thirteen !

1570 Words
“Wah, gue udah upgrade!” seru Markus. “Lo punya berapa senjata sekarang?” tanya Ugi. Markus memperlihatkan layar ponselnya pada Ugi, yang disambut Ugi dengan seruan terperangah dan terpesona. “Gue masih belum naik- naik level nih.” “Stuck dimana?” “Sebelas. Susah banget nyelesainnya.” Beberapa saat kemudian, terasa sebuah tepukan di punggung mereka masing- masing. Kedua bocah yang tengah asyik bermain game di ponsel mereka itu menoleh. “Eh, Ron,” sapa Ugi. Ronald menaikkan alisnya sekilas sebagai balasan sapaan Ugi, seraya ikut duduk di pojok tangga. “Udah beres kelas?” tanya Ronald. “Udah,” jawab keduanya serempak. Ronald, Ugi, dan Marcus sebenarnya sama- sama ada kelas PIE Mikro dan Bahasa Inggris hari ini. Namun di kampus mereka, memiliki Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) yang berdekatan tidak menjamin mereka sellau sekelas bersama. Kadang mahasiswa dikelompokkan secara acak, sehingga mahasiswa dengan NIM awal bisa saja sekelas dengan mahasiswa NIM 150. Ini membuat mereka dengan mudah mengenal teman- teman seangkatan dalam jurusan, meski jumlah mahasiswa seangkatan bisa mencapai dua ratus orang lebih. Ketiga bocah favorit kita hanya memiliki kelas yang sama di Pengabis, Pengakun, Aksos, dan Kewarganegaraan. Di kelas PIE Mikro hari ini, hanya Ugi dan Marcus yang sekelas, sedangkan Ronald terpisah dari kedua kawannya dan mendapat dosen yang berbeda. Ia juga terpisah dari Vinny, dengan dosen yang berbeda pula dari Ronald, Ugi, dan Marcus. Sementara itu di kelas Bahasa Inggris, Marcus dan Ronald- lah yang sekelas, sedangkan Ugi terpisah. Sejak fenomena presentasi Ronald di kelas Pengabis yang tanpa cela, Ronald tiba- tiba saja digandrungi oleh teman- temannya (setidaknya oleh anak- anak yang sekelas Pengabis dengannya). Tiba- tiba saja Ronald menjadi Madonni (karena Madonna untuk perempuan). Ia diberi roti gratis, minuman gratis, disediakan tempat duduk yang strategis, dan banyak yang mengajaknya ngobrol. Ronald sih, tidak terlalu ambil pusing dengan perubahan drastis itu. Cukup tunggu saja hingga ia gila dan uring- uringan lagi agar mereka menghindari Ronald lagi. “Sibuk banget sih. Lagi maen?” tanya Ronald penasaran. “Iya,” jawab kedua temannya lagi serempak. “Lo kenapa nggak coba download game ini juga, Ron? Biar main bareng, kita.” Ronald menaikkan alis sebelah. “Males, ah. Gue emang nggak terlalu hobi main game ponsel.” “Oh, ya udah.” Ronald yang gabut tak terkira mulai menurunkan ranselnya dan mencari- cari kertas kosong. Selagi mereka sedang menunggu kelas selanjutnya dua setengah jam lagi, dia ingin menulis sebuah mahakarya lagi. Marcus melirik sekilas ke arah Ronald yang sudah sedia dengan kertas buramnya, lalu bertanya, “Mau ngapain, Ron?” Matanya kembali fokus pada layar ponsel. “Nggak. Cuman coret- coret aja.” “Oh.” Mereka bertiga terdiam selama beberapa menit, fokus dengan kesibukan masing- masing. “Eh, Ron,” kata Ugi tiba- tiba, memecah keheningan. “Hm?” gumam Ronald, denga mata masih tertuju pada kertas yang mulai lembap oleh keringatnya. “Lo tahu nggak, gue tadi sekelas loh Bahasa Inggris, sama si cewek pucat kenalan lo,” kata Ugi. Ia lalu mem-pause game-nya dan menatap Ronald. “Siapa, tuh namanya? Ar...vinny ya?” “Iya, namanya Vinny,” sahut Ronald. “Tapi sayang banget dia tadi nggak masuk. Padahal bu dosen kita seru, lho. Si ibu juga perhatian banget dan peduli sama Vinny kenapa dia nggak masuk ke kita- kita.” Ronald menyingkirkan mahakaryanya untuk sementara. “Emang, kenapa dia nggak masuk?” “Ya mana gue tahulah! Kita semua pada nggak tahu juga satu sama lain, baru juga kuliah berapa hari. Lo tanya dong sama dia, ‘kan lo kenal,” kata Ugi santai. Sementara itu Marcus nampak menahan tawa. “Gue ngerasa nih, ya, si Ronald ini ada hati sama si pucat.” “Namanya Vinny!” protes Ronald. “Tuh, kan. Marah,” kata Marcus nyengir. Ugi pun ikut tertawa. Ronald mengabaikan cemoohan kedua kawannya, karena pikirannya masih tertuju pada Vinny. Tilulit! Sebuah pesan telah masuk ke ponsel Ronald. Ia pun segera mengeceknya dengan muka tak berekspresi. Cuma pesan dari senior rekrutmen pelatihan kepemimpinan yang menyatakan bahwa Ronald lolos seleksi dan akan ada acara kumpul besok jam 4 sore. Oke. Kelihatannya mudah sekali untuk ikut pelatihan itu. *** Di hari Kamis, Ugi, Marcus dan Ronald kembali menyambut pagi bersama dengan senyuman. Sebab, hari ini hingga jam dua belas siang mereka akan selalu bersama, di kelas Pengakun yang dilanjutkan dengan praktikumnya. Pagi itu penuh dengan mawar kuning dan cahaya kebahagiaan bagi Ronald, karena kabar bagusnya, kelas Kamis itu adalah kelas gabungan bersama anak Manajemen which is, akan ada Vinny juga di kelasnya. Kelas Pengakun mereka diajar oleh Bu Wahda. Beliau yang tidak hadir di hari Senin tanpa basa- basi segera menjelaskan silabus, prasyarat kuliah, buku yang akan digunakan, serta segala t***k- bengek Pengantar Akuntansi. Mahasiswa hanya boleh tidak menghadiri kuliah sebanyak dua kali, sama berlakunya sebagaimana di kelas- kelas yang telah mereka hadiri sebelumnya. Bu Wahda langsung mengajarkan mereka materi pertama mengenai proses Akuntasi yang seketika membuat membuat Ronald, Ugi dan teman- teman mereka yang juga berasal dari jurusan IPA, mabok. Setelah kelas Pengantar Akuntansi perdana yang memeras otak mereka hingga tetes terakhir, dengan tertunduk lesu mahasiswa kelas itu langsung melanjutkan kelas praktikum di laboratorium. Lab mereka tentu berbeda dengan Lab Sains. Di sana hanya ada kursi- kursi seperti di kelas biasa, tapi ada plusnya yaitu set komputer merk terbaru. Kak Mega, asisten Laboratorium mereka, menjelaskan bahwa untuk semester ini dan semester berikutnya, mereka belum akan menggunakan komputer. Ronald yang sudah mengelus- elus komputer di depannya penuh sayang (dan bahkan sudah menempelkan post –it bertuliskan ‘Ronald’ untuk menandai teritorinya), tampak sangat kecewa. Ia tak hanya melepas post- it­-nya kembali, tapi juga dengan sengaja meletakkan beberapa bungkus permen yang diemutnya tadi di sela- sela keyboard. Sungguh anak durhaka. Tapi kekesalan Ronald teralihkan sejenak saat nama mereka diabsen dan ia baru menyadari, bahwa Vinny lagi- lagi tidak masuk praktikum. Kemana gadis itu? tanya Ronald dalam hati. Dia tak punya keinginan untuk peduli lagi dengan gadis itu setelah ia mengatai Ronald ‘cowok bawel’ sebenarnya, tapi kalau begini terus,bagaimana mungkin ia bisa melupakan gadis itu begitu saja? Kak Mega langsung memandu mereka dalam praktikum pertama. Materi yang diajarkan Bu Wahda yang sudah menggelegak dalam kepala anak- anak setidaknya berhasil didinginkan oleh penjelasan Kak Mega. Praktikum akuntansi pun ternyata tak sesulit belajar materi, karena mereka langsung mencobakannya pada kasus nyata. Mungkin materi dari Bu Wahda terasa lebih sulit karena minimnya kemampuan bahasa Inggris mereka. Bahkan untuk yang sudah meraih TOEFL tertinggi sekalipun, buku wajib Pengantar Akuntansi mereka yang dipenuhi bahasa bisnis itu bagaikan komposisi rendang yang begitu kompleks. Akan terlihat sulit kecuali jika langsung dimasak. Dan hasilnya? Sungguh enak dan menggoda selera, sama seperti hasil praktikum pertama mereka yang dipuji- puji Kak Mega. Begitu praktikum selesai, Ronald langsung menoleh ke arah kedua konconya. “Gue duluan, ya. Ada yang mau diurus.” Marcus hendak memberi Ronald pertanyaan, tapi bocah keriting itu sudah melambai dari kejauhan dan menghilang di balik pintu dalam waktu 0.3 detik. Ronald menduga- duga, bahwa tidak mungkin Vinny akan langsung pulang begitu kelas Pengantar Akuntansi mereka usai jam setengah sepuluh tadi. Ronald mencari- cari pojokan- pojokan strategis di sekitar gedung Akuntansi, dan benarlah. Vinny sudah berada di salah satu pojokan, menikmati kwetiau yang ia santap dalam kotak styrofoam putih. “Vin!” seru Ronald. Gadis itu menengadah sejenak untuk melihat siapa yang memanggil. Namun begitu mengetahui bahwa itu Ronald, ia langsung melengos. “Lo kok nggak dateng praktikum?” tanya Ronald. Vinny meletakkan sumpitnya, lalu balas menjawab, “Lo nggak ngintilin gue, ‘kan?” “Ya kagaklah!” “Terus kenapa lo terus- terusan sibuk ngurusin gue?” “Jawab dulu pertanyaan gue!” tuntut Ronald. “Kenapa lo nggak datang praktikum, Vin? Bobot praktikum ‘kan tiga puluh persen nilai lo nanti! Jangan sampai bolos deh!” “Apa sih?” tanya Vinny sengit. “Kan kita ada jatah bolos dua kali. Lagian kok, lo ngotot banget ngomongnya?” “Ya, ‘kan bukan berarti lo langsung pake buat bolos juga!” kata Ronald tegas. “Inget tujuan lo kuliah apa!” Vinny melirik tanaman bougenville yang tumbuh di dekatnya seakan- akan berpikir, tapi akhirnya ia hanya mengangkat bahu. Ronald kesal. Vinny terlihat mengabaikannya dan terus saja menghabiskan kwetiau (yang memang sudah hampir habis). “Kalau gitu, mending lo kirim sekarang deh, pertanyaan sama jawaban Pengabis lo!” “Loh? Apa hubungannya?” “Ya gue ‘kan nanti nggak tahu lo bakal ngirim ke gue apa nggak! Gue nggak suka kalo nanti lo malah bilang lupa ngirim sementara gue udah mau nge­-print lampiran!” “Iya, bawel! Nanti, ah! Gue laper juga malah diceramahin.” “Sekarang, gue bilang,” tuntut Ronald. Vinny sudah selesai dengan kwetiaunya. Ia menatap Ronald tajam, mengemasi kotak styrofoam itu dan membuangnya ke tong sampah. Ia lalu membawa ranselnya dan berlalu pergi. “Hei, tunggu!” kata Ronald yang menahan ransel hitam Vinny. “Kirim sekarang! Rara sama Prita udah ngirim ke gue. Gue nggak mau lama- lama nunggu dari lo!” “Iya, iya,ah!” kata Vinny, Dengan jengkel ia mengambil ponselnya dan mengetikkan bagian tugas Pengabis-nya dengan cepat. Ronald masih memegangi ujung tas Vinny, memastikan gadis itu tidak kabur. Sementara tangannya yang lain memegang ponselnya, memastikan tugas Vinny sudah sampai atau belum. Beberapa detik kemudian, ponsel Ronald bergetar. Ia segera mengecek pesan yang masuk. Benar, dari Vinny. “Noh, udah!” kata gadis pucat itu. Ia menyentakkan tasnya dengan keras dari genggaman Ronald, meninggalkan Ronald yang mematung. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD