Angin berteriak, alih- alih berbisik lirih
Menyibak bisik- bisik riuh rendah yang memekak telinga
Ada hujan yang dibawanya
Goresan di kertas itu terhenti sejenak, sementara si pemiliki tangan tengah memikirkan lanjutan puisinya. Tangan itu berkeringat, menyisakan bekas lembap yang perlahan mengering di kertas yang sama. Seorang pemuda lain yang mengenakan seragam sekolah yang sama ikut berjongkok di samping pemuda yang tengah menulis itu.
“Masih megang buku aja lo, Ron,” sapa temannya itu, yang lalu membuka tutup botol teh. Pria yang disapa, memicingkan matanya, menengadah ke arah pohon beringin yang merindangi mereka. “Lo, bisa diam bentar gak, To? Gue lagi mikir, nih.”
Sang teman, Vito, yang sudah meneguk teh botolnya hanya bersendawa panjang. Ia berceletuk, “Cuman lo satu- satunya teman gue yang masih pengen mikir setelah UN selesai. Lo nggak capek, apa?”
Ronald mengabaikan protes Vito, lalu melanjutkan menulis. Vito ikut mencuri pandang ke kertas yang tengah ditulisi Ronald. “Wuidih, dalem banget! Kalau lo punya pacar, dia bakalan klepek- klepek karena lo bikinan puisi setiap hari.”
Tangan itu kembali berhenti sejenak, dan pemiliknya buka suara, “Emak gue lebih milih punya pacar yang pinter masak biar bisa dimasakin setiap hari.”
Temannya yang baru saja meneguk teh botol, mendengus menahan tawa. Air yang hendak masuk melalui kerongkongan berputar arah ke tenggorokan, memuncratkan teh botol bercampur residu hidung melalui lubang hidungnya.
“Wanjir, kampret!” rutuk Ronald. “Lo jorok banget, sih? Hampir aja mahakarya gue kotor kena teh upil lo.”
Vito batuk- batuk dan hidungnya berlendir, yang dengan joroknya ia seka dengan lengan baju. Setelah batuknya mereda, ia protes pada teman pujangganya itu dengan mata berair. “Kenapa jadi bawa- bawa emak lo?”
“Habis lo rewel banget kayak emak gue,” kata Ronald sambil melihat ke arah Vito dengan pandangan ‘masa- bodo’, lalu kembali menulis lagi tanpa beban. Tinggal bait terakhir. Sementara Vito, mendehem- dehem memastikan paru- parunya tak terkontaminasi teh botol.
Puisi itu selesai. Ronald menutup bukunya dengan senyum berseri- seri seakan baru saja mendapat jatah bolos piket selama setahun penuh. Dengan penuh semangat ia menepuk punggung Vito sekuat tenaganya sambil berkata penuh senyum damai, “Ngebakso, yuk?”
“Brengsék!” umpat Vito.
Ia lagi- lagi tersedak akibat tepukan terlalu keras itu. Teh rasa melati sepertinya dengan senang hati menjelajahi tenggorokannya lagi, yang hanya dibalas teman sekonconya itu dengan tawa terbahak- bahak. Ronald menyelipkan buku tulisnya di punggung dan melangkah dengan gagah.
Sungguh, nasib Vito dan teh melatinya itu kurang beruntung hari ini. Tapi bagaimanapun, Vito tetap mengejar karibnya yang telah lebih dulu berjalan ke kantin.
“Hidup lo kayak nggak ada beban banget, ya,” celetuk Vito lagi. “Kayaknya lo nggak perlu khawatir mau masuk perguruan tinggi mana.”
“Khawatirlah,” kata Ronald anteng. “Gue juga perlu belajar untuk masuk kuliah.”
“Ah, lo ‘kan temen brengsekk gue yang pinter.”
“Iya dong, siapa dulu,” pamer Ronald sambil mengguncang sedikit kerah bajunya. “Lo pengen masuk mana nanti?”
Vito merangkul bahu Ronald sambil mengerutkan kening. “Kayaknya gue bakal masuk teknik, deh. Lo?”
“Gue sih ekonomi,” jawab Ronald pede.
Vito menepuk bahu temannya. Matanya membelalak. “Lah, kok? Gue kira lo bakal ngambil teknik juga! Pertambangan kek, mesin kek, apalah...”
“Emang wajib?”
“Ya kagak, Kriting! Lu, mah... wah, bener- bener,” kata Vito sambil geleng- geleng kepala, gemas, tak tahu harus berkata apa. “Lo pengkhianat jurusan, nih!”
Mendengar itu, Ronald tertawa terbahak- bahak. Kantin tepat beberapa meter di depan mereka, dipadati dengan siswa- siswi kelas tiga yang hilir mudik, baik kenyang ataupun lapar. Siswa kelas tiga memang tidak banyak kerjaan sekarang, sementara siswa kelas satu dan dua masih akan menghadapi ujian semester minggu depan. Siswa kelas 12 ini sudah dicelupkan pada berbagai variasi ujian berturut- turut, mulai dari try out, UN hingga ujian sekolah, yang berhasil membuat mereka kering kerontang bagai jemuran yang baru diperas. Tapi ada satu hal yang sama pada ekspresi mereka semua : tak ada beban masalah yang mereka pikirkan di otak selain insting makan.
Ronald mengerling sedikit saat berpapasan dengan segerombolan gadis jurusan IPS berjalan melewati mereka. Sudut matanya tertuju pada siswi paling belakang yang berkulit putih pucat dengan tinggi sedang. Ronald menghembuskan napas, mengeluh. Untuk kesekian kalinya, wajah gadis itu masih saja datar dan arogan. Padahal dia sudah berniat menyapa si gadis. Namun bagi Arvinny Angelica, jangankan ia berniat melihat ke arah Ronald, menyadari keberadaan pria itu pun tidak.
“Hoi,” kejut Vito. “Kalau udah liat cewek- cewek cantik aja, mata lo langsung segede jengkol.”
“Eh,” seru Ronald tiba- tiba, “Apa kita makan nasi rames jengkol di warung Bi Suminah, aja, ya?”
“Tumben?” protes Vito.
“Lo ga mau?”
“Ya, maulah,” jawab Vito semangat. Mereka berdua langsung berputar haluan, searah dengan gerombolan gadis tadi.
“Bilang aja lo pengen ngeliat cewek- cewek cantik di depan kita, kan?” tanya Vito, berbisik pelan. Matanya mengarah pada gerombolan gadis yang beberapa langkah di depannya. Ronald tak menjawab pertanyaan itu melainkan hanya mempercepat langkah, yang segera disusul Vito. Sekali lagi, Ronald mengerling pada gadis paling belakang berkulit pucat, berusaha sebisa mungkin agar curi pandangnya tidak disadari konconya itu.
Begitu mereka berhasil melewati gadis- gadis itu, Vito merangkul Ronald lagi dan bergumam pelan, “Yang mana yang lo suka?”
Ronald sebenarnya tidak ingin membicarakannya dengan Vito, ia hanya berujar “Hm”- “Hm” tanpa benar- benar mendengarkan Vito.
“Yang depan?”
“Hm.”
“Kiri apa kanan?”
“Hm.”
“Kanan lebih cantik sih yaa?”
“Hmmmm.”
“Selera lo boleh juga.”
“Hm, hm.”
“Yang pake pita, kan?”
“Hm.”
“Gue kasih tahu dia, ya?”
“Hm –Hah??”
Ronald baru menyadari perkataan Vito barusan dan segera mencengkeram kerah baju temannya itu, yang sudah memutar tubuhnya ke belakang. Ronald bersorak tepat di telinga Vito, “Apaan sih, lo? Ya, bukanlah!”
Tapi luput, dan sudah sangat terlambat. Vito sudah bersorak keras- keras, “Neng di depan yang pake pita! Temen gue, Ronald, suka sama kamu, nih!” Vito berteriak genit sambil menaruh telapak tangannya di depan mulut, berpura- pura malu.
Sorakan konyol itu lantas membuat gerombolan gadis itu tertawa cekikikan. Ronald sempat melihat ke belakang, mendapati para gadis yang mendorong- dorong temannya yang mengenakan pita di rambut, dan men’cie-cie’kannya.
Cewek- cewek memang aneh. Apa perlunya mendorong gadis pita itu sampai hampir jatuh begitu?
Untuk sepersekian detik Ronald tak menyia- nyiakan kesempatan untuk melihat Vinny, si gadis berkulit putih pucat. Ekspresinya masih dingin dan datar. Kakinya melangkah pelan mengikuti teman- temannya, sementara matanya hanya fokus pada ponsel yang ia genggam.
Sekali lagi Ronald merasa kecewa, yang ia lampiaskan pada teman sebobroknya itu. Lengannya memiting leher Vito. Vito, yang baru saja puas tertawa- tawa seperti orang gila, segera batuk- batuk. Dengan gemas, Ronald mencabuti satu- persatu helaian hitam dari kulit kepala Vito, yang mengaduh kesakitan. Ronald melembut- lembutkan suaranya, “Sini, Bang. Aye cabutin ubannya, yuk!”
Kini tak hanya gerombolan gadis itu yang tertawa sampai kerongkongan mereka kering, tapi juga jadi bahan tertawaan orang- orang yang lewat di dekat kantin itu.
Kelulusan sekolah sepertinya membuat beberapa orang menjadi gila.
***
Dua piring nasi rames lengkap dengan sayur porsi kuli, telur goreng dan jengkol telah terhidang di depan mata Ronald dan Vito. Vito menjulurkan tangan mengambil kobokan, lalu bertanya, “Lo yakin soal masuk ekonomi, Ron?”
Ronald melahap suapan pertama nasinya dengan nikmat. “Yakin. Emang kenapa?”
“Yaaa, enggak sih, gue kan jadi sedih aja pisah sama lo,” jawab Vito pelan. Tangannya lincah mengaduk- aduk nasi.
Mata Ronald sekarang memang sesuai definisi sebesar jengkol. “Lo, kok jadi melow gini?”
Vito berhenti mengaduk nasinya. Ia memandang Ronald dengan mimik penuh kesedihan dan kelaraan. “Lo tega mencemooh rasa perih gue yang tulus ini?”
Tangan kiri Ronald langsung mendorong pipi Vito jauh- jauh darinya. “Udah, ah. Jijik gue.”
Vito tertawa terbahak- bahak, sementara kawan- kawan mereka yang lain ikut nimbrung. “Siapa nih, yang lagi jijik- jijikan? Eike ikut dong,” celetuk Ares yang duduk di samping Vito, disusul Igun dan Deni yang duduk di dekat Ronald. Mereka bertiga seangkatan dengan Ronald dan Vito. Bedanya, Ares dan Igun dari jurusan IPS, sedangkan Deni sama- sama dari IPA, meski berlainan kelas dengan Ronald dan Vito.
“Hwinni nih,” gumam Vito tak jelas, dengan mulut penuh nasi. “Wonald Kwiting mo mohok ekhonomi.” Maksud Vito sebenarnya adalah ‘Ronald Kriting mau masuk ekonomi’.
“Hah?” seru Ares terkejut. Ia menatap Ronald dengan mata sipitnya, penuh kearoganan. “Ooooh, jadi elo yang mau ngerebut jatah kursi gue?” tantang Ares.
“Bodo,” sahut Ronald acuh tak acuh. “Lo bukannya ga masuk kampus kota ini, Res? Lo di Jakarta, kan? Swasta? Yang jurusan bisnisnya BAGUS BANGET itu?” Ronald sengaja menekankan kata ‘bagus banget’-nya dengan wajah licik.
Ares nyengir, sementara itu Deni berkomentar, “Oo, iya, gue lupa Ares mah ‘kan ‘holang kaya’, ya?”
Ares menekek ubun- ubun Deni lalu tertawa senang. “Hahaha, tahu aja lo gue ‘holang kaya’.”
Igun berceletuk, “Tahu, nih, Plontos. Mestinya gue yang marah sama Kriting, kan jatah kursi gue yang dia ambil. Mana bisa gue saingan sama otaknya Kriting.”
“Bukannya lo mau masuk Hukum, ya, Iguana?” tanya Ronald penasaran (Igun, atau nama lengkapnya Gunawan, selalu dipanggil teman bobroknya ‘Gundam’, ‘Guna-guna’, atau ‘Iguana’. Sesuai selera. Bisa berubah sesuai ketentuan).
“Iya, emang pengen. Tapi emak gue pengennya lain.”
“Lah, kan elu yang mau ngejalanin?” tanya Ares sambil mencomot jengkol Vito, tepat di sampingnya.
“Iya emang sih,” kata Igun, yang ikut- ikutan mencomot jengkol Ronald. “Tapi ya, gue ga mau durhaka.”
“Gue rasa lo bisa kasih pengertian ke emak- babe lo, Na,” kata Deni bijaksana. “Tapi lo harus pasti dulu sama cita- cita lo, jangan masuk Hukum ya masuk Hukum aje, gitu.”
Igun mengangguk- angguk membenarkan. “Eh, tapi ngomong- ngomong, gue juga penasaran. Lo kenapa tiba- tiba jadi pengen masuk Ekonomi, sih, Ron?”
Ronald yang baru selesai menyuap sayur pucuk ubi ke dalam mulutnya, hening sejenak sampai sayurnya benar- benar tertelan. “Ya, gue pengen aja. Emang ga boleh?”
Ares menaikkan alis. “Nggak ada alasan lain, gitu?”
“Ada,” jawab Ronald anteng, sambil mempersiapkan suapan berikutnya. “Gue suka IPS.”
“Eh, serius lo?” tanya Vito terperangah. “Lo ga pernah bilang- bilang sebelumnya. Trus, kenapa masuk IPA?”
“Ya, emang ga boleh?”
Ares yang memang suka menekek, sudah mendaratkan buku- buku jarinya tepat di ubun- ubun Ronald. “Aduh!” erang Ronald. “Apa sih?”
Ares memandang Ronald datar, begitu pula dengan Igun dan Deni. “Lo ga ada jawaban lain selain ‘emang ga boleh’, apa?”
“Ya terus apa?”
“Males gue,” kata Igun. Ia memandang Deni, lalu berkata, “Kita bahas Deni aja. Lo pengen masuk apa, Den?”
Sementara kawan- kawannya sibuk membahas prospek masa depan Deni, pikiran Ronald melayang ke masa silam, saat pertama kali ia berjumpa Vinny.