Bab 1: Les Membosankan

1831 Words
Mata bulat Zaina menatap buku yang terbuka di hadapannya. Dia menelusuri kata demi kata dengan jari telunjuk. Tetap saja, sebanyak apapun dia membaca, dia tidak bisa memahami isi buku itu. Memangnya siapa yang peduli dengan debit dan kredit yang membingungkan. Dia tidak tertarik menjadi akuntan. Semua ini karena Barra yang meminta Zaina mengambil jurusan akuntansi. Zaina sendiri tidak habis pikir kenapa dia harus menuruti pria itu. Selama ini, dia lebih suka seni, terutama melukis. Meski lukisannya tidak sebagus sang kakak, Dzaky, tetapi masih cukup menarik untuk dilirik. Seharusnya Zaina juga mengambil jurusan seni untuk menikmati masa muda. Bukan malah bergelut dengan angka-angka yang bahkan tidak bisa dia mengerti. Ini sudah semester empat dan dia masih belum bisa memahami ilmu dasar dalam akuntansi. Kalau bukan karena bantuan Barra di setiap semester, dia mungkin tidak akan pernah bisa menyelesaikan ujian dengan baik. Seperti saat ini, Barra memperhatikan layar laptop sambil sesekali menulis di sebuah buku di sampingnya. Kaca mata yang menghiasi wajah tampan pria itu membuat Zaina semakin terpesona. Dia bertopang dagu sambil memperhatikan Barra yang terlalu serius mengerjakan entah apa. “Selesaikan tugasmu, Za. Jangan main-main,” ujar Barra tanpa menoleh. “Sebentar lagi kamu ujian. Jangan sampai mempermalukanku sebagai guru les.” “Siapa juga yang mau Kakak jadi guru lesku,” gerutu Zaina. Dia kembali melihat bukunya sambil mengerucutkan bibir. “Memangnya siapa yang mau mengirim kamu ke tempat les dan membuat keributan lagi. Kamu sudah terlalu sering mengacau. Jangan sampai nenekmu mendengar keluhan baru karena sikapmu itu.” “Kakak mengancam aku?” “Mengancammu? Yang benar saja. Untuk apa aku mengancammu. Tidak ada gunanya.” Barra meletakkan laptopnya, lalu memperhatikan buku Zaina. “Soal seperti ini saja masih belum bisa menyelesaikan? Sebenarnya apa yang kamu lakukan selama berada dalam kelas.” “Tidur?” Zaina mengetuk-ngetukkan pena di dagu. “Aku mulai menyesal karena mengambil jurusan ini. Bagaimana kalau aku ganti jurusan saja?” “Kamu bercanda? Kamu juga bilang begitu setiap semester, tapi selalu membatalkan rencana. Jadi, jangan mulai lagi. Gunakan sedikit otak kecilmu itu untuk berpikir.” Perkataan Barra membuat Zaina mendengkus. Dia mencoret-coret buku dengan pena, menghasilkan gambar wajah pria yang kini sudah kembali pada laptopnya. Dia menulis kata “guru galak” di bawah hasil karyanya sambil tersenyum. Sudut matanya melirik Barra yang sibuk menggerakkan jarinya di atas keyboard. Saat ini, melihat Barra lebih menarik ketimbang buku bacaan yang menampilkan rupiah. Dia suka menghitung uang, tetapi dalam wujud nyata. Bukan sekadar mencari nilai debit dan kredit, lalu menghasilkan saldo. Mengapa harus mempelajari semua ini. Toh, dia tidak akan sanggup menjadi akuntan secara mandiri. Mau bagaimana lagi. Selama empat semester, selalu ada Barra yang membantu. Bagaimana jika akhirnya Zaina harus bekerja. Tidak mungkin Barra terus berada di dekatnya untuk mengajari semua hal yang tidak dia pahami. Dia jadi bingung apa yang akan dilakukan setelah menyelesaikan kuliah. Bekerja adalah hal yang cukup mengerikan bagi Zaina. Khafi sebagai kakak tertua juga tidak akan pernah membantu. Dia hanya tahu cara menekan seseorang, tetapi tidak bisa mengajarkan proses untuk mencapai kesuksesan. Yang dia maksud kakaknya itu terlalu kaku saat menerangkan sesuatu. Dan Zaina benar-benar tidak bisa memahami apa pun ketika mulai tertekan. Khafi penuh dengan perhitungan. Sejujurnya, dia sangat telaten saat mengajar. Akan tetapi, dia akan terus memberikan pelajaran setelah muridnya memahami pelajaran pertama. Begitu seterusnya. Dia bahkan tidak mengenal kata istirahat jika targetnya belum tercapai. Dan Zaina tidak mampu memenuhi target tersebut. Otak Zaina cukup lambat dalam memahami sesuatu. Dia juga cepat bosan saat mempelajari hal yang baru. Apa lagi jika itu bukan yang disukainya. Tidak heran kalau dia enggan diajar oleh sang kakak, meski Khafi orang tercerdas yang pernah dia jumpai. Khafi terlalu menuntut kesempurnaan dan Zaina punya banyak kekurangan. Tidak cocok sedikit pun. Seingat Zaina, Khafi juga sudah tinggal sendiri. Saat itu, dia masih duduk di bangku SMP. Khafi ketat dalam segala hal, terutama masalah belajar. Zaina ingat bagaimana kerasnya Khafi mendidik Dzaky dan membuat kakak keduanya itu berniat kabur. Khafi terlalu kaku dan tidak berperasaan. Begitulah pendapat Zaina saat itu. Kemudian, lambat laun Zaina sadar jika apa yang dilakukan oleh Khafi dulu adalah demi masa depan adik-adiknya. Zaina sekarang bahkan sering merindukan kehadiran Khafi. Namun, Khafi tidak pernah bersedia kembali. Sepertinya ada sesuatu yang berusaha disembunyikan oleh Khafi, entah apa. Zaina tidak mengetahui. Khafi memang penuh misteri. Sebagai adiknya, Zaina seakan tidak tahu apa pun mengenai sang kakak. Sebaliknya, meski tidak tinggal bersama, Khafi sangat memahami segala sesuatu tentang Dzaky dan Zaina. Itu menunjukkan kalau Khafi sebenarnya menyayangi mereka. Hanya saja, dia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan perasaan itu. Jika Arisha tidak muncul dan menjadi pasangan Khafi, mungkin sampai sekarang kakaknya itu akan tetap kaku. Setelah menikah, Khafi mulai berubah. Dia mungkin memang belum selembut kebanyakan sosok seorang kakak, tetapi dia sudah bisa memberikan senyuman dan semangat pada orang-orang terdekat. Kehadiran istri dalam kehidupan Khafi membawa banyak kemajuan bagi pria itu. Zaina sangat berterima kasih pada Arisha yang selalu sabar menghadapi sikap dingin Khafi di awal pernikahan mereka. Usaha Arisha ternyata tidak sia-sia. Khafi sudah mulai terbuka dan mau bersosialisasi. “Aku menyuruhmu belajar. Bukan melamum,” kata Barra. Zaina menjatuhkan pena yang dipegangnya, lalu menatap tajam Barra. “Mau aku jantungan, ya? Sudahlah, aku mau keluar saja.” “Mau ke mana? Kita belum selesai belajar.” Cukup untuk hari ini. Zaina ingin menenangkan diri dan otaknya yang mulai mendidih. Padahal dia belum belajar apa pun, kenapa dia merasa sangat pusing. Pasti efek dari melihat deretan angka yang banyak. Dia tidak tahu apakah bisa menyelesaikan kuliah dengan aman. Bisa lulus sudah cukup baik, tidak perlu nilai yang tinggi. Dengan kemampuannya, Zaina tahu kalau dia bukan mahasiswi yang pandai. Dia bisa mengukur kecerdasan sendiri. Dibandingkan Khafi yang luar biasa, dia bukanlah siapa-siapa. Dia tidak tahu bagaimana Khafi bisa secerdas itu. Seandainya saja dia memiliki sedikit saja otak Khafi, dia tidak akan semenderita ini. Kakak keduanya, Dzaky, juga cukup pintar. Meski tidak sepintar Khafi, setidaknya Dzaky pernah mendapat peringkat di kelas. Sementara Zaina harus cukup puas bisa bertahan di peringkat sepuluh ke atas. Memang tidak terlalu buruk. Namun, citra kedua kakaknya sangat berpengaruh. Tidak sekali dua kali guru atau teman membandingkan Zaina dengan Dzaky dan Khafi. Dia tidak pernah marah. Pada kenyataannya, dia memang tidak sepintar kedua saudaranya. Sayang, hal itu bukan malah membuat Zaina ingin berusaha, dia justru lebih malas jika disuruh belajar. “Mau ke mana, Za?” Suara Arisha membuat Zaina berhenti. Dia menoleh dan celingukan ke arah belakang sang kakak ipar. Senyumnya mengembang saat tidak melihat Khafi. Kalau Khafi tahu dia kabur dari pelajaran tambahan, dia akan berada dalam masalah. Dia melambai pada Arisha, lalu berjalan cepat mendekat. “Kakak mau apa?” tanya Zaina mengalihkan pembicaraan. “Mau bertemu nenek, ada?” Zaina menggeleng. “Nenek sedang pergi belanja dengan asisten rumah tangga kami.” “Lagi?” Hilya, sang nenek, memang selalu mengawasi para asisten rumah tangga mereka saat berbelanja. Padahal dia sudah mencatat semua hal yang perlu dibeli. Pembantu mereka tidak akan mungkin salah ambil. Mereka adalah orang-orang pilihan yang khusus diperkerjakan oleh Khafi. Mana mungkin Khafi memilih orang yang tidak berkualitas. Meski begitu Khafi sendiri tidak memiliki asisten rumah tangga yang menetap di rumahnya. Mereka hanya datang pagi hari untuk bersih-bersih dan memasak, lalu pulang. Khafi tidak suka ada orang asing yang berkeliaran di sekitarnya. Saat para pekerja membereskan rumah, dia akan mengurung diri di ruang kerja. Sebagai istri, Arisha tidak merasa keberatan. Dia sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah saat tinggal dengan orang tuanya. Jadi, jika harus turun tangan dan menyelesaikan beberapa tugas rumah, dia tidak masalah. Lagi pula, segala hal sudah diselesaikan para pembantu di pagi hari. “Jadi, kamu mau kabur lagi?” Arisha kembali bertanya. Zaina mencebik. “Aku bosan, Kak. Di kampus sudah cukup lelah belajar. Bagaimana bisa aku belajar lagi di rumah. Toh, nilaiku memang segitu-gitu saja.” “Jangan begitu. Kamu harus belajar dengan giat supaya nilai kamu bagus.” “Kakak sudah ketularan Kak Khafi?” Tangan Arisha menarik Zaina mendekat. Dia tersenyum lebar sambil menepuk pundak adik iparnya itu. Lalu, dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Ketika dirasa cukup aman, dia mendekatkan mulut ke telinga Zaina. Senyum masih menghiasi bibirnya yang mungil. “Mana ada yang bisa menandingi sikap menyebalkan kakakmu itu,” bisik Arisha. Zaina tertawa. Arisha melepaskan sang adik ipar. “Aku tidak mungkin bisa menjadi dia.” “Jadi, apa Kakak akan mengajakku jalan-jalan seperti biasa?” “Tentu saja. Kali ini mau ke mana?” “Aku mau makan pizza.” “Pilihan bagus, Adik ipar. Ayo, kita pergi.” Selalu saja begitu. Saat Zaina merasa bosan, hanya Arisha yang bisa mengerti. Meski pada akhirnya, dia harus belajar setelah jalan-jalan, tidak apa-apa. Yang penting dia sudah beristirahat sejenak. Terlalu lama berhadapan dengan guru galak sepeti Barra bisa membuat Zaina semakin stres. Kalau saja Barra datang untuk berkunjung atau ingin mengajaknya bersenang-senang, Zaina pasti akan sangat senang. Dia sangat menantikan kedatangan Barra setiap hari. Pria itu sangat mengerti dirinya melebihi siapa pun. Memang, terkadang menyebalkan. Namun, Zaina tidak pernah bisa marah lama pada Barra. Di sudut hatinya yang terdalam, Barra sudah menempati tempat khusus. Zaina tahu kalau kemungkinan perasaannya terbalas sangat kecil. Barra dua belas tahun lebih tua. Kelihatannya, dia juga tidak menganggap Zaina sebagai wanita dewasa. Barra selalu memperlakukannya seperti seorang adik. Harapan Zaina muncul ketika dia tidak pernah sekali pun melihat Barra bersama seorang wanita. Pria itu terus berada di sampingnya. Mengajarinya segala sesuatu. Sesekali melarang Zaina melakukan ini itu. Zaina memang kerap protes, tetapi tetap melakukan perintah Barra. Entah sejak kapan Zaina memandang Barra sebagai seorang pria, bukan sosok kakak yang senantiasa menjaganya. Dia mengagumi segala hal tentang Barra. Cara pria itu berbicara. Cara pria itu tersenyum. Cara pria itu bekerja. Semua terekam jelas di kepala Zaina. Dia mampu mengingat apa pun yang berkaitan dengan Barra. Demi menjaga harga diri dan kepercayaan Khafi, Zaina berusaha menutupi perasaannya. Dia tidak mau menimbulkan masalah antara Barra dan sang kakak. Jika Khafi tahu dia menyukai Barra, bisa jadi Khafi akan menjauhkan Barra darinya. Itu hal yang tidak dia inginkan. Berjauhan dari Barra. Zaina bahkan tidak berani membayangkannya. Dia sudah terbiasa melihat kemunculan Barra setiap hari. Jika harus berjauhan, dia tidak tahu apa akan mampu. Barra terlalu berarti. Melihat Barra sudah menjadi sebuah keharusan bagi Zaina. Dia tidak bisa melakukan apa-apa sebelum Barra memberikan semangat. Pengaruh Barra pada Zaina sangat besar. Zaina sadar betul itu. Bertahun-tahun bersama membuat Zaina terbawa perasaan. Apa lagi Barra selalu mencegah Zaina ketika ingin mengenal lawan jenis. Kata Barra, belum waktunya Zaina menyukai seseorang. Barra bilang, dia harus fokus pada kuliahnya dulu. Untuk saat ini, bersembunyi adalah tindakan tepat. Zaina sudah cukup sering menimbulkan masalah. Dia tidak mau mempersulit Barra di hadapan sang kakak. Suatu hari, jika sudah mempunyai keberanian, dia sendiri yang akan menyampaikan pada Khafi bahwa dia menyukai Barra sebagai seorang pria. Nanti. Ketika Zaina sudah menjadi wanita dewasa yang sesungguhnya. Dia akan meminta Khafi untuk merestui perasaannya itu. Harapan terbesarnya adalah Barra tidak akan jatuh cinta sebelum dia membuktikan diri. Doa Zaina setiap hari sama, dia menginginkan Barra sebagai pendamping hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD