five !

2034 Words
Ronald melewati acara syukuran dengan tumpeng- pendaftaran ulang- pengambilan almamater- dan segala t***k- bengek perkampusannya dengan muka datar. Tidak banyak yang menarik, dan tak ada yang membangkitkan semangatnya seperti ketika ia berkumpul dengan kawan- kawan sebobroknya itu. Ares sudah mendapat pengumuman kelulusan di salah satu kampus bisnis swasta terkenal, dan mulai sibuk mengurusi semua administrasinya. Igun, Deni, dan Vito mulai sibuk mengurus perlengkapan kuliah mereka. Walau masih satu kampus, Deni dan Vito punya kesibukan masing- masing sesuai arahan jurusan mereka. Begitu pula dengan Igun. Dia masuk jurusan ekonomi pembangunan, dan mulai sibuk dengan arahan senior ketua himpunannya tentang acara kumpul- kumpul dan malam keakraban. Ronald jadi berpikir- pikir. Kenapa cuma jurusannya yang saja yang kelihatan anteng? Kecilnya probabilitas berkumpul dengan konconya membuat Ronald  sangat antusias begitu ponselnya menyala karena ada notifikasi pesan atau ada panggilan masuk. Beberapa kali harapannya sempat jatuh terpental karena notifikasi pesan yang masuk selama beberapa hari ini hanya berasal dari provider teleponnya. Begitu ada notifikasi lagi, Ronald mengabaikan dan memilih menggelitik perut Macho. Sore ini, Ronald super sibuk. Meski wajahnya datar, sesekali ada juga rasa bangga dalam rambut keritingnya saat mengetahui fakta bahwa ia lulus di Akuntansi. Ia tengah mencoba- coba almamater di depan cermin kamar, mengenakan dasi, dan memutar- mutar tubuh di depan kaca. Persis seperti emaknya yang hendak ke kondangan. Tilulit! Ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan masuk lagi. Dengan ogah- ogahan, Ronald membuka kunci layar dan mengecek. Oh, sepertinya sekarang ia bisa antusias.  Selamat sore! Saya Nindya, kakak pembimbing kelompok sebelas untuk Ospek Fakultas Ekonomi bersama dengan Faza. Ospek akan dilaksanakan tanggal 4 Agustus, dan di tanggal 3 Agustus kita akan berkumpul dulu untuk membahas kelengkapan (khusus bagi kelompok 11). Diharapkan semuanya hadir pada tanggal tersebut pukul 4 sore di Lorong Rektorat (Lorek). Kalian bisa bertanya pada mahasiswa lain tentang lokasi Lorek. Semangat! Ronald begitu senang saat mendapati pesan itu karena pesan yang masuk bukan lagi dari provider tercinta. Ia membaca sekali lagi pesan itu, karena tadi keantusiasannya membuat tak ada satu pun kata- kata pesan itu yang mengalir ke dalam kepala Ronald. Begitu selesai membaca, Ronald jadi ingat sesuatu : Jika Ospek hanya dilakukan per Fakultas dan tidak ada Ospek Jurusan, bukannya tiap kelompok akan memiliki anggota dari masing- masing jurusan? Ada tiga jurusan di Fakultas Ekonomi : Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi Pembangunan. Bukannya itu berarti ia bisa saja sekelompok dengan Igun? “Halo, Guna,” sorak Ronald di telepon, setelah dengan secepat ninja memijit nomor di ponselnya. “Suara lo kekencengan, Keriting sialan,” gerutu Igun. “Sori, sori, deh,” kata Ronald sambil nyengir. “Lo udah dapet pesan dari kakak pembimbing lo belum? Lo kelompok berapa?” “Udah, Ron. Kelompok delapan gue.” “Haaah,” ungkap Ronald kecewa. “Ga sekelompok dong kita.” “Udah tahu. Lu sebelas kan?” “Lah, kok tahu?” “Keritingku, gue memang akui lo pinter, tapi juga gue akui lo cukup cuek kalo sama sesuatu yang nggak menarik minat lo.” “Hm? Maksudnya?” “Informasi Ospek kan bisa lo lihat di portal siswa, Ron. Lo nggak pernah ngecek?” “Pernah, sih, sekali. Sebelum pendaftaran ulang.” “Yaah, infonya terus di-update sesudah pendaftaran ulang, Ron.” “Ooh.” “Lo bisa lihat nama- nama anggota kelompok lain juga, dan ada berapa kelompok.” “Emang ada berapa kelompok?” “Dua puluh, Keriting.” “Tiap kelompok ada berapa orang?” “Cek sendiri dong.” “Nggak, ah. Males. Nghabisin kuota.” “Yaelaah. Bakal habis berapa sih.” “Oke deh. Sering- sering kabarin gue ya, Gundam.” “Oke.” “Lo kok kelihatannya nggak semangat banget, sih?” “Nah lo ‘kan tahu sebabnya apa?” “Iya sih. Belajar ikhlas, lo. Oke, gue matiin dulu.” “Iya. Sip.” Ronald mematikan sambungan. Memang benar kata- kata Igun. Dia tidak tertarik mencari tahu hal- hal yang tidak menarik hatinya. Lalu apa yang menarik hatinya? Menulis puisi tentu! Kalau siapanya? Oh, Vinny tentu. Ronald tertawa sendiri dalam hati. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, berniat mengecek media sosial. Macho, kucing coklat berwajah pemberang (namun sebenarnya baik hati), berjalan di dekat kaki dipan, mengeong- ngeong. Ia lalu melompat ke atas perut Ronald nan berlemak, lalu mendengkur di sana. Sementara Ronald membuka f*******:, ia kembali mencari nama Vinny di kolom pencarian. Mungkin ia bisa dikategorikan stalker yang hebat. Ia tahu Vinny memang tidak mempost apapun di halaman media sosialnya, tapi Ronald bukan orang yang pantang menyerah. Ia membuka satu- persatu profil orang- orang yang berteman dengan Vinny di f*******:. Dari pencarian yang butuh waktu berjam- jam itu, Ronald bisa memperoleh hasil menggiurkan. Ia bisa tahu ayahnya, ibunya, siapa saja teman- teman satu sekolahnya selama di SMA dan SMP, juga kerabatnya. Dari postingan teman- teman f*******: Vinny, ia juga bisa tahu kegiatan terakhir Vinny, apakah itu bersama teman ngumpulnya atau bersama keluarga. Kadang ia merasa ngeri sendiri jika orang lain melakukan perbuatan yang sama padanya, tapi mau bagaimana lagi? Dia tak bisa berkomunikasi langsung dengan gadis itu, jadi ia hanya bisa menjadi stalker ekstrim seperti ini. Ronald sudah puas mengklik satu- persatu profil teman Vinny di f*******:, dan kini ia sudah kembali pada halaman utama profil Vinny. Ronald menghembuskan napas. Pencariannya hari ini sia- sia, sebab akhir- akhir ini teman SMA Vinny juga jarang mempost sesuatu. Mereka sepertinya sama sibuknya dengan konco Ronald yang tengah mempersiapkan kehidupan kuliah mereka. Ronald memejamkan matanya sejenak, masih dengan memakai almamater plus dasi dan ponsel dalam genggaman. Kesadarannya melayang, dan tiba- tiba ia seperti mendengar suara senior imajinasinya yang memarahinya karena memakai almamater tapi bersepatu bola... Tulik! Mata Ronald cepat membuka. Tidak salah kalau bunyi itu dari Facebooknya. Ia menghidupkan kembali layar  ponselnya yang sudah menggelap akibat tidur ayamnya beberapa menit. Namun apa yang dia tatap di layar sama sekali tidak seperti yang ia harapkan. Arvinny Angelica accepts your friend request. 1 minute ago. Sejurus dan secepat kilat Ronald bangun dari rebahannya, begitu cepat hingga Macho yang tengah bersantai di perut tambunnya, terpelanting ke lantai. Macho meraung marah, lalu pergi meninggalkan kamar itu dengan sombong, namun Ronald tidak peduli. Keterkejutannya masih belum habis. Napasnya megap- megap bagai ikan koi yang baru dikeluarkan dari air. Bagaimana ini? Ia tidak mungkin meng-unfriend Vinny kan, setelah baru saja mengirim permintaan pertemanan? Yah, meskipun permintaan pertemanan itu tak disengaja. Sepertinya ponselnya terklik otomatis saat jatuh di atas wajahnya. Apa diklik oleh hidungnya yang mancung? Lagipula kenapa ia harus ketiduran saat sedang mengecek beranda profil Vinny? “Ahhh, sial!” gerutu Ronald sambil menggaruk- garuk kepalanya. Tapi sepertinya menggerutu membuat otaknya mampu berpikir sedikit lebih jernih. Bukannya tidak jadi masalah mengirim permintaan pertemanan pada gadis itu? Lagipula ‘kan mereka masih satu sekolah? Begitulah bisikan otak Ronald, menghembus- hembus telinganya. Ronald mengangguk. Bagaimanapun, memang benar. Tak ada yang perlu dicemaskan karena mereka masih satu sekolah dan bahkan sempat sekelompok juga saat MOS dulu. Apa yang perlu dicemaskan, selain persiapan ngumpul kelompok tanggal 3 Agustus? *** Dengan pakaian hitam- putih sesuai dresscode, Ronald berjalan menuju Lorek yang dimaksud kakak pembimbing kelompoknya. Ia cukup cepat sampai di kampus itu, dan segera bertanya pada mahasiswa- mahasiswa yang masih nongkrong di kampus saat masa libur. Bisa dipastikan bahwa mereka salah satu dari mahasiswa yang : numpang wifi gratis, sibuk mengerjakan skripsi dan tengah bimbingan, atau mahasiswa kurang kerjaan. Tadi sempat terjadi kebingungan pada Ronald saat bertanya tentang Lorek pada mahasiswa di sana. Mahasiswa yang ia tanyai –berambut gondrong dan dengan baju kusam menguarkan bau belum mandi –menanyainya balik, “Maksudnya Lorek, Loro, apa Loko?” Ronald menganga mendengar pertanyaan itu. “Emang ada bedanya, Bang?” “Jelas beda,” kata mahasiswa gondrong itu penuh gaya, karena merasa jauh lebih berpengetahuan di depan maba yang masih planga- plongo. Padahal belum tentu ia bisa berkata begitu di depan dosen pembimbingnya. “Kalau Lorek tinggal lurus aja dari sini, gampang kok nemuinnya. Lorongnya yang paling gede dan bersih, wifi-nya juga paling kenceng. Kalau Loko, lo harus jalan ke belakang gedung IT, nah lo cari aja dekat kantin. Kalau Loro, di dalam gedung IT.” Ronald mengangguk- angguk. “Bentar ya, Bang. Gue cek dulu.” “Oke.” Ronald mengeluarkan ponselnya dan mengecek lagi pesan itu. “Lorek, Bang.” “Berarti lo tinggal lurus aja.” “Sip, makasi ya, Bang.” “Yo.” Ronald bergegas berjalan ke arah yang ditunjukkan tadi. Di tengah jalan dia lupa menanyakan singkatan lorong yang lain pada abang itu. Ah, tapi biarlah, masih ada waktu empat tahun penuh yang bisa ia gunakan untuk tahu lorong- lorong di kampus ini, bahkan jika itu lorong tergelap dan terjahat sekalipun. Dengan anteng Ronald melirik jamnya sekali lagi. Masih pukul 15.52. Belum, belum terlambat. Ia terus berjalan dan menemukan gedung rektorat. Tepat agak ke sampingnya, terdapat lorong yang sudah dipenuhi orang- orang, entah siapa. Ronald pun meneruskan langkahnya. Sesampai di sana, ia menemukan sekitar belasan orang sudah duduk berjejalan, dan ada dua orang mahasiswa dengan pakaian stand out di sana —jelas sekali keduanya adalah pembina kelompoknya. Dan jelas pula, yang perempuan bernama Nindya, dan yang lelaki bernama Faza. Faza berdiri, dan menatap Ronald tajam- tajam. Ia berjalan mendekati Ronald dan bertanya dengan sengit, “Kamu kenapa terlambat?” Ronald membulatkan matanya. “Ini ‘kan belum jam empat, Kak!” “Tahu, nih, Faz. Sok galak lo,” kata Nindya. Matanya berpindah pada Ronald dan ia melayangkan senyumnya. “Masuk aja, dek. Emang belum mulai, kok.” Maba- maba berwajah polos tampak menatap Ronald dengan tatapan mendakwa, seakan Ronald telah membuat kesalahan fatal. Ronald benar- benar risih. Dia menyeruak di antara teman mabanya yang  duduk bersila di lantai, mempelototinya selagi ia lewat. “Permisi, permisi. Duh, maaf, ya. Permisi,” kata Ronald sambil membungkukkan badan sedikit. Ia mencari tempat duduk paling belakang, supaya jika maba- maba resek itu melihat lagi ke arahnya, mereka harus memutar kepala seratus delapan puluh derajat. Ia mencari tongkrongan paling belakang karena ia cukup yakin dengan ketajaman pendengarannya. “Oke, sudah jam empat, ya,” kata Nindya sambil berdiri di depan anak- anak baru. Semua anak, termasuk Ronald melihat ke arahnya. Nindya sempat kagok, namun tetap mengangkat suaranya dan berkata, “Sebelumnya, saya ucapkan selamat datang bagi teman- teman mahasiswa bar...” “Heh,” potong seseorang tepat di samping Ronald. Suaranya tidak menginterupsi Nindya, tapi lebih tepatnya dia berkata pada Ronald. Ronald menoleh, mendapati wajah pucat di sampingnya. Vinny! Ternyata benar, dia juga masuk Fakultas Ekonomi! Ronald mendehem sedikit untuk menemukan kewibawaannya, “I, iya..?” Sayangnya Vinny tidak terpesona. Dia langsung bertanya blak- blakan, “Lo kan, yang beberapa hari lalu ngirim permintaan pertemanan ke gue?” “Eh?” gumam Ronald tercengang. Vinny memandangi dingin. “Nggak usah belagak  lupa, deh. Lo kan barengan gue juga pas MOS SMA.” Meskipun ini bukan perkenalan yang Ronald inginkan, tapi hatinya begitu senang. Vinny mengingatnya! “Iya, bener.” “Oke,” sahut Vinny lagi singkat. Ronald bermaksud buka suara lagi, mengajak Vinny berkenalan. Kapan lagi? Tiga tahun SMA-nya sudah ia habiskan untuk mengamati gadis itu dari kejauhan, dan kini ia punya kesempatan kedua untuk mengenalnya lebih dekat! Ronald mengulurkan tangannya pada Vinny seraya berkata, “Oh, iya. Kenalin, gue Ron...” “Ssstt!” bisik Vinny sambil memandangnya tajam. “Lo mau kita kena marah sama Faza lagi?” Bocah keriting yang tengah bahagia itu lupa bahwa ia sedang dalam acara kumpul kelompoknya. Ia lalu menoleh lagi pada Vinny dan berbisik, “Ya, udah. Yang penting, gue kasih tahu lo. Nama gue Ronald Aditya. Gue jurusan Akuntansi.” Vinny diam, tanpa memperhatikan Ronald. Ini membuat Ronald berbisik lagi, “Lo, Vinny, ‘kan? Lo masuk jurusan apa?” Sekali lagi Vinny diam, namun kediamannya makin terlihat jelas. Ronald masih berbisik, memanggil- manggil Vinny yang mengabaikannya tanpa menyadari ada sosok yang telah menyeruak di antara ‘maba- maba polos dengan tatapan mendakwa’. Faza. Pria itu segera menarik beberapa ujung rambut keriting Ronald. “Sudah tahu terlambat, nggak rapi, ngobrol lagi!” teriak Faza. “Mau saya kasih hukuman?” Ronald mengaduh kesakitan. “Maaf, Kak! Maafkan saya!” Perkiraan Ronald salah tentang sakit leher yang akan diderita teman mabanya yang penuh ingin tahu itu. Leher mereka ajaibnya berputar baik saat melihat Faza memarahi Ronald ditambah cekikikan menertawai si bocah keriting.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD