Alder sedang berjalan, menapaki rerumputan di halaman rumah Key. Dia sedang bimbang saat ini. Alder, sebenarnya ingin menemui Key—tapi, saat teringat kejadian kemarin— ketika ia melihat Key bersama Aland—membuat hatinya hancur. Memang sebelumnya, tak pernah ada seorang laki-laki yang masuk ke dalam kamar Key, kecuali Alder. Dia juga melihat saat Key di dalam mobil—Key terlihat sangat bahagia.
"Dia melakukan hal yang selama ini tak dapat aku lakukan," gumamnya.
"Membuat Key tersenyum bahagia."
Mirisnya, Alder belum mengetahui—jika Key saat ini sedang berada di rumah sakit.
Ia berjalan dengan menendang-nendang rumput pendek. Hingga, tepat di bawah jendela Key, dia menghentikan langkah. Mendongakkan kepala dan menatap kesal pada jendela kamar Key.
"Siapa laki-laki itu?! Apakah kekasihmu? Bahkan aku lebih tampan darinya!" gerutunya.
"Tapi.. memang dia memiliki satu hal yang tak aku miliki."
Alder mendesah panjang, saat Aila dan Razita melintas.
"Mereka asisten baru?" gumam Alder.
Kemudian tersenyum licik.
"Aku akan menakut-nakuti mereka," desisnya. Dengan terkekeh.
Dia pun mulai mengendap-endap di belakang Aila dan Razita. Mengangkat kedua tangannya bersiap untuk menjahili mereka berdua.
"Aku khawatir dengan keadaan Nona Key," ungkap Aila.
Mendengar perkataan Aila, Alder mengurungkan niatnya.
"Apa hingga saat ini dia masih tak sadarkan diri?" Razita bertanya.
Alder melebarkan matanya. Kerutan nampak di dahinya.
"Iya. Aku ingin menjenguknya," pungkas Aila.
"Tapi, rumah sakit nasional sangat jauh. Kita tidak memiliki cukup ongkos untuk pergi ke sana. Di samping itu, siapa yang akan menjaga rumah?" cetus Razita.
Keduanya lalu kompak mendesah pasrah. Sementara Alder tertegun.
"Key.." desahnya. Tanpa pikir panjang, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Sementara Key, masih tak sadarkan diri. Dari MRI hingga CT-Scan telah dilakukan pada tubuhnya. Namun, tak ada kerusakan yang fatal di bagian kepalanya. Dan seharusnya, setelah menjalani operasi, Key akan segera sadar.
Key sudah di pindahkan ke ruang perawatan saat ini. Meida tampak gelisah, saling menautkan tangannya.
"Key.. sadarlah. Aku tak ingin mereka mengambil mu." Meida berbisik.
"Nenek.. pergilah ke kamar mandi. Cuci mukamu. Biarkan aku yang menjaganya," pinta Dena, yang berdiri di belakang Meida.
Meida tak berkomentar sedikit pun, hanya mengangguk dan keluar dari kamar. Sejak semalam, mata Meida tak terpejam sama sekali. Dia takut, saat tertidur sesuatu yang buruk terjadi pada Key.
Sementara itu, Dena memandang Key, lalu mendesah panjang. Mengedarkan pandangan, lantas berjalan menuju jendela dan membuka tirai. Bersamaan dengan Key membuka mata lebar. Saat Dena berbalik— ia melihat Key telah membuka mata. Rasa terkejut pun tak dapat terelakkan.
"Nona!" serunya.
Suara Dena yang lantang, membuat Aland terbangun dari tidurnya. Dia segera bangkit dari sofa.
"Dia sudah sadar?" tanya Aland.
Dena meyakinkan dengan anggukan. Key menatap udara kosong di atasnya. Matanya nyaris tak berkedip. Terus menatap langit-langit.
"Aland, cepat panggil Dokter!" perintah Dena.
Dengan segera, Aland berjalan menuju pintu. Tapi, tiba-tiba! Pintu tertutup sangat kencang.
BRAAK!
Mereka berjengit, tersentak kaget.
"Ada apa ini?" gumam Dena.
Sementara Aland terus melangkahkan kaki ke arah pintu. Menggerakkan gagang pintu, ke atas dan ke bawah dengan kencang, berulang kali.
"Sial! Kenapa pintunya tak bisa dibuka!" gerutunya.
"A-aland," panggil Dena, gugup.
Perlahan Aland menoleh ke arah kanan, dan melihat tubuh Key melayang di atas ranjang. Kepalanya tertunduk, rambutnya menutupi wajah, menambah kengerian. Dalam sekejap Aland terbelalak.
"Ke-Key?" panggil Aland, seraya melangkahkan kaki mundur.
"Haec puella est die! (Gadis ini harus mati!)" desis Key.
Aland mengernyit. "Apa yang kau katakan?"
"Haec puella est die! Haec puella est die!" desisnya kembali.
Key menoleh kearah Aland. Ketakutan Aland semakin memuncak, melihat mata biru Key berubah menjadi hitam.
"Key.." katanya.
"Haec Puella Est Die! " pekik Key sekencang-kencangnya, hingga terdengar seperti lengkingan.
Seketika itu, angin berhembus sangat kencang di dalam ruangan tersebut. Sehingga membuat segala benda berserakan. Semakin lama, hembusan angin semakin kencang. Key terkekeh. Suaranya berubah menjadi barito.
"Mutata sors est! (Takdir harus berubah!)"
Tubuh Key melayang ke arah jendela. Dengan cepat Dena meraih kedua kaki Key dan memeluknya erat, saat Key tepat di atasnya.
"Aland! Cepat dobrak pintunya! Cari nenek!" teriak Dena.
Tanpa jawaban, Aland segera menendang pintu berulang kali. Dan, membuat Key menengok kearah belakang, lalu berteriak.
"MORI!!!! (Mati)"
Seketika itu, tubuh Aland terpental ke kiri. Dan, membuatnya meraung kesakitan. Tiba-tiba, tangannya bergerak, tak terkendali. Satu tangannya mengarah pada leher.
"Ada apa dengan tanganku?" ucapnya.
Dia pun berusaha menjauhkan tangannya dari leher, sekuat tenaga. Hingga beberapa otot di bagian tubuh tertentu, hampir terlihat. Kulit putihnya pun memerah.
"Aaargh!" erangnya.
Tangannya semakin tak terkontrol. Hingga akhirnya, ia mencekik leher dengan tangannya sendiri. Dengan tertatih, ia berusaha berdiri. Wajahnya memerah, hampir tak dapat bernafas. Cengkraman tangannya semakin kencang.
Tubuhnya terseret mundur, menempel pada dinding. Dengan cepat tubuhnya terangkat ke atas. Berulang kali, ia menjejakkan kedua kakinya bergantian. Berusaha melepaskan diri. Namun gagal.
"Khak! Khak! Khak!"
Suara itu keluar dari mulut Aland. Dena yang melihat keadaan Aland, semakin panik.
"Nona Key! Hentikan semua ini! Kau akan membunuh Aland!"
Meskipun ia tahu, akan percuma ia mengatakan hal itu dengan Key yang saat ini. Bahkan dia tak mampu mengendalikan tubuhnya sendiri. Sementara Alder, yang baru tiba, melihat kejadian itu segera berlari, mencari Meida.
Sedangkan, Meida sedang membasuh muka di wastafel kamar mandi, saat Alder masuk tanpa permisi. Meida berjengit kaget, melihat Alder melalui pantulan cermin, telah berdiri di belakangnya dengan wajah penuh kecemasan.
"Su-siapa kau?" tanya Meida, memutar badannya.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Key dalam bahaya! Cepat kau kembali ke kamar sekarang!"
Bola mata Meida berputar cepat. Sebelum akhirnya, ia bergegas berlari.
Begitu tiba di depan kamar, dia mengintip dari balik kaca persegi panjang, yang melekat di antara pintu. Dalam sekejap pun kedua matanya yang memiliki kerutan di sudut terbelalak. Dan berusaha membuka pintu, namun hasil nihil. Berulang kali dia menggerakkan gagang pintu yang berwarna emas tersebut. Namun, tetap saja terkunci.
"Demi Tuhan! Apa yang sedang terjadi?" ucapnya.
"Key?!" teriaknya, saat melihat Key melayang-layang di udara.
Dia pun segera meletakkan tasnya di lantai, lalu mengambil kalung salib berwarna coklat kayu. Dengan gugup, ia mencoba memejamkan mata. Mulutnya pun mulai komat-kamit, membaca mantra.
"Nigrum fulgens virtute tua superbia vana gloria, invidia, hypocrisi et voluptas vana sunt. Ad magnificum illud quod paravi. c*m manifestum sit virtus!Vocatio mea!! (Wahai kekuatan hitam yang gemerlap, keangkuhan, kesombongan, kedengkian, kemunafikan dan kecemburuan. Datanglah pada altar keagungan yang ku siapkan. Datanglah dengan kekuatan yang tak terbantahkan! Penuhi panggilanku!!)"
Angin berhembus kencang, menyapu setiap debu yang terkumpul di sudut ruangan. Seketika, suasana menjadi sunyi senyap. Tidak ada pergerakan, atau suara sekecil apa pun. Waktu berhenti berputar. Seluruh orang yang berada disitu terdiam menjadi patung. Sebuah balon berwarna merah, milik seorang anak kecil, tertahan di udara. Meida pun juga mematung. Kedua tangannya menengadah, mulutnya setengah terbuka, matanya terbelalak. Bahkan daun kering berwarna coklat kekuningan, juga tertahan di udara.
Sementara, sebuah asap hitam, melesat cepat melewati seluruh orang yang tengah mematung. Lalu, masuk ke dalam ruangan Key. Asap hitam itu dengan cepat membentuk lekukan tubuh manusia. Sosok yang mengenakan jubah hitam, kedua matanya memiliki warna berbeda. Sisi kanan berwarna biru samudra. Sisi kiri berwarna hijau hutan tropis. Rambutnya tergerai hingga mencapai punggung, berwarna hitam legam. Wajahnya putih pucat, seperti tidak memiliki darah. Hidungnya mancung, namun ujungnya agak bengkok ke bawah. Seperti hidung seorang penyihir. Tentu saja tak diragukan lagi. Dia sangat tampan. Untuk sepersekian detik, dia menatap punggung key, dengan kedua tangan bertautan di belakang punggung.
"Keluarlah," itu kata-kata yang keluar dari bibirnya yang tipis sinis.
Perlahan gumpalan asap hitam, menyusup keluar dari tubuh Key.
"Tuanku."
Gumpalan asap hitam yang keluar dari tubuh Key, berubah menjadi sosok pria dengan leher panjang dan bertubuh kurus serta berpakaian hitam-hitam. Rambutnya bergaya Mohawk, berlutut di depannya.
"Bukankah sudah aku katakan pada kalian, untuk tidak mengganggu gadis itu?"
"Kami tidak bisa membiarkan dia hidup! Dia harus mati!" ucap sosok itu, tetap berlutut dengan satu kakinya ia tekuk ke belakang.
"Aku rasa.. kau tak berhak melakukan itu. Kau tahu, apa hukuman bagi para mortén yang membangkang?"
Sosok itu hanya diam dan tetap tertunduk. Seakan takut untuk melihat dia yang berdiri di depannya. Mortén adalah sebutan untuk iblis yang tinggal di Verden Morke.
Verden Morke memiliki satu penguasa yang sangat di puja dan di takuti oleh para mortén. Mereka memanggilnya dengan Pangeran Vandemon.
"Berdirilah," perintah Vandemon.
Mortén itu mengikuti perintahnya. Perlahan dia berdiri. Dan dengan gerakan secepat kilat, Vandemon, mendekati mortén itu. Mengelilinginya dengan gerak sedikit lambat namun cepat.
"T-tapi, jika gadis ini mati.. maka para mortén dan juga Verden Morke-"
Vandemon mencekik lehernya dengan sekuat tenaga. Sehingga tubuh mortén itu terangkat ke atas.
"Sudah aku katakan.. itu— bukan urusanmu!" ucapnya kesal, dengan gigi bergemeretak.
"Bagaimana? kau— tetap akan membunuhnya?"
Mortén itu mengangguk gugup seraya melirik Vandemon dengan mata hijaunya.
"Baik. Jika seperti itu, aku tak punya pilihan lain."
Sesaat Vandemon tersenyum manis, menatap mortén yang berada hanya satu jengkal di depannya. Dengan tetap mengunci lehernya di antara jari-jari pucat miliknya. Mortén tersebut semakin sulit untuk bernafas. Otot syarafnya terlihat muncul di sudut kening. Dengan kedua mata terbelalak. Nyaris melompat keluar dari tempatnya. Mungkin jika dilihat dari raut wajah Vandemon yang tenang, tidak akan ada yang tahu, jika cengkeramannya 10 kali lebih kuat.
"A-ampuni aku.. Tuanku," Mortén itu memohon, dengan suara parau-nya.
Vandemon hanya tersenyum kecil.
"Terlambat."
"Tidaaaaak!" teriak Mortén tersebut, sebelum tubuhnya menjadi abu.
Vandemon mengibaskan tangan, membersihkan pakaiannya dari sisa debu tubuh mortén yang ia lenyap-kan tadi. Lalu berbalik, kembali menatap punggung Key. Sejenak ia menjadi ragu. Ingin menyentuh Key, tapi ia urungkan. Seakan takut, menyentuh kulit putih milik Key.
"Ini belum saatnya," katanya lirih.
Sementara Alder, yang berdiri di depan kamar, sejak tadi mengamati setiap kejadian melalui kaca pintu. Menatap Vandemon dengan picingan tajam.
"Iblis b*****t itu," rutuknya diantara gigi yang di-gemeretakkan.
Vandemon pun kembali menjadi segumpalan asap hitam dan melesat cepat, pergi dari tempat itu. Dan semua kembali normal. Suara-suara bising kembali terdengar. Daun-daun kering telah menjatuhkan diri, memeluk tanah. Begitu juga tubuh Key, yang jatuh tersungkur di lantai. Masih tak sadarkan diri.