#Kebencian itu Nyata
Liburan kali ini hanya sebatas mengalihkan perhatian dari masa lalu, tapi dia tak bisa menikmatinya sedikit pun. Walau dia tak membawa serta pekerjaan ke sini.
***
“Kamu harus membatalkan pernikahan itu!” Suara itu jelas sekali terdengar.
Maudy baru saja terbangun setelah mimpi itu menghantui kembali. Beberapa hari lalu, dia memimpikan seorang lelaki yang mengatakan hal yang sama dengan suasana berbeda. Tapi tetap saja, itu seakan nyata.
Kenapa setiap dia bermimpi seolah mimpi itu nyata terjadi di depan matanya? Beberapa waktu lalu wanita tua berambut putih, lalu lelaki muda, sepertinya seseorang dari masa lalunya. Dia masih muda, tapi anehnya, dia tidak pernah mengenali wajahnya karena selalu saja tertutup atau tidak menghadap kepadanya.
Dia ingin bertanya pada mamanya, tapi yakinlah bahwa mama tidak akan pernah menjawab pertanyaannya. Entah kenapa seperti mereka menyembunyikan sesuatu darinya.
Pintu ruangan Maudy dibuka.
“Kamu sendiri lagi malam ini?” Sky datang dengan membawa buah-buahan.
“Maaf ya, Casya sepertinya tidak bisa datang malam ini. Tapi dia merencanakan besok akan datang bersama neneknya,” jelasnya.
“Tidak apa-apa.” Maudy tersenyum. “Oh, ya, aku mau bertanya sesuatu.” Maudy tampak serius dengan perkataannya sehingga membuat Sky mengernyit, menunggu ucapan selanjutnya yang akan terlontar.
“Seberapa kenal kamu denganku?” Pertanyaan Maudy seakan menyadarkan Sky akan suatu hal bahwa dia selalu dihantui rasa penasaran.
“Kenal lah, kan kamu salah satu sahabat terbaikku,” ucap Sky mantap agar terlihat meyakinkan.
“Lagian kenapa sih, Dy, nanyanya gitu banget? Serius banget kamu, buat aku penasaran aja sekaligus, ah, takut.” Sky berkata jujur tetapi pelan. “Ah, bukan apa-apa.” Namun justru kalimat itu yang terlontar.
Maudy tahu bahwa Sky juga bukan orang yang mudah untuk diajak bicara tentang masa lalu. Mungkin saja Casya bisa, pikirnya. Dia akan mencoba peruntungan dengan Casya, besok atau nanti.
“Kamu kenal ngga siapa saja orang terdekat aku selain kalian?” Maudy bertanya ulang.
“Orang terdekat?”
“Iya, selain kamu, Casya dan sepupuku Nuril serta Fathur tunangannya” jelas Maudy. Dia masih memancing, kali saja Sky keceplosan atau mau sedikit terbuka, tetapi sepertinya lagi-lagi gagal.
“Ehm, ada beberapa, ‘kan? Tapi kamu juga nanti pasti lupa sih. Ya udah, besok-besok aja aku kasih tahunya, ya,” ujar Sky berdalih.
Licik memang, tapi Sky tak ingin Maudy mengingat tentang Arga sedikit pun. Entah belum siap atau memang dia semakin tidak rela. Dia merasa peluang dan kesempatan akan berpihak nanti. Sebenarnya Sky tidak mau begini, tapi rasa cinta itu sepertinya lebih besar dan keegoisan dalam diri mengalahkan rasa sayang itu.
Sebab tak mendapatkan jawabannya, akhirnya mereka berbincang tentang banyak hal. Sebenarnya dari awal Maudy yakin ada yang Sky sembunyikan tapi dia tak bisa berbuat banyak, nanti yang ada Sky semakin curiga.
Sedangkan itu Arga sendirian di sana. Malam tanpa bintang walau tidak mendung. Mengingat ketika gadisnya masih hidup. Perkataan Sean tadi siang kembali mengusiknya selepas mereka bermain di laut.
“Lo harus tahu, bahwa lo melakukan kesalahan dan setidaknya meminta maaflah pada kedua orang tua Maudya. Dan, lo belum ke tempat terakhir Maudy, ‘kan? Lo bisa lakukan itu setelah pulang dari sini, Ga. Dan benar-benar merenungi setiap kesalahan. Lo boleh nangis dan berteriak semampu dan sekuat lo. Buatlah ini jadi pelajaran dan menangislah sekeras lo. Setelah itu, Go-Moving-On, Bro. Lo perlu buka lembaran baru,” Kata Sean menyemangati Arga.
“Lo gak bisa mengubah masa lalu, Ga, tapi lo bisa buat masa depan lo lebih berarti. Lo punya segalanya. Maudy juga ngga bakalan tenang kalau lo selalu nangisi dia. Dia ngga bahagia kalo lo juga ngga akan bisa bahagia. Oke, selesai dari sini lo bisa mencoba hal baru. Kenangan lama itu biar jadi kenangan, baik pahit atau manis, dia tetaplah kenangan. Dan save your memory. If you missing her, have and save your heart not in your head. Itu jelas beda.” Sean menepuk Arga dan berlalu, membiarkan Arga dengan segala kemelut kehidupannya.
***
Dan malam ini dia benar sendirian merenungi hidupnya, menangisi yang dia bisa. Ya, dia menangis sekarang di tepi pantai yang sepi. Karena dia berada agak jauh dari hotel tempat menginap. Yang tidak terlalu banyak diterangi lampu, hanya obor bambu kecil-kecil serta lampu gas biasa, bukan lampu listrik, jadi dia bisa menangis tanpa diketahui oleh orang lain.
Kakinya menapaki jalanan di tepi pantai berpasir. Dia rindu dan penuh harap. Merindukan kekasih hati yang telah pergi selamanya. Selama ini dia tidak pernah menangis, bahkan ketika dia harus melihat nenek koma, dia selalu bisa bersikap tenang seolah semua baik-baik saja.
Tapi sekarang sendiri di sini, dia tak bisa menahan lagi. Melihat ke depan, menerawang kembali ke masa lalu. Masa di mana dia menggandeng tangan kekasihnya, mengatakan takkan berpisah, membisikkan kata cinta dengan lembut.
“Apa pun yang terjadi, Kakak jangan ninggalin aku, ya!” pinta Si Gadis dengan penuh harap dan senyum yang tak pernah pudar.
“Iya, tenang saja. Tidak akan pernah,” ujarnya mantap.
Dia tak pernah tahu bahwa kata itu adalah pengharapan terakhir yang bisa diberikannya kepada gadis pujaannya.
“Kita batalkan saja semuanya. Pernikahan ini bukan satu-satunya jalan terbaik. Pertunangan itu pun tak ada artinya bagiku. Pergilah! Kuharap kau bisa mendapatkan yang terbaik.” Setelah mengucapkannya, dia berlalu, tetapi berhenti kala Si Gadis itu menanyakan alasannya.
“Tapi kenapa? Apa yang salah?” ujarnya pelan menahan isak.
“Tidak ada yang salah. Keadaan saja yang salah dan tak berpihak pada kita. Aku mencintai orang lain dan kau belum tentu jadi yang terbaik bagiku. Aku juga belum tentu bisa membahagiakanmu,” ujarnya dan berlalu tanpa mau melihat bahwa di belakangnya ada hati yang rapuh akan perkataannya.
“Setidak berarti itu aku bagimu?”
Masih dia dengar bagaimana cicitan gadisnya yang dia abaikan begitu saja. Masih dia dengar ketika besoknya dia melihat gadis itu ke rumahnya dan dibentak oleh neneknya dan mengikuti kepergiannya. Sampai pada suatu ketika, gadisnya menghubungi untuk segera menyelamatkannya, tapi dia enggan menjawab karena rasa sakitnya bahwa gadisnya menghianatinya. Itu informasi yang dia dapat dari neneknya. Tidak mungkin nenek berbohong kan? Tapi memang seharusnya nenek tak berlaku terlalu kasar. Harusnya waktu itu, ah, terlalu banyak kata seharusnya yang sekarang hanya tinggal penyesalan.
“Kak, tolong aku!” ujar gadisnya.
“Jangan menghubungiku lagi! Kita sudah usai!” ujarnya tanpa perasaan.
“Tolonglah aku, untuk terakhir kalinya,” pintanya memohon dengan rintihan yang jelas sekali terdengar.
“Kau itu perempuan murahan. Sudah kubuang tetap saja menghubungiku. Jangan gunakan tangisan dan air matamu itu lagi. Sudah tidak berarti bagiku,” ucapnya kasar. Mematikan panggilan sepihak tanpa tahu bahwa gadisnya meminta pertolongan dengan sisa nyawa yang mengharuskan dia bertahan.
Dia menangis. Benar-benar sesak itu merasuk ke rongga dadanya. Sakitnya tak berdarah, tapi terasa ke relung hati. Dia sesak, sakit, menderita dan tak bisa bangkit.
Seseorang menepuk pundaknya menyadarkan dia bahwa hidup harus tetap berjalan. “Sudah tangisi semua, menangislah sepuasmu dan berhentilah saat waktunya sudah tiba,” katanya sambil mengusap pundak sahabatnya.
“Apa yang harus kulakukan, Thur? Bagaimana aku menanggung semua dosaku? Kepada keluarganya dan diriku sendiri yang bahkan belum bisa lepas dari bayang-bayang hidup tanpanya?” Arga berkata dengan sesugukan.
“Selama ini aku tak pernah menangis karena berharap dia masih hidup dan sebenarnya dia masih ada. Hanya tidak bisa kutemui sesuka hati. Karena ada dosa yang harus kutanggung. Tapi bagaimana pun aku berdoa, dia tetap tidak ada. Aku tahu Tuhan lebih menyayanginya dari pada aku. Berapa kali pun aku berkhayal bahwa dia masih hidup, semua hanya ilusi. Hasil imajinasiku yang tak ingin dia pergi. Sebuah alam bawah sadarku menawarkan ilusi yang kuat bahwa dia masih hidup.” Tangisnya masih belum berhenti. Begitu sakit bahkan Fathur pun ikut sedih dan hanya bisa mengelus punggung sahabatnya yang terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya.
“Sudahlah, semua sudah berakhir. Buka lembaran barumu. Aku siap mendengarkan curahan hatimu selama tiga tahun ini. Kita masih teman. Ataukah hanya aku yang menganggapmu sahabatku tapi kamu tidak pernah?” tanya Fathur.
Arga mengangkat wajahnya dan menoleh kepada Fathur. “Terima kasih,” ujarnya tulus.
Dia benar-benar beruntung memiliki seorang Fathur walau mereka sering bertengkar bahkan ketika dia yang menyebabkan Maudy pergi, dia memukul dan menghukumnya dengan telak. Tapi tidak pernah meninggalkannya seperti yang lain.
Akhirnya malam ini Arga ditemani sahabat lama, yang berarti dalam hidupnya. Bercerita banyak hal. Sebenarnya Fathur yang bercerita sebab dia tidak punya apa yang ingin diceritakan selain tentang kenangan mereka dan kepergian Maudya. Yang bisa Fathur simpulkan bahwa Arga benar-benar mencintai Maudy. Hanya kesalahpahaman yang membuat mereka menjadi terpisah dan keadaan serta orang-orang yang menentang. Tapi dia tidak tahu pasti apa penyebabnya.
***
Pagi harinya kedua temannya sudah menyiapkan makanan di atas meja. Sean memang pintar memasak. Sudah dipastikan dia akan memakan makanannya dengan lahap apabila Sean yang masak. Namun, untuk pagi ini saja dia ingin tidur lebih lama agar mimpi tadi kembali hadir.
Dia memimpikan Maudy datang dan tersenyum mengatakan ‘cinta dan terima kasih’ hanya sebentar bahkan sekilas masih diingat olehnya senyum manis itu. Tapi keadaan tak mendukung ketika kedua lelaki itu justru sibuk berdebat dan membuatnya pusing.
“Harusnya kita masak telur dadar saja. Udah gue bilang masakan lo cocok untuk lidah lo doang dan ngga bakalan bisa di lidah gue,” ujar Tirta.
“Harusnya bisa tinggal pesan juga. Ini hotel bintang lima punya Arga dekat dari sini. Lo yang sok-sokan mau masak, padahal ngga bisa. Semua kebutuhan ada di sini, Se” ujarnya lagi.
“Gue ngga selalu memanjakan perut gue dengan makanan enak. Dan gue pecinta makanan sehat serta higienis. Ngga semua gue mau makan apa pun dari luar.” Sean terkekeh, mempertahankan pendapatnya.
“Iya? Terus gemana? Yang ada Cuma telur dadar sama nasi dan sosis, juga roti. Lagian, hey, hey, helloww, kita liburan, Guys. Kita juga dekat restoran. Lagian kita aja yang harus tidur di Villa ini,” serunya tak terima.
“Iya mau gimana lagi? Gara-gara lo mabuk dan gue lupa minta kunci cadangan keburu udah mau muntah aja, mending gue bawa lo ke villa Arga. Lo pesan aja di hotel makanan lo. Gue makan di sini aja,” kata Sean.
“Lagian pakaian lo masih di hotel semua. Untung aja gue ngga b**o dengan ninggalin pakaian gue juga di hotel. Karena hotel itu udah jadi tempat m***m lo buat,” sarkas Sean.
“Malam ini gue sama Arga biar di villa aja. Lo aja sana tidur di hotel. Palingan juga tante bakalan tahu kelakuan lo setelah pulang dari sini,” sinisnya.
“Ckckck, gue ngerasa punya teman dan sahabat rasa musuh, deh,” sarkasnya membalas.
“Kalian ngapain sih pagi-pagi begini ribut?” Arga datang dengan muka bantal dan datarnya.
“Ini nih!”
“Dia nih!” Keduanya saling tunjuk.
“Ckckck, kaya anak-anak aja,” ujar Arga berlalu. Memakai pakaiannya karena dia tidur biasa bertelanjang d**a dan pergi ke luar mencari udara segar di jam tujuh pagi ini. Berjalan menyusuri pantai seperti semalam walau masih sepi tapi perasaannya sedikit terobati setelah pengakuan dan semangat yang diberi sahabatnya. Serta pagi ini mendengar ocehan tidak bermutu saudaranya tentang makanan sehat dan tidak. Ckckck.
“Ga,” sapa orang dari belakangnya.
“Thur? Nu-ril?” Terbata Arga ketika mengucap nama Nuril.
“Lo ngapain di sini?” Nuril langsung mengubah raut wajahnya menjadi tidak datar dan sinis. “Jangan bilang kamu udah ketemu dia di sini,” kata Nuril bertanya, yang dijawab Fathur dengan anggukan.
“Iya memang, semalam,” terangnya.
“Dan kamu ngga bilang sama aku?”
“Buat apa? Bukannya kamu juga ngga ada perlu sama Arga, dan benci banget?” katanya hati-hati.
“Iya, memang.” Nuril menjawab lalu berjalan ke arah Arga, semakin mendekat dan, Plak! Bunyi tamparan jelas terdengar.
“Ini buat perkataan nenek lo yang menyakiti saudara gue,” katanya.
Plak! Sekali lagi.
“Buat lo yang udah buat hidup saudara gue hancur,” ucap Nuril sambil menangis setelah dua kali tamparan kanan dan kiri mendarat di pipi Arga. Untuk terakhir, dia menepis tangan Fathur dan berjalan menjauh.
“Maafkan Nuril ya, Ga. Dia masih sakit. Tapi perlahan dia pasti menerima kalau ini adalah takdir,” ujar Fathur menenangkan Arga sekaligus meminta maaf atas perlakuan kekasihnya. Bagaimana pun, Nuril adalah sepupu Maudy. Otomatis dia akan merasakan sakitnya.
“Ngga apa-apa. Gue bisa ngerasain kalo dia membenci gue. Dan itu nyata terlihat dari mata dan perlakuannya,” ujarnya.
“Maaf, gue harus kejar dia dulu, Ga,” katanya dan berlalu yang dijawab hanya anggukan oleh Arga.
Setelahnya Arga hanya melihat pandangan ke depan. Dia pantas menerimanya, mengangkat tangannya dan memegang pipinya.
“Argh, tamparan Nuril lumayan juga,” katanya sambil meringis.
“Hahah, loe gitu aja sih lemah,” ejek Tirta.
“Ckckck, ngga usah kaya anak-anak, deh!” Sean menengahi. “Ayo biar diobati. Lumayan itu. Nanti malah biru,” ajak Sean.
“Harusnya lo jadi dokter. Kenapa harus jadi asisten si Arga muka datar sih, Se?” Seperti biasa, Tirta mulai memperkeruh keadaan. Sean menatapnya tajam dan Arga berdecak pelan.
“Sorry,” ujar Tirta setengah hati.
***