugkin nanti bisa lebih baik kalau gue udah menikah," ujarnya sambil tersenyum. "Ah, iya. Lu udah mau married?" tanya Arga penasaran. Bagaimana pun, dia penasaran dan ingin tahu tentang teman lamanya yang selalu ada untuknya dulu. Walau pernah merasa kecewa karena perbuatannya sendiri. "Ya, sebentar lagi. Datang ya!” pintanya. "Dan lo sendiri gimana?" "Gue? Gue ya gini. Emang gimana?" tanya Arga sambil tersenyum sendu. "Lo ke mana selama ini?” Fathur balik bertanya. "Gue ke Jerman. Lanjut S2 dan hampir dua tahun gue lanjut ke AS. Kalau lo sendiri gemana?” "Gue ke London. Baru balik tahun ini. Baru setahun,” jawab Fathur. "Dan oh iya, lo mau nikah sama siapa? Liburan ke sini?" "Gue sama Nuril. Rencana mau prewed. Makanya gue suruh lo datang." "Oh, apa?! Nu-ril? A-apa dia?” Dia benar-benar tidak menyangka. "Iya. Yang lo pikirkan itu benar, Ga, sepupu Maudy." Fathur bisa melihat wajah mendung seorang Arga. "Lo sendiri gimana? Ada yang belum lo sampikan ke keluarga Maudy?" tanya Fathur. "Banyak, tapi sayangnya gue belom siap. Gue ngga tahu harus bilang apa," ujarnya. "Oh, ya, gimana Salsa?" tanya Fathur. Dia tahu itu adalah hal sensitif bagi Arga, tapi mau bagaimanapun, Fathur ingin melihat sisi seorang Arga agar dia bisa bertindak. "Gue ngga tahu dia di mana. Dan ngga mau tahu. Yang ngurus dia saat itu papa dan orang-orang kepercayaan kakek yang bekerja untuk nenek," jelasnya. "Nenek sehat kan, Ga? Tante dan om juga?" "Baik, hanya saja—“ Arga menjeda kalimatnya, ingin melihat reaksi Fathur. Fathur yang tahu ucapan itu belum siap dikeluarkan, hanya menaikkan sebelah alisnya, menandakan menunggu ucapan itu dengan penasaran. "Gue kesepian," ujar Arga yang kemudian terkekeh pelan. Menyedihkan. Fathur sebenarnya kasihan melihat kondisi Arga, tapi mau bagaimana lagi. "Gue mau nanya satu hal, Ga, boleh?" "Apa?" "Jika seandainya, huft.” Fathur menarik napas dan membuangnya perlahan seolah kata yang sudah di ujung lidah sangat berat untuk disampaikan. "Jika seandainya, Maudy masih hidup, lo mau ketemu dia? Apa yang akan lo lakuin?" Akhirnya kalimat itu keluar juga. "APA?!" Serentak kedua suara iu menyahut. Sedangkan Arga hanya diam tak tahu harus berbuat apa. Dia benar-benar menyesal. "Gu-gue, gue ngga tahu harus gimana. Tapi dia benar-benar udah enggak ada,” ujarnya sendu. "Gue mau kasih tahu sesuatu tapi sepertinya belum saatnya, Ga. Setahun atau dua tahun lagi mungkin. Lo bisa gue kasih tahu segala hal. Tapi sekarang belum saatnya. Karena lo belum bisa milih hati lo. Hati lo saat ini masih bimbang. Oh ya, gue akan kasih undangannya buat kalian nanti," ujarnya tersenyum. "Ah ya, Thur, ini Tirta, sepupu jauh gue dan sahabat gue. Ini Sean juga sahabat dan anak pengacara di keluarga gue turun-temurun." Arga memperkenalkan mereka satu-satu. Mereka bertiga saling bersalaman. "Gue mau ngajak lo untuk acara nanti malam, berbequan, hanya untuk merayakan sejenak. Tapi kayanya kondisi ngga bisa kondusif. Lo tau kan Nuril? Dia sepupu Maudy dan pasti masih marah sama lo. Mungkin nanti malam setelah acara gue selesai, gue bisa berbagi cerita sama lo dan kalian berdua." Sembari menunjuk kepada kedua teman Arga. Dan dia benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengajak mereka. Setelah meminta kontak ponsel Arga, dia berlalu dari sana. Takut Nuril mencari dan melihatnya dengan Arga, bisa memancing keributan. Dan dia tidak mau, sebab dua-duanya penting baginya. *** "Siapa?" tanya Tirta sambil menepuk pundak Arga. "Apanya?" tanya Arga balik. "Gue gak merasa lo terbentur dan hilang ingatan setelah ketemu kawan lama, dan sekarang gue yang pengen nyeburin lo ke laut biar otak lo bersih dan jernih, deh." Tirta sengaja menyarkas kalimatnya. Sementara Sean hanya terkekeh. "Gue rasa lo masih pintar sih, Ga. Jadi kita ngga perlu jelasin, deh," ujarnya menambahi. "Dia siapa? Laki-laki yang lo panggil Thur tadi?” tanya Sean. "Hatur? Katur? Kok Thur, sih namanya?" cerca Tirta, membuat Sean memutar bola mata malas. Arga sendiri heran, Tirta ramah dan slengean, tapi dia bisa lupa nama cewek yang baru lima menit lalu menyapa dan berkenalan dengannya. Ckckckck. "Fathur," jawabnya. "Sahabat gue dari SMP dan kenal Maudy sama Nuril di sana," ujarnya menambahkan. "Nuril siapa? Cantik?" serbu Tirta yang membuat mereka berdua malas. "Lo kalau ada karma menyakitkan, gue pengen lo duluan yang ngerasai biar T-O-B-A-T," seru Sean memberi penekanan pada kata tobat. "Yang ada bukan tobat, tomat iya," jawab Arga membuat mereka terkekeh menertawakan Tirta yang mendengus sinis. "Fathur sahabat gue, tunangan Nuril sepupu Maudy," jelasnya. "Ohhh." Mereka berdua kompak seperti Upin-Ipin yang membuat Arga terkekeh. "Ha? Apa?" tanya Tirta tiba-tiba. "Serius lo?" sambung Sean. "Nggak nyangka, ya, takdir kadang lucu. Lo ke sini liburan, tapi malah bertemu dengan orang di masa lalu," kata Sean sambil terkekeh. Tirta dan Arga hanya mengangguk melanjutkan hari ini dengan petualangan di dalam air. Sebab tadi Sean ingin surving katanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD