ten !

1298 Words
Ronald dan teman- temannya berhasil mewawancarai seorang pelaku usaha sore itu (setelah diwarnai dengan keriuhan betapa terlambatnya teman- teman sekelompok mereka dan protes Ronald pada Ratchel yang telat satu jam). Kelompok mereka mewawancarai penjual kebab turki, tak jauh dari kampus mereka. Ronald, yang paling tepat waktu dan merasa lebih memimpin daripada Ratchel meminta agar para cowoklah yang bertugas mewawancarai, sedangkan para cewek mengumpulkan data hasil wawancara dan menyalinnya dalam laporan kelompok. Semua anggota pun setuju. Tanpa basa- basi, Ronald menunjukkan kepiawaiannya sebagai salah satu anak berotak cerdas semasa SMA, sekaligus menampik anggapan Marcus dan Ugi yang telah menganggapnya makhluk primitif PMS yang hanya tahu merepet (meski kedua bocah itu tak berada di sana). Selagi mengunyah keripik dan menunggui Vinny makan, ia telah menulis coretan tentang apa saja yang akan dia tanyakan pada saat wawancara nanti. Ia telah siap dengan kira- kira dua puluh pertanyaan saat teman- temannya yang lain datang. Begitu menanyai penjual kebab, ia memberi pertanyaan dengan rinci dan detail sekali, tanpa satupun yang terlewatkan. Ia juga berkali- kali mengecek teman- temannya yang cewek dengan lagak ngebos, memastikan apakah mereka sudah mencatat hasil wawancara dengan baik atau belum. Kadang dia sok menguji mereka : ‘Lo inget nggak tadi rata- rata penghasilan si Bapak berapa?’ atau  ‘Dia awalnya ngejalanin usahanya kayak gimana?’ atau ‘Apa aja coba peralatan yang dipunya si Bapak sekarang dan jumlah karyawannya, sebutin!’. Dan anehnya, Ratchel dan para cewek lainnya mau- mau saja menjawab pertanyaan kuis dadakan dari Ronald, tak terkecuali juga Vinny. Sore itu, Ronald sudah kembali ke rumahnya. Ia langsung duduk di kursi, bertopang siku pada meja belajarnya. Meskipun rautnya tampak normal sepanjang wawancara dan saat pulang tadi, namun sebenarnya dia masih agak shock. Kaget karena ia yang merasa sama sekali belum mengenal Vinny. Ia bahkan baru tahu Vinny memiliki tato dan ternyata juga perokok. Meski Vinny telah menyebutnya sebagai cowok bawel, namun usaha kerasnya untuk bertanya berkali- kali membuahkan hasil. Vinny kadang menghabiskan setengah hingga satu bungkus rokok sehari, hanya karena dia gabut atau sedang banyak pikiran. Bukannya itu terlalu banyak? Dan apa itu artinya Vinny sering gabut? Atau sering banyak pikiran? Tapi, jika ia melihat sifat pendiam Vinny sejak awal SMA dulu, ia jadi ragu. Bisa jadi memang Vinny sifatnya begitu atau memang ia pendiam karena ia telah melalui banyak masalah. Ronald mengangkat lengannya ke arah kursi, lalu menyandarkan kepalanya ke belakang. Tapi yang jelas, sifat pendiam tidak akan membuat seorang wanita memiliki tato apalagi merokok. Kalau tato, ya, mungkin ia hanya melihat dari trend atau ikut- ikutan temannya. Tapi kalau rokok? Ronald menggeleng- geleng. Semua ‘kan berawal dari coba- coba, dan pasti ada pengaruh dari lingkungannya. Pikiran Ronald melayang pada pembicaraannya dengan Vinny tadi. Gadis itu sempat menyebut nama Ines. Siapa Ines? Ronald menaikkan alisnya, penuh rasa penasaran. Ia tidak yakin Vinny punya banyak teman selama di SMA. Pun, bila banyak cewek- cewek yang mendekatinya karena ingin menjadi temannya, Vinny- lah yang terkesan menjauhkan diri. Ia tidak pernah terlihat akrab dengan siapapun selama masa sekolah. Tapi Ines? Siapa gadis itu, sampai- sampai dia bisa menjadi teman dekat Vinny? Apakah Ines gadis yang baik? Apa Ines salah satu orang yang mempengaruhi Vinny untuk merokok? Karena tadi Vinny sempat bilang, bahwa selama jam makan siang dia menghabiskan waktu dengan merokok bareng Ines. Jika Ines bukan penyebab Vinny menjadi perokok, tentu dia sudah membantu Vinny untuk berhenti dari kebiasaan buruk itu. Jadi, memang bisa jadi begitulah kenyataannya : dia yang memberi kesempatan pada Vinny untuk mencoba kebiasaan itu. Apalagi mengingat Ines berada di kampus yang sama dengan mereka, tentu mereka bisa sering- sering nyebat bareng. Ronald menelan ludahnya dengan pahit. Ada perasaan khawatir yang menyentil hatinya. Blak! Pintu kamar Ronald terbuka, yang membuat bocah keriting itu terkejut. Ia hampir saja jatuh ke belakang, namun dengan sigap menyeimbangkan diri. Begitu dia menoleh ke belakang, ada Angel dengan pakaian piyama berdiri di situ. Di tangannya ada beberapa buku tebal, sebuah buku tulis dan pulpen. “Ketok dulu, woi! Gue mau ganti baju!” protes Ronald. Angel hanya cengengesan seperti orang gila, lalu berjalan mendekati Ronald. “Ganti baju apaan malah duduk nyantai begitu? Bohong dosa lu, Bang! Kayak yang dikit dosa aja!” Oke, Ronald tidak bisa membantah argumen Angel yang satu ini. “Jadi, lo mau ngapain ke sini?”tanya Ronald cepat- cepat. Angel segera menggelar semua bukunya di atas meja belajar Ronald. “Ini lho Bang, ajarin gue logaritma. Ribet, nih.” “Idih, logaritma doang masa ga bisa,” ejek Ronald sambil mencibir. “Katanya udah kelas tiga.” Angel menatap Ronald dengan mata penuh teka- teki. “Lo coba dulu deh,” kata Angel menawarkan barang dagangannya. Ronald pun langsung meraih barang dagangan Angel sembari mencoba satu soal yang ditunjuk Angel. Logaritma trigonometri. “Lah, kan, ada sin- cos- tan- nya,” kata Angel. “Kalau logaritma doang sih gue bisa, tapi gue susah nginget pelajaran trigonometri itu, Bang.” Sepuluh menit kemudian dihabiskan Ronald menitikkan peluh mengerjakan satu soal yang ditunjuk Angel, sambil ditatap gadis itu penuh kearoganan. Yah, meski akhirnya berhasil dan Angel agak kecewa. “Nah, jadi gini, nih...” Ronald pun menjelaskan penyelesaian soal matematika itu. Angel kemudian meminta Ronald membantunya untuk beberapa soal lagi, dan dengan jengkel Ronald menjelaskan pemecahan soal itu pada adiknya. “Aaaah, nggak ngerti gue,” keluh Angel. “Lo nggak ikhlas ya, Bang? Soal pertama tadi lo ngejelasinnya udah pas, tapi kok soal yang sekarang malah cepet banget ngejelasinnya, kayak nggak ikhlas gitu.” Memang tidak ikhlas, jawab Ronald dalam hati. “Terus lo mau gue gimana?” tanya Ronald balik. “Ya, pelaninlah! Mana nangkep gue kalo lo ngomong kayak emak lagi nggosip gitu!” “Ya, kenapa nggak lo coba nyari sendiri sih? Usaha, dong!” “Gue udah usaha, keriting!” Dengan semangat Ronald menekek ubun- ubun adiknya. “Berani ya, sekarang, kunti!” katanya puas, begitu melihat adiknya mengaduh. “Lo juga nanyain gue pas baru pulang kuliah, capek tahu! Gue bisa ngehabisin waktu berjam- jam buat ngajarin otak bandel lo.” “Ya, kenapa nggak bilang dari tadi kalo lo capek? Ih, gue laporin emak lo, Bang, beraninya nekek anak gadis kesayangannye!” “Lapooor... lapor ajaaaa.” Angel memandangi Ronald sambil merengut. Ia masih mengelus- elus kepalanya yang masih berdenyut. “Masih mending nanya ke temen gue, sih, ngejelasinnya sampe gue ngerti dan nggak pake marah- marah.” “Ya terus, kenapa nggak nanya temen lo aja dari tadi?” tuntut Ronald. “Mana mungkin gue ketemu Ugi sekarang,” gerutu Angel putus asa. “Ugi?” ulang Ronald, terkejut. “Ugi mana?” “Ya, teman sekelas gue lah,” kata Angel sambil mengibas rambut panjangnya. “Oh,” gumam Ronald lega. Hampir saja ia tadi mengira bahwa Ugi yang dimaksud adalah teman seakuntansinya. Lagipula, anak liar macam itu mana mungkin sih, ya, bisa menaklukkan Angel? “Ugi itu siapa? Pacar lo?” tanya Ronald coba- coba. Angel tersadar. “Ops, kelepasan,” celetuknya sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan. “Hebat tebakan lo, Bang! Seharusnya gue nggak perlu pake sebut nama, ya, tadi.” “Dasar! Udah kelas tiga, bukannya sibuk belajar malah sibuk pacaran.” “Gue sekarang sibuk belajar, tahu, Bang! Gue sama dia ‘kan lagi break, makanya sekarang gue nggak bisa nanya ke dia,” keluh Angel lagi. “Break? Ngapain?” “Yaah, kita stop dulu komunikasi, sampai ujian beres.” “Lah, setahun lagi dong! Kan masih lama? Kenapa enggak enam bulan aja?” “Nggak juga. Paling delapan bulan doang,” kata Angel. “Kalau udah kelas tiga kan semuanya serba mepet.Habis itu kita kontakan lagi, deh.” “Bisa, ya, kayak gitu?” “Bisa, dong!” kata Angel dengan gaya sombong. “Lo, sih, Bang. Nggak pernah pacaran. Istilah break aja nggak tahu.” Ronald terkekeh skeptis. “Lo, gaya banget kayak dia bakalan mau banget sama lo setelah delapan bulan.” Muka Angel protes, lalu sedetik kemudian dia berteriak, “Emaaaaaaak.....” sambil keluar dari kamar Ronald. Suaranya masih menggema, dan kedengarannya ia sedang turun ke bawah, mencari- cari emak. Ronald tergelak senang, lalu menarik laci mejanya dan mengeluarkan buku keramatnya. Ia perlu menuangkan sesentil kegelisahannya tadi dalam beberapa bait. Beberapa saat ia memikirkan judul, tapi ia belum menemukan kata yang tepat. Alih- alih, ia langsung menuliskan bait kegelisahannya: Mawarku terbakar Berkerut, rapuh, tenggelam ia dalam abu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD