Bab 2: Teman

1771 Words
“Kamu itu lapar apa rakus, Za?” tanya Kamila, satu-satunya teman Zaina di kampus. Dengan sikap kekanakan dan ceroboh, hanya Kamila yang betah berteman dengan Zaina sejak masa orientasi. Kedewasaan Kamila mampu mengimbangi sikap Zaina yang manja. Lagi pula, dia juga tidak terlalu suka mengenal orang baru. Jadi, dia hanya berteman dengan orang itu-itu saja. Bukan masalah besar bagi Zaina. Dia tidak terlalu menuntut untuk diterima sebagai teman. Meski tidak dekat, banyak yang sudah mengenalnya. Selain karena sering ditegur oleh dosen saat ketiduran atau kurang memperhatikan, Barra juga jadi alasan. Pria itu sering datang dan menarik perhatian para mahasiswi. Apa lagi kalau bukan datang untuk mengantar dan menjemput Zaina sesekali. Sebenarnya ada sopir yang biasa melakukan, tetapi Barra terkadang muncul. Jujur saja, Zaina lebih suka Barra menunggu di tempat parkir, bukan menghampiri ke kelas. Semua orang akan heboh begitu Barra berdiri di depan kelas sambil tersenyum padanya. Ini juga karena Barra merupakan salah satu alumni kampus. Menjadi mahasiswa yang cukup pintar di angkatannya, Barra jadi diingat oleh para dosen. Barra sesekali menyapa mereka saat menjemput Zaina. Gadis itu malah lebih suka menyebut Barra mencari perhatian. Menurut Zaina, Barra sedikit narsis. Pria itu sangat sadar apa kelebihannya. Dengan rambut bergaya bak artis Korea, dia memikat para gadis. Zaina mengakui ketampanan Barra. Sikap ramahnya juga menjadi daya tarik tambahan. Dia bahkan sudah lama menyukai Barra sebelum orang lain menyadari betapa menariknya Barra. “Mumpung ada yang traktir, Mil.” “Kenapa kakak iparmu tiba-tiba pergi?” “Menurutmu siapa orang yang bisa membuat Kak Arisha sangat patuh?” “Tentu saja kakakmu.” “Tepat sekali. Aku enggak ngerti gimana Kak Arisha tahan dengan sikap Kak Khafi yang posesif itu. Kakakku benar-benar menguasai hidup istrinya.” “Bukannya kamu juga begitu?” “Aku? Kapan aku begitu?” “Mau menyangkal? Kamu juga patuh banget sama Kak Barra, kan? Berulang kali mengatakan hal buruk tentang dia, tapi tetap menurut,” ujar Kamila sambil mencomot sepotong pizza. Tangan Zaina berhenti di udara. Pikirannya melayang pada sosok yang selalu memenuhi khayalan. Barra memang tidak pernah pergi dari kepala. Pria itu terlalu sering muncul di hadapannya dan membuat hari-hari Zaina indah. Bagi Zaina, Barra ibarat air di tengah gurun pasir. Ketika kedua kakak Zaina tidak memperhatikan, ada Barra yang hadir. Ketika neneknya tidak bisa menemani bersenang-senang, Barra siap mengantar. Ketika dia tidak mengerti pelajaran di kampus, selalu Barra yang mengajarkan sampai dia paham. Wajar bukan jika Zaina merasa tergantung pada Barra? Yang membuat Zaina semakin bahagia adalah kenyataan kalau Barra tidak pernah menggandeng wanita. Dia sangat mengenal Barra dan tidak ada yang bisa disembunyikan oleh pria itu. Waktu Barra hanya dihabiskan untuk membantu Khafi dan menjaga Zaina. Tidak ada waktu untuk yang lain. Diam-diam, Zaina terkadang mengikuti Barra. Dia tidak pernah memergoki Barra bertemu dengan wanita istimewa. Barra juga tidak pernah membahas masalah ini, baik dengannya ataupun Khafi. Intinya, satu-satunya wanita yang ada di sekitar Barra hanya satu, Zaina. Dan itu menjadi kebanggaan bagi gadis itu. Memang, Barra tidak pernah memperlakukan Zaina sebagai seorang wanita. Setidaknya, Barra selalu menjaga dan membelanya. Barra selalu ada untuk menemani. Barra selalu mendengar cerita konyolnya saat bosan. Barra selalu memberikan apa pun yang dia inginkan. Jadi, bolehkah Zaina sedikit berharap pada Barra? Pria itu mempunyai segala hal yang Zaina butuhkan. Dia juga paling mengerti Zaina. Tidak ada yang bisa membuat Zaina terkontrol selain Barra. Zaina hanya mudah diatur oleh Barra. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan oleh penjaganya itu. Lagi pula, Zaina tidak merasa keberatan melakukan semua itu. Barra sudah bersedia menjadi tempat berkeluh dan melampiaskan segala hal yang membosankan. Jadi, sebagai imbalan, dia akan menurut saat Barra mengeluarkan titah. Bagi Zaina, pertukaran ini cukup adil. Dia tidak mendapat kerugian. “Kenapa? Aku benar, kan?” Kamila menyenggol bahu Zaina. “Apa aku sejelas itu?” tanya Zaina dengan mata membulat. “Menurutmu?” Kamila balik bertanya. “Aku rasa, Kak Barra memang kebal dengan rasa cinta. Makanya dia enggak bisa melihat bagaimana perasaanmu padanya. Atau ....” “Atau?” “Atau dia memang enggak suka sama kamu. Makanya dia pura-pura enggak tahu.” Mengapa hati Zaina sakit saat mendengar kalimat Kamila. Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu bisa jadi memang benar. Kenapa dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu? Barra adalah pria dewasa yang memesona. Dia pasti mampu menutup mata demi menjaga perasaan Zaina. Lagi-lagi menjaga. Zaina jadi membenci kata itu. Mengapa Barra mau menjaganya selama ini? Apa hanya demi persahabatan dengan Khafi? Atau ada hal lain? Sepertinya Zaina terlalu banyak berharap. Hidup tidak seindah drama Korea yang sering dia tonton. Mengapa dia tidak sadar juga? Sudah jelas Barra hanya menganggap Zaina sebagai seorang adik yang perlu dijaga. Zaina malah berpikir jauh. Dia bahkan sudah menyematkan nama Barra dalam khayalan masa depannya. Sekarang, bayangan kehidupan yang dia gambarkan hilang seketika. Barra tak lebih sebagai seorang penjaga. Seingat Zaina, Barra juga tidak pernah memperlakukannya secara berlebihan. Barra sama seperti seorang kakak pada umumnya. Melindungi saat dibutuhkan. Memberikan bahu saat Zaina sedih. Menemani bersenang-senang saat Zaina layak mendapatkan hadiah. Tidak ada satu pun perbuatan Barra yang menunjukkan dia menganggap Zaina sebagai wanita dewasa. Baik perbuatan maupun perkataan Barra tidak pernah mengarah pada hal-hal yang umum dilakukan pria pada wanita. Fakta itu membuat Zaina menyadari sesuatu. Mungkinkah Barra memang sudah menyadari perasaannya? Tapi, berpura-pura buta dan tuli agar dia tidak merasa malu? Benarkah begitu? “Eh, Za. Aku enggak bermaksud bilang begitu. Yang aku maksud ....” “Kamu benar, Mil. Hubungan kami hanya sekadar adik-kakak. Aku yang terlalu berharap. Tapi,” Zaina menghela napas. “Kak Barra memang sedikit keterlaluan. Kalau enggak suka sama aku, seharusnya dia enggak melarang aku buat dekat sama pria mana pun. Iya, kan?” “Semua kakak laki-laki seperti itu, Za. Lihat saja bagaimana kakakku memperlakukan laki-laki yang mau dekat sama aku. Kak Barra juga melakukan itu.” “Benarkah?” Zaina mengerucutkan bibir. “Apa enggak ada sedikit saja kemungkinan kalau Kak Barra suka sama aku?” “Aku enggak tahu. Tapi, aku rasa kamu jangan terlalu berharap. Kak Barra itu terlalu dewasa untuk mahasiswi kayak kita.” Kamila menggenggam tangan Zaina sambil tersenyum. “Aku bilang ini bukan untuk buat kamu sedih. Aku cuma enggak mau kamu terluka karena suka sama orang yang salah.” “Makasih, ya, Mil. Kata-kata kamu memang sedikit menyakitkan, tapi kamu benar. Aku terlalu banyak berkhayal. Harusnya aku tahu posisiku di depan Kak Barra.” “Bagaimana kalau aku kenalkan sama kapten basket di kampus?” “Kamu mau Kak Barra melaporkanku pada kakakku?” Kamila mendengkus. “Hidupmu pasti sangat hampa.” “Memangnya kamu enggak? Kakakmu juga enggak mengizinkan kamu pacaran sebelum lulus kuliah, kan?” Kamila mengangguk. “Kenapa nasib kita bisa begini?” “Punya kakak laki-laki memang sangat menyebalkan. Oh, iya, bagaimana dengan Kak Dzaky, sepertinya dia cukup pengertian.” “Enggak usah bahas Kak Dzaky. Dia dan aku lebih mirip musuh ketimbang adik-kakak. Dia itu usilnya minta ampun. Kamu tahu, kan?” “Hidupmu memang sedikit mengerikan. Punya kakak sulung yang sangat sempurna. Kakak kedua yang usilnya minta ampun. Juga penjaga yang enggak memberikan kebebasan. Bukankah masa muda harusnya diisi dengan kesenangan?” “Aku setuju. Bagaimana kalau kita kabur dan jalan-jalan berdua.” “Ide bagus. Kapan? Kita harus merencanakan dengan baik biar enggak ketahuan.” Jari telunjuk dan ibu jari Zaina bertaut. Dia mengedipkan mata pada Kamila yang kini tersenyum lebar. Lalu, dia menyadari sesuatu yang ganjil. Pandangannya jauh melalui bahu Kamila. Ada seseorang yang menutup wajah dengan daftar menu. Dia menghela napas ketika menyadari hal itu. “Kakakmu parah, Mil. Masa ketemu sama aku saja masih diawasi,” kata Zaina sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu enggak sadar kalau Kak Barra sekarang lagi jalan ke arah kita, kan?” “Apa?!” Badan Zaina memutar cepat. Barra berjalan lambat ke arahnya. Kenapa di saat seperti ini Barra harus muncul? Arisha tidak mungkin mengatakan keberadaannya pada Barra. Kakak iparnya itu sudah tahu kalau dia memanggil Kamila kemari. Lagi pula, Arisha bukan orang yang suka mengadu. Arisha memang istri Khafi, tetapi dia selalu memihak Zaina. Tentu saja selama apa yang dilakukan Zaina tidak melanggar etika. Jadi, kalau bukan kebetulan, pasti Barra memang sengaja mengikuti atau mencari tahu keberadaannya. Dia kadang bingung bagaimana bisa Barra selalu tahu di mana dia berada. Banyak pasang mata yang mengikuti gerakan langkah Barra. Zaina rasa, Barra sengaja melakukan itu untuk tebar pesona. Benar-benar seperti Barra biasanya. Zaina tidak mengerti mengapa dia bisa menyukai pria narsis yang sudah tua. Pasti karena hanya Barra yang ada di dekatnya. Perlukah Zaina mencari laki-laki lain agar bisa menetralkan hati. Mungkin saja dia bukannya menyukai Barra, tetapi hanya terbiasa dengan kehadiran pria itu. Jika dia memiliki satu atau dua teman pria yang memperhatikan, mungkin Barra akan tersingkir dari pikirannya. Iya, kan? “Waktunya pulang,” ucap Barra begitu tiba di meja Zaina. Pertunjukan akan segera dimulai. “Aku bahkan belum menghabiskan separuhnya. Kenapa datang ke sini? Dari mana Kakak tahu aku di sini? Kak Arisha enggak mungkin membocorkan.” “Memang bukan Arisha. Apa kamu lupa kalau aku punya banyak mata-mata. Kamu tidak akan lepas dari pantauan.” Barra duduk, lalu menoleh pada Kamila. “Hai, Kamila. Makan saja. Tidak usah pedulikan aku. Bagaimana kalau mengundang kakakmu bergabung?” Pizza yang ada di mulut Kamila tertelan tanpa sempat dikunyah dengan baik. Dia langsung meminum segelas air putih di depannya, lalu menatap Zaina yang meringis. Barra yang menjadi pelaku malah tersenyum lebar sambil menikmati sepotong pizza. Kamila tentu hanya bisa membalas senyum Barra sambil menggeleng pelan. Diperhatikan kakaknya dari jauh sudah cukup menyebalkan. Kamila tidak mau semenderita Zaina saat ini. Jadi, dia mencoba menikmati potongan pizza selanjutnya tanpa memedulikan Barra. Sementara Zaina makan dengan cepat. Dia tidak mau membuat Kamila tertekan lebih lama. Kemunculan Barra sangat mengganggu. Zaina tidak mengerti mengapa pria itu suka sekali merusak kesenangannya. Kalau boleh Zaina katakan, Barra itu adalah perpaduan antara Dzaky dan Khafi. Terkadang dia serius dan tidak ingin dibantah seperti Khafi. Lalu, terkadang dia sangat usil seperti Dzaky. “Jadi, apa rencana kalian untuk kabur?” Nyaris saja Zaina menyemburkan pizza yang berada di mulut. Bukankah Barra baru saja masuk ke tempat ini? Bagaimana dia bisa mengetahui pembicaraannya dengan Kamila. Mata gadis itu menoleh ke kanan kiri. Mungkinkah Barra mendengar rencananya dari CCTV? Kalau sudah begini apa rencana Zaina akan berhasil? Sepertinya akan sulit untuk kabur dari pengawasan Barra. Zaina memandang Kamila yang mematung di tempat. Dia menggelengkan kepala sambil membuat ekspresi orang yang menangis. Kamila hanya menghela napas melihat hal itu. Dengan penjagaan ketat dari Barra, harusnya Kamila tahu ini akan terjadi. Namun, dia tetap tidak mengerti bagaimana Barra bisa mengekang Zaina sebaik ini. Bukannya marah, Zaina hanya diam saat Barra melarang melakukan sesuatu. Menyebalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD