Hari ini Casya datang bersama neneknya. Mereka membuat sedikit suasana hati Maudy menjadi tidak kesepian. Hanya sebentar saja. Mereka menceritakan banyak hal sampai Maudy mengingat perkataan nenek yang mengatakan, “Yang berlalu biarkan saja berlalu.” Perkataan itu seperti mengandung makna tertentu.
Baru saja Casya pulang bersama neneknya. Tapi perkataan terakhir nenek juga membekas diingatannya. “Kalau memang terlalu sakit, lebih baik lupakan. Dan jangan mengingatnya lagi.” Setelah menepuk pundaknya, nenek kemudian berlalu sambil tersenyum.
Dia tidak mengerti apa maksudnya. Namun yang dia tahu ada sesuatu tentang masa lalunya yng janggal dan tidak beres. “Ah sudahlah, lupakan sejenak,” ujarnya membatin.
“Hai, apa kamu udah mau tidur?” Sky kembali datang.
“Ah, ya. Ada apa?” Entah kenapa dia melihat wajah sendu Casya tadi. Dan itu karena melihat interaksinya dengan Sky.
Maudy tak tahu ada hubungan apa Sky dengan Casya sebelum atau sesudah menjadi sahabat. Tapi yang pasti, bisa dipastikan bahwa Casya memiliki rasa yang lebih pada Sky. Dan, dia merasa, ah apa mungkin yang dipikirkannya benar?
Jika Sky memang menaruh hati pada orang lain, itu artinya Casya akan patah hati. Apabila Sky tidak tahu maka bisa dipastikan mereka masih bisa diselamatkan. Bila Sky sudah tahu maka yang terjadi adalah, ah apa jangan-jangan? Pikiran Maudy mulai melanglang buana.
“Hai, kenapa melamun? Ada yang kamu pikirkan?” tanya Sky khawatir. Sebab Maudy dari tadi hanya diam dan memandang ke arahnya lalu ke depan memalingkan wajah ke lain sisi.
“Ah, tidak. Ada apa datang lagi?” tanyanya, “ada yang ketinggalan?”
“Ah, tidak. Hanya ingin menemani di sini. Sebelum mama kamu datang,” jawabannya.
“Oh.” Maudy hanya ber-oh saja. Rasanya malam ini dia malas sekali bertemu Sky. Bukan apa-apa hanya saja dia merasa semakin lama semakin kurang nyaman dengan intensitas Sky datang menjenguknya.
Dia merasa Sky sengaja mengunjunginya dan seakan-akan mengabaikan perasaan Casya. Seolah perasaan Casya tidak berarti sama sekali baginya dan dia merasa sakit akan hal itu. Dia tidak suka tapi bagaimana dia mengatakannya agar tak menyakiti Sky?
“Kamu ingin istirahat ya?” Sky sepertinya melihat gelagat Maudy yang kurang nyaman.
“Bukan. Hanya sedang badmood saja,” ujarnya. “Oh, ya, aku mau bilang sesuatu sih sama kamu,” katanya serius.
“Apa?” tanya Sky.
“Aku rencananya mau kursus.”
“Ke mana?”
“Bandung.” jawab Maudy. “Nenek kan punya rumah di sana. Dan aku pernah sekolah di sana, kecil dan besar di sana. Jadi rasanya aku mau tinggal di sana sementara waktu,” jelasnya.
“Berapa lama?” tanya Sky, dia seakan tidak rela. Tapi bagaimana pun, ini adalah hidup Maudy.
“Mungkin dua tahun. Tidak, tidak. Satu tahu cukup. Tapi mungkin agak lebih lama agar aku bisa fokus.”
Ahh, harusnya dia bisa mendukung, 'kan? Tapi memang dulu Maudy di Jakarta karena ayahnya tugas di sini, lalu pindah ke Bandung dan kembali lagi kuliah di Jakarta sampai Arga pun memang pindah karena pekerjaan juga.
Bandung yang mempertemukan mereka. Bisa jadi Bandung juga yang akan kembali mengingat kenangan itu batinnya berujar tidak yakin.
“Ya, tapi bolehkan aku sesekali mengunjungimu?” pintanya, “sekedar melihat sahabat terbaikku.”
“Boleh. Aku juga sekalian ingin membuka hati.” Maudya berujar sambil menatap manik Sky. Dia dapat melihat Sky terhenyak.
“Tapi kenapa tiba-tiba?”
“Apanya?” tanya Maudy heran.
“Ah, bukan apa-apa. Lupakan!” serunya.
“Ah ya, kupikir kamu cocok dengan Casya,” kata Maudy mengalihkan tatapan ke jendela rumah sakit yang belum ditutup.
“Aku? Dan Ca-sya? Ah, ngga mungkin.” Sky terkekeh pelan. Mencoba terkekeh seakan-akan itu lucu. “Gak lah. Kamu salah aja kali,” tambahnya.
“Kenapa tidak? Kamu membencinya?” terka Maudy.
“Jelas tidak. Aku sudah menganggap dia adikku, sahabatku, tidak lebih.” Ditatapnya Maudy lekat-lekat, “Karena sudah ada nama lain di hatiku,” tegasnya mantap.
“Siapa?” tanya Maudy.
“Ekhem.” Dia lagi-lagi terhenyak mendengar pertanyaan Maudy. “Ada orang lain,” kilahnya.
“Kamu tahu, Sky? Waktu itu aku pernah tanya kepada siapa hatimu akan berlabuh? Pernah tanya kenapa kamu merasa yakin bahwa dia benar-benar cinta sejatimu? Coba kamu bayangkan bagaimana perasaan seseorang yang memang menyukaimu apa adanya. Sedangkan kamu menunggu orang lain. Sedangkan yang kamu tunggu bahkan tidak tahu apa-apa? Buatlah dia tahu, lalu dia juga sama sepertimu tidak memberi kepastian pada orang yang menunggunya, lalu kamu berusaha membuat orang itu menerimamu mencobanya? Tapi kenapa kamu ngga bisa memberi kesempatan kepada orang yang juga menunggumu?” Pertanyaan Maudy seolah menjelaskan bahwa egoisnya dirinya tentang perasaan yang sebenarnya dia tahu untuk orang lain tapi ada hati yang menunggu kepastiannya.
“Tapi dia sudah tahu bahwa aku menunggu orang lain. Bahkan aku sudah jujur padanya bahwa tidak bisa menerimanya,” ujarnya pelan.
“Justru itu, semakin kamu menolaknya semakin dia yakin kamu masih menyayanginya dan sebenarnya menaruh simpati lebih dari yang kamu kira. Tapi jika kamu memang benar-benar mengabaikannya maka jangan angkat atau pun menghubunginya selama sebulan ini. Cobalah pikirkan lagi,” pintanya, seolah itu bisa membantu perasaan Sky tenang. Pintu terbuka.
“Hai, maaf ya mama telat. Papa sebentar lagi juga datang. Ah, ada Sky ya? Terima kasih ya, sudah menemani Maudy selama tante belum datang.”
“Tidak apa-apa, Tante. Saya senang, kok,” ujarnya sembari tersenyum.
“Ahya, maaf, tadi si om ada keperluan jadi agak lama. Casya dan nenek sudah lama pulangnya?”
“Sudah, Ma” jawab Maudy.
“Ah, ya sudah, padahal tadi mama buat cookies agak banyak. Nanti Sky pulang bawakan ya. Atau besok juga bisa sih,” usul mamanya.
“Iya, Tante. Bisa, kok,” katanya. “Tante, saya permisi dulu ya. Kan Tante sudah datang,” pamitnya.
“Iya, sekali lagi terima kasih ya, Sky. Maaf selalu ngerepotin kamu.” Mama Maudy menitipkan cookies itu dan Sky berlalu.
***
Setelah Sky berlalu, mama menatap Maudy lekat-lekat. Dia tahu ada hal yang dibahas anaknya dan Sky sebelum ini.
“Ma, Maudy mau bicara serius,” ujarnya
“Ya, Nak.” Dia mengambil tempat di sebelah ranjang Maudy. “Kamu mau bicara apa?” tanya mama menggenggam sebelah tangan anaknya.
“Maudy serius mau melanjutkan kursus desain,” katanya.
“Di mana? Tanya papa dulu, ya?” pinta mamanya.
“Bandung,” jawabnya tegas.
“Kenapa harus ke Bandung, sih? Kan bisa di sini aja. Mama sama papa bisa pantau,” ujar mama sedih. Ya, dia tidak ingin jauh lagi dari Maudy. Sudah cukup Maudy hampir meregang nyawa karena kesalahan mereka juga. Jangan sampai lagi ada yang kedua kalinya.
“Ngga apa-apa. Di Bandung kan ada rumah nenek. Bisa di sana aja. Nanti tempat kursusnya bisa dekat kok. Gak terlalu jauh,” jelasnya meminta persetujuan.
“Kamu serius?” tanya mama.
“Iya, Ma. Kalau mama ngga yakin, bisa kok suruh satu asisten buat jagain sekalian jadi temanku di sana, ya!” mohonnya.
“Ahhh.” Mama hanya mendesah pelan setelah menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
“Ya, boleh, deh. Tapi setelah Nuril kembali dari Bali, ya? Biar dia bisa antarkan kamu ke sana dengan mama. Mungkin papa nanti ngga bisa,” kata mama.
Maudy hanya mengangguk dan memeluk mamanya. “Maudy sayang sama Mama,” katanya pelan tanpa sadar dia meneteskan air matanya.
“Mama juga,” ujar mama mengelus punggung anaknya.
“Ekhem, kenapa kok pada melow? Papa ngga diajak pelukan juga kah?” tanya papa merajuk.
Ayah hanya bercanda, mereka tahu itu. Tapi entah kenapa Maudy ingin menjahili papanya. “Iya dong. Ini kan rahasia wanita,” katanya sambil mengerling.
“Papa sih ngga mau buat anak laki-laki. Jadi ngga bisa dong rahasia antar lelaki,” ujarnya.
“Jadi papa sudah ngga dianggap, nih?” Papa mulai merajuk.
“Papa ih, kaya anak-anak,” kata Maudy.
“Iya, papa kekanakan. Sini peluk kita!” kata mama.
Mama senang anaknya telah sehat. Papa senang walau Maudy kehilangan ingatannya. Tapi setidaknya, kini keluarga mereka telah lengkap. Semoga tidak dipisahkan lagi. Dan setelah ini dia berharap Maudy bisa membuka hati untuk orang lain dan membuka diri agar lebih terbuka sama seperti Maudy yang belum mengenal Arga. Tapi papa tidak pernah menyalahkan siapa pun. Dia merasa ini adalah takdir anaknya.
***
“Ini liburan hari terakhir tapi berasa kaya bawa beban berat banget ya?” tanya Tirta entah kepada siapa.
“Lo emang selalu bawa beban. Ya kali itu cewek semalam lo ajak kenalan tapi hari ini lo lupa siapa namanya. Padahal kan yang ngajak kenalan lo sih!” sungut Sean.
“Gue baru tahu, ternyata sifat diam dan tenang lo hanya sebuah topeng ya, Se?” sarkasnya, “menutupi segala kamuflase yang terjadi.” Tirta mengucapkan tanpa mau tahu Sean sakit hati atau tidak.
“Ckckckck. Gue juga baru tau kalo lo itu mulutnya kaya perempuan. Bahkan lebih parah dari ibu-ibu pekayon” jawab Sean sinis.
“Ckckck, gue gabut banget, Se.” Tirta mulai merajuk.
“Diving yok!” ajak Sean. Berapa kali pun dia adu mulut dengan Tirta, dia sangat sayang dengannya, hampir sama dengan sayang dia kepada Arga. Begitu juga Arga dan Tirta. Mereka tidak akan pernah berbicara, “gue sayang lo” tapi tanpa mengucapkan itu pun, Sean tahu ada yang tengah dipikirkan oleh Tirta. Bahkan Arga yang tenang belum tentu bisa membaca situasi.
Arga hanya diam dan mengamati sekitar. Suara Sean dan Tirta dia anggap sebagai nyanyian yang menghibur walau jelas itu berbeda sekali.
“Ayo, Ga!” ajak Tirta.
“Nanti gue nyusul” jawabnya.
“Udah, ayo! Biar Arga sendiri dulu. Lo ada utang cerita sama gue.” Sean menarik tangan Tirta meninggalkan Arga. Lagi-lagi sendiri. Merenungi segalanya dan dia berjanji akan bangkit setelah ini.
***