Kekesalan Ronald seharusnya sedikit terbungkam saat mata kuliah Pengantar Bisnisnya mendekati menit akhir. Pak Gofur meminta mereka mengerjakan tugas tentang melakukan studi kasus suatu bisnis. Bisa berbentuk apapun, mulai dari pedagang cilok, pelakon franchise, sampai pemilik showroom. Mereka harus mewawancarai para pemilik usaha dan mendapat deskripsi detail mengenai kepemilikan usaha, cara menjalankannya, hingga keuntungan rata- rata. Sedetail mungkin, dan dikumpulkan dalam bentuk laporan yang harus dikumpulkan pekan depan. Tapi untunglah, Pak Gofur yang botak di belakang kepala meminta mereka mengerjakan tugas secara berkelompok, dengan syarat minimal satu pemilik usaha yang diwawancarai.
Saat informasi ini beliau sampaikan di kelas, reaksi mahasiswa baru sangat bervariasi, sebanyak variasi lipstik yang untuk warna merahnya saja bisa dinomori hingga 11. Ada yang rusuh seperti sedang antri bantuan bahan pokok, ada pula yang kalem, sekalem gadis berkulit pucat kita. Sementara itu, Ugi dan Marcus tampak was- was. Betapa tidak? Jika pembagian kelompok diserahkan pada keinginan mahasiswa, tentu Ronald –yang kini masih uring- uringan –akan meminta agar dia diperbolehkan bergabung pada mereka. Mereka belum siap mendengarkan celotehan berkepanjangan teman baru mereka itu. Sayang, kedua bocah itu belum tahu seberapa pintar dan cemerlang otak Ronald Aditya.
Untuk beberapa saat mereka bergidik memandangi Ronald seakan- akan bocah keriting itu makhluk primitif yang mesti mereka hindari, hingga akhirnya Pak Gofur mengumumkan bahwa beliaulah yang membagi kelompoknya. Ada kelegaan di antara mahasiswa, terlebih bagi mereka yang belum saling kenal satu sama lain. Ugi, Marcus dan Ronald masing- masing ada di kelompok yang berbeda- beda. Dan satu hal yang menyadarkan Ronald dari repetannya adalah saat Pak Gofur menyebutkan namanya sesudah nama...Vinny.
Ronald seperti orang yang baru saja kena hipnotis begitu Pak Gofur selesai membacakan pembagian kelompok. Kelas pun bubar begitu beliau keluar, dan anak- anak riuh menemukan anggota kelompoknya masing- masing. Ronald akhirnya ditemukan oleh Ratchel, salah satu anggota kelompoknya. Cewek berkacamata ini begitu ambisius mengumpulkan teman- teman sekelompoknya untuk memastikan anggotanya lengkap sekaligus memperjuangkan nilainya.
“Oke teman- teman,” sorak Ratchel pada kesepuluh anggota tim lainnya. (Peringatan : ini bukan sepak bola). “Jadi, kita istirahat makan, karena sekarang udah jam dua belas lewat. Untuk teman- teman yang muslim, kalian bisa solat juga dan kita bakal ngumpul lagi di warung Pak Tejo, dekat gedung anak D3. Jam dua teng! Jelas?”
“Jelaaaas,” jawab teman- temannya senada seirama.
“Oke. Konsekuensinya, kalau ada yang terlambat datang, lebih dari jam dua, namanya nggak bakal ditulis di laporan kelompok. Kita mesti tepat waktu, soalnya kita mesti diskusi dulu siapa yang bakal kita wawancarai. Jelas?”
“Jelaaaas,” jawab teman- temannya lagi, membeo.
Dengan rasa puas Ratchel Kusumo mengangguk dan berbalik meninggalkan teman- temannya dengan wajah- wajah seakan baru saja menghadiri seminar perpajakan. Vinny masih berdiri di antara kerumunan membeo itu, namun Ronald sudah bergegas ke kantin mencari sahabat karibnya, Ugi dan Marcus.
Benar saja. Keduanya sudah menikmati batagor kuah hangat di kantin. Ronald mencabuti masing- masing sehelai rambut temannya itu. “Enak, ya, makan nggak ngajak gue?”
Marcus dan Ugi mengaduh. Dengan lidah yang menjulur- julur karena kepedasan, Ugi menjawab, “Ya, habis lo lama, sih. Kelompok lo udah langsung ngumpul aja buat bikin tugas. Lah, kita kan udah laper banget.”
“Pada rajin ya, anggota lo?” tanya Marcus.
Ronald duduk di bangku panjang di hadapan temannya dan memesan batagor kuah juga. “Ratchel doang yang rajin, mah.”
“Siapa Ratchel?”
“Itu, yang kacamata. Yang rambutnya sebahu.”
“Ooh.”
“Kalian ngerasa nggak sih, kalo teman sekelas kita banyak yang kayak blasteran?” tiba- tiba Ugi berceletuk.
“Masa’ sih?” tanya Ronald.
“Soalnya temen sekelompok gue ada yang blasteran,” kata Ugi. “Neneknya Belanda atau apa gitu. Bapaknya juga setengah- setengah.”
“Lah, yang lo deketin tadi juga blasteran bukan, Ron? Yang lo anggep ‘temen’ lo itu?”
“Vinny?”
“Ooh, namanya Vinny?”
“Ya kan gue satu sekolah sama dia dulu. Jelas tahulah, namanya.”
“Jadi? Dia blasteran?” tanya Marcus.
Ronald hanya mengangkat bahu.
“Aaah, temen apaan kayak begitu, bonyoknya aja lo nggak tahu.”
Ronald hanya tersenyum simpul. Ia lelah berargumen karena aroma batagor kuah yang menggoda sudah sampai ke bulu hidungnya.
***
Ronald sangat paham dan mengerti maksud Ratchel mengumpulkan mereka di tempat makan pukul dua. Warung makan dan kantin hanya akan penuh pada jam istirahat utama, yaitu jam dua belas, karena mahasiswa banyak yang harus mengisi perutnya untuk melanjutkan kelas pukul satu. Sementara itu anak- anak yang tidak ada jadwal kuliah di jam satu juga tak akan mau mengalah untuk makan lebih lambat, karena apapun yang terjadi, urusan perut harus diperjuangkan. Jika anak- anak yang masuk kelas di jam satu menghadiri kelas mereka tepat waktu, sudah bisa dipastikan pukul dua kantin dan warung makan sedang kosong- kosongnya.
Ronald bergegas menuju kantin Pak Tejo siang itu meski saat itu jam belum menunjukkan jam dua. Ia hanya ingin menunjukkan dedikasinya akibat ejekan- ejekan Marcus dan Ugi padanya selama makan batagor tadi. Warung Pak Tejo begitu mudah ditemukan, tidak sesulit mencari jarum dalam jerami. Begitu ia berada di dekat gedung D3, ia bisa melihat lapak dengan kain bertuliskan ‘Warung Pak Tejo’ terpampang besar- besar, tak jauh dari pagar. Dengan cepat, Ronald melangkah menuju warung itu, berharap mendapat pujian setidaknya dari Ratchel, si ambisius.
Namun begitu ia sampai di sana, warung itu kosong melompong. Pak Tejo, terlihat berbalik tersenyum padanya, “Mau makan apa, Nak?”
Ronald mengangguk sopan, “Maaf, Pak, saya cuma nunggu teman.”
“Ooh. Ya, silakan. silakan.” Pak Tejo pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sedetik saat ia baru mendaratkan diri di bangku warung Pak Tejo, sesosok gadis masuk. Vinny. Ia memandang sebal pada Ronald, tapi tetap mengambil tempat duduk tepat di depan bocah keriting itu. Dia lalu melambai pada Pak Tejo. “Nasi goreng, ya, Pak.”
Pak Tejo mengiyakan, dan segera membuatkannya untuk Vinny. Ronald? Bisa ditebak, ia memandang Vinny heran.
“Kok lo duduk di depan gue?” tanya Ronald sengit. Ia masih kesal karena tadi Vinny mencuekinya dan menganggapnya debu ruangan.
“Kenapa? Kan kita sekelompok! Masa gue duduk di bangku ujung!” protes Vinny balik.
Ah, benar juga, batin Ronald. Ia kemudian memilih diam, menahan malu dan panas terik jam dua siang.
“Lo bener,” kata Ronald mengakui, sambil agak malu. “Panas, ya, sekarang?” katanya cepat- cepat, demi menutupi kebodohan pertanyaannya tadi.
Yang ditanya sama sekali tidak menjawab, namun hanya memandang ke arah lain. Sekilas Ronald memandang pada gadis itu. Meski dia diam, tapi Vinny juga terlihat sama gerahnya dengannya, bahkan lebih kegerahan. Betapa tidak, dia memakai kemeja flanel yang cukup tebal, ditambah warna kemeja yang gelap : abu- abu dan hijau tua. Bintil- bintil keringat mulai muncul di puncak hidung dan leher gadis itu.
Tiba- tiba saja Vinny membuka kancing kemejanya, yang sontak membuat Ronald kaget tak percaya. Ia memalingkan pandangannya, tapi Vinny meneruskan membuka kancing kemeja itu sampai paling bawah. Sekuat tenaga Ronald memicingkan matanya, tapi godaan membuatnya tak bisa.
Kok lo gini banget sih, Viiin?
Vinny yang beberapa saat kemudian menyadari ekspresi Ronald, kemudian terkekeh. “Apaan sih, lo? Gue pakai kaos, tahu.”
Alis Ronald naik saat mendengar kata- kata itu.Dengan sedikit keragu- raguan, Ronald mengembalikan pandangannya ke depan. Memang benar, gadis itu memang mengenakan kaos yang juga berwarna hitam di balik kemeja flanel itu. Ia bernapas lega sesaat sebelum menyadari bahwa tepat di bagian bawah leher Vinny, ada tato mawar yang dililit naga. Gadis berkulit pucat itu masih mengibas- ngibas kerah kemejanya, mengalirkan angin ke area leher dan rambut tanpa menyadari keterkejutan Ronald.
Jadi selama ini Vinny bertato?
Ronald berusaha mengamankan ekspresinya agar bisa senormal mungkin saat melihat Vinny. Ia mulai membayangkan bagaimana reaksinya keluarganya jika dialah yang memiliki tato. Mungkin ia akan segera dicoret dari Kartu Keluarga oleh emak, dipecut dengan ikat pinggang lalu dibuang di jalan oleh babe, dan tentu saja dengan dikompori oleh Angel agar emak dan babe menambah siksaannya.
“Gue nyebat, yak?” tanya Vinny tiba- tiba meminta izin, yang membuat Ronald bangun dari lamunannya tentang siksaan ikat pinggang.
Ronald terperangah. “Lo ngerokok?”
“Iya. Emang kenapa? Lo nggak nyaman sama asap rokok?”
“Oh, nggak masalah sih,” kata Ronald.
“Yaudah,” kata Vinny sambil mengeluarkan sebungkus rokok mahal dan pemantik dari tas cantiknya. “Lo mau?”
Ronald melambaikan tangan. “Gue nggak ngerokok.”
“Oke,” jawab Vinny dengan anteng. Ia menyalakan rokok sebatang dan menghembuskan asapnya ke arah samping. Tiba- tiba tanpa ditanya dia berkata, “Kelamaan nungguin nasi goreng, gue. Makanya deh, ngudud.”
Ronald ingin tahu beberapa hal tentang gadis di depannya ini. “Lo nggak makin kegerahan panas- panas gini ngerokok?”
“Nggak,” jawab Vinny singkat.
“Bonyok lo tahu, lo ngerokok?”
Vinny tidak menjawab apapun, namun hanya tersenyum miring. Sekali lagi ia menghirup rokok itu dan menghembuskan asapnya dari hidung.
Ronald masih penasaran tentang hal lain. “Kok lo baru makan sekarang, Vin? Tadi nggak makan?”
“Kantin penuh,” jawabnya singkat.
Ronald melirik jam di warung Pak Tejo. Sudah jam dua kurang seperempat. Tak jauh dari mereka terdengar osekan di wajan dan wangi bawang goreng yang menguar.
“Sempet emang, makan seperempat jam?” tanya Ronald sangsi.
Vinny tersenyum. “Lo kira mereka bakalan pada dateng jam dua teng gitu? Si kacamata itu aja belum tentu nyampe sini jam segitu.”
Dalam hati Ronald membenarkan. Penampilan ambisius belum menjamin kedisiplinan seseorang juga ambisius.
“Jadi, lo tadi ngapain aja dong?” tanya Ronald lagi.
Wajah Vinny berkerut jengkel. “Tadi gue bareng temen gue Ines. Nyebat bareng.”
“Ines?” tanya Ronald menaikkan alis. “Ines mana?”
Kerutan jengkel di wajah gadis itu bertambah empat kali lipat. “Lo kok bawel banget sih?” Gadis itu lalu menjulurkan tangannya ke arah kotak yang berisi penganan kecil dan mengambil sebungkus keripik balado. Ia menaruh keripik itu tepat di depan Ronald. “Gini aja, gue traktir lo keripik ini asal lo janji buat berhenti nanya- nanyain gue. Ngerti? Kalau kurang tambah aja.”
Sepuluh menit kemudian, Ronald mengunyah keripik balado ronde ketiga sambil mempelototi Vinny yang tengah menikmati nasi goreng.
Makanan juga prioritas utama bagi Ronald.