“Howohoooooy, Vitooo!” seru Ronald dengan antusiasme berlebihan saat bertemu kembali dengan konconya itu. Mereka baru benar- benar berpisah beberapa hari sejak awal Ospek hingga dua hari kuliah mulai berjalan, tapi keduanya bersikap seakan- akan mereka sudah terpisah selama tujuh puluh tahun dan salah satunya berada di roket yang bergerak dengan kecepatan cahaya.
Vito pun tak kalah antusiasnya dari Ronald. Mereka saling menyongsong dari kejauhan bagai tokoh kartun anak- anak yang suka berpelukan. Tapi tentu saja mereka tidak saling berpelukan –mereka hanya saling menonjok. Itu saja.
“Wah, lo cakepan sekarang,” komentar Ronald.
Memang, Vito terlihat lebih mahasiswa dibandingkan Ronald. Dia memanjangkan rambutnya (yang untungnya bisa lebat dalam beberapa hari) dan mengenangkan kemeja kasual, dengan menyandang ransel hanya di lengan kanan. Bak model majalah remaja. Pujian Ronald malah membuat keliling lubang hidungnya makin besar.
“Iya dong,” kata Vito bangga. “Gimana kuliah lo?”
“Oke. Lo?”
Seketika image model Vito luntur. Wajahnya menggeleng, berubah depresi. “Gue nggak nyangka bakal sesusah ini.”
“Masa’ sih?”
“Yaa, mungkin guenya yang males- malesan kali, ya, pas SMA. Kayaknya sains SMA sama sains di teknik kok beda banget,” katanya sambil menggeleng- geleng.
Ronald menepuk punggung temannya itu keras- keras (salah satu hobi Ronald yang terpendam) sekaligus menghibur Vito. “Jalanin aja, pasti bisa kok. Lagian yang teknik kayak lo banyak. Lain cerita kalo anak teknik mesin cuman lo doang.”
Vito meringis mendengarkan wejangan teman pujangganya itu. Sangat mencerahkan, sampai- sampai ia tidak tahu harus berkata apa.
Keduanya lalu berjalan- jalan mengelilingi kampus. Memang, sejauh ini Ronald baru mengenal seluk beluk dan lubang tikus di fakultasnya saja. Ia merasa sangat penting untuk mengenal kampus lebih luas, demi mengetahui spot wifi yang kuat dan tempat nongkrong yang asyik.
Saat mereka tengah asyik bertamasya, mata Ronald tiba- tiba menangkap sosok pucat favoritnya. Gadis itu tengah duduk bersama beberapa cowok dan seorang cewek lain.
Apa itu Ines?
Ronald bergegas mendekati gerombolan itu, meski Vito yang bingung sudah menyorakinya, “Lo mau ngapain, Ron?”
Ronald mengabaikan pertanyaan temannya itu dan terus mendekati mereka. Begitu sampai di sana, beberapa cowok menoleh sementara Vinny masih asyik dengan ponselnya.
Ronald menatap Vinny lekat- lekat, yang membuat cewek yang berada di samping Vinny menyikutnya. Vinny menggerutu, namun lalu menegadah mendapati Ronald berada di depannya.
“Ngapain lo kesini? Masih ada tugas kelompok?” tanya Vinny datar.
Ronald tidak menjawab, melainkan memandang cewek di samping Vinny sesaat. Pandangan ia kembalikan lagi pada Vinny, seraya berkata, “Ini yang Ines?”
Vinny menggeleng dengan alis berkerut, “Lo kok bawel banget sih ya, jadi cowok?”
Cewek di samping Vinny pun ikut- ikutan berkomentar, “Iya, gue emang Ines! Kenapa?”
Ia memandang jutek ke arah Ronald. Sekilas, Ronald mencium bau rokok dari arah Ines, dan dilihat dari penampilannya, jelas dia bukan anak baik- baik.
“Lo ada urusan sama gue?” tanya Ines lagi sewot.
Ronald menggeleng, lalu ia melangkah berbalik menuju Vito yang berdiri tidak jauh dari situ, diawasi para cowok yang ikut dalam gerombolan Vinny. Ronald menggeleng putus asa, dan ini jelas membuat Vito heran.
“Ron! Ngapain sih lo nyamperin orang- orang kayak gitu? Kayak ngajak gelud aja! Lo kenal sama mereka?”
“Vinny doang.”
“Vinny? Siapa?”
“Dia satu sekolah sama kita dulu.”
“Masa’?” tanya Vito yang menoleh sedikit ke belakang, melihat ke arah para anggota gerombolan itu. “Terus, kenapa tadi lo nyamperin mereka?”
Ronald belum ingin membuka ceritanya pada Vito sekarang, tapi mungkin nanti. Sebagai ganti jawaban, Ronald hanya mengangkat bahu dan mengajak Vito nge-wifi bareng di gedung rektorat.
***
Setelah puas memanfaatkan wifi untuk streaming dan mendownload anime- anime terbaru, Ronald dan Vito berniat untuk pulang karena keduanya sama- sama sedang tidak ada kelas lagi. Mereka berjalan dengan memutari sekilas fakultas Ronald. Namun, tiba- tiba perhatian mereka tertuju pada beberapa keramaian yang tampak di loko. Banyak mahasiswa senior yang mengenakan jas himpunan dan jas BEM tampak menggelar tulisan unyu- unyu di masing- masing stand mereka. Beberapa yang proaktif di antara mereka tampak menawarkan sesuatu dengan senyum manis pada anak- anak baru. Seperti di mall saja.
“Ooh, itu,” kata Vito yang menangkap pandangan tertarik Ronald. “Anak- anak organisasi pada buka stand buat open recruitment anak magang, Ron.”
“Anak magang?”
“Yap! Lo magang di organisasi yang lo pengen semester pertama ini, dijamin semester kedua lo udah bisa ikut jadi anggota tetap tanpa harus ikut oprec dan seleksi lagi.”
“Bagus juga, ya?” kata Ronald.
“Lo kelihatannya tertarik?” tanya Vito sambil menaikkan alis.
“Iyalah! Lo?”
“Hmm...” gumam Vito sambil mengelus cambangnya yang terlihat seksi. “Gue coba adaptasi di lingkungan teknik dulu, deh, kayaknya. Takut keteteran. Mungkin ikut semester dua aja, oprec beneran.”
“Oh,” sahut Ronald. “Mau ikut gue ke sana, nggak?”
“Lo mau daftar? Boleh, sekalian kepo kayak gimana,” kata Vito setuju.
Keduanya lalu berjalan menuju loko dan segera diserbu para proaktif dengan tawaran manisnya.
Begitu melewati lorong yang sesak oleh campuran mahasiswa dan ditawari masuk magang oleh para senior, Ronald dan Vito langsung membusungkan d**a, seakan- akan mereka orang yang penting bagi kelangsungan hidup kampus itu.
“Boleh Kakak... ayo dicoba... Silakan dilihat- lihat dulu Kakaak...”
(Kalimat di atas tentu saja bukan kalimat yang digunakan pada para mahasiswa senior pada mabanya. Ini hanya imajinasi Ronald semata)
Mata Ronald tertumbuk beberapa kali pada beberapa stand yang banyak itu. Ada BEM, HIMA, Pelatihan Kepemimpinan (yang diadakan oleh BEM, tapi mengatasnamakan diri mereka secara terpisah agar terlihat lebih menonjol), Ekonom Sejati (isinya mahasiswa- mahasiswa nerd yang sering mengadakan belajar bareng, tutoring bareng, dan menghitung saham tanpa modal apa- apa), ER (Economic Researcher, mereka mengaku berbeda dari Ekonom Sejati karena mereka lebih berfokus melakukan riset yang sebenarnya tak banyak berguna), Kakak Asuh (isinya mahasiswa yang gemes dan menjadi gila begitu melihat pipi gembil anak kecil dan ingin mengajari mereka menggambar dan bermain), Koma (majalah kampus, isinya mahasiswa maniak nulis yang berambut seperti Ronald dan suka berfilosofi sambil meneguk kopi), beberapa Organisasi Keagamaan, dan masih banyak lagi. Dengan wajah sombong, Ronald menunjuk- nunjuk organisasi pilihan hatinya dari kejauhan.
“Lo pengen BEM, HIMA, Pelatihan Kepemimpinan, sama Kakak Asuh?” tanya Vito tak percaya. “Lo yakin bisa bagi waktu? Dan jadi Kakak Asuh... Tahu apa lo soal anak- anak?”
Ronald tak peduli dan tetap kekeuh dengan pilihannya. Ia langsung menuju posko terdekat, posko HIMA.
“Halo, dek! Mau daftar magang HIMA, ya?” sapa senior cewek sejurusan Ronald sambil tersenyum.
“Hehe, iya Kak,” sahut Ronald sambil cengengesan.
“Udah tahu divisinya ada apa aja?”
“Ehmm...” Ronald tidak menjawab apa- apa. Dan bagai secepat elang yang menyambar mangsa, senior cewek itu segera menghabiskan sepuluh menit waktu Ronald untuk menjelaskan divisi- divisi di HIMA dengan intonasi ala sales.
“Jadi, gimana?” tanya senior itu, dengan perasaan lega dan puas dengan penjelasannya sendiri.
“Eh... kayaknya magang di Treasury aja deh, Kak.”
“Pilih satu lagi. Kan itu ada dua kolom.”
“Eh... External Relationship aja deh.”
“Oke!” seru senior cewek itu senang. “Selamat bergabung di permagangan HIMA!” sambutnya sambil memberi Ronald balon berbentuk donat. Tiba- tiba saja Ronald merasa bodoh sedetik setelah memegang balon itu, sementara Vito dengan enak- enakan menahan tawa di belakang punggungnya.
“Temannya nggak ikut daftar?” kata senior cewek itu bermanis- manis.
Vito yang masih belum beres dengan tawanya, tersedak. Dengan mata berair, dan sudut bibir yang masih menahan tawa (ini adalah keadaan sulit bagi Vito), ia berkata, “Enggak, Kak.”
“Iiih... kenapa?”
“Saya bukan anak Ekonomi, Kak. Saya mah, teknik.”
“Oh,” sahut kakak senior itu sambil lalu. Bibirnya naik- naik sedikit, karena mangsa prospektifnya ternyata palsu. Ia lalu memberi ucapan semangat pada Ronald dan melambai saat Ronald pergi, dengan sepenuhnya menganggap Vito seperti angin lalu.