“Ronald Aditya, ya?” tanya seorang anggota OSIS yang mendata murid- murid baru. Hari ini hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS) bagi Ronald dan siswa- siswa lainnya. Tiap siswa dibagi dalam kelompok secara acak yang disebut ‘Ruang’, dan Ronald sebenarnya sudah mendapatkan ‘Ruang Tiga’. Sayang, tiap anggota Ruang terasa begitu penuh sesak untuk masing- masing kelas yang tersedia, sehingga mau tak mau beberapa orang dari tiap Ruang harus dipindahkan.
“Iya, Kak,” sahut Ronald takut- takut.
“Oke,” sahut siswi OSIS itu, “Kamu misah dulu, ya? Nanti kamu dikelompokkan dalam satu Ruang baru di kelas baru.”
Wajah Ronald terlihat begitu sengsara ketika ia harus melangkah keluar dari Ruang Tiga, meninggalkan teman- teman yang sudah ia ajak berkenalan sejak menit pertama mereka ditempatkan bersama. Apa dia harus melakukan perkenalan lain lagi?
Tapi senior OSIS perempuan itu –yang dipanggil Kak Citra –tidak mempedulikan ekspresi Ronald, dan memanggil beberapa nama lain. Setelah lima orang terkumpul, mereka semua diajak ke lapangan oleh Kak Citra. Di lapangan itu sudah berkumpul beberapa anak- anak terlantar lain yang juga sudah dipisahkan dari Ruang mereka sebelumnya. Kak Citra berbincang- bincang sejenak dengan anggota OSIS lainnya, dan di saat kurang kerjaan itulah Ronald melihat Vinny untuk pertama kalinya. Gadis itu berdiri paling belakang, terabaikan di antara murid- murid lainnya yang berisik.
Ronald memperhatikan Vinny dari ujung kepala sampai ujung kaki. Semuanya terlihat normal, kecuali kulitnya yang putih pucat, terlalu pucat malah. Ronald merasa jika kulitnya lebih putih lagi, mungkin Vinny akan menjadi transparan.
Ronald bertanya- tanya dalam hati. Apa ia memang benar- benar murid baru di sini? Gadis itu begitu diam, kaku, tanpa ekspresi. Dia bahkan mengabaikan pandangan Ronald berkali- kali ke arahnya, dan Ronald terus- terusan memelototinya. Gadis ini terlalu abai. Bukannya biasanya kalau kita dipandangi berkali- kali oleh orang lain, kita akan merasa risih dan menegur mereka? Dipelototi, lagi! Atau jangan- jangan, dia bukan... manusia?
Ronald bergidik sedikit. Ada sensasi tiupan angin dingin di kuduknya, meskipun sebenarnya itu lebih kepada perasaan Ronald sendiri. Ia mencoba mengalihkan perhatian pada anggota OSIS lain yang sibuk mengumpulkan siswa- siswa baru dari kelas lainnya, namun sensasi dingin tadi malah makin membuat Ronald menggigil. Ia lapar.
“Oke,” teriak seorang anggota OSIS pria. “Kalian yang sudah berkumpul di sini masuk ke Ruang Dua Belas, ya! Ada Kak Putri yang akan menuntun kalian,” jelas pria itu sambil menunjuk temannya, Putri, yang langsung mengambil alih.
“Semuanya, dengarkan Kakak!” sorak Kak Putri dengan suara cempreng. “Kita list dulu anggota kita sebelum masuk kelas dan memulai perkenalan diri. Yang namanya dipanggil langsung angkat tangan, ya?”
“Iya, Kak,” jawab murid- murid baru itu dengan suara memelas –tak terkecuali, Ronald.
Kak Putri memegang daftar absen tepat di depan wajahnya dan menyebutkan nama satu persatu, yang begitu acak karena mereka dikumpulkan dari kelas- kelas berbeda, meski nama mereka telah diurut sesuai abjad saat di kelas sebelumnya.
Selama namanya belum terpanggil, Ronald sibuk mengelus perutnya –ia benar- benar lapar. Meski Ronald anak yang cukup pintar, tapi dia memiliki keinginan melanggar peraturan yang cukup besar sejak dulu. Perutnya yang berkeriyuk heboh membuat otaknya lebih tajam, memikirkan cara- cara bisa lolos sejenak untuk sekedar jajan.
“Arvinny Angelica!” panggil Kak Putri dengan lantang. “Mana Arvinny Angelica? Angkat tangannya, Dek!” sorak Kak Putri sekali lagi. Suaranya makin cempreng, menembus gendang telinga. Kepalanya menoleh kesana- kemari, melihat tangan yang diangkat. Ia kembali mengulangi panggilan, tapi tetap sama. Murid- murid baru saling berpandangan satu sama lain, berniat memberikan tatapan mendakwa pada seorang ‘Arvinny Angelica’ yang telah lupa sesaat namanya dan membuat semua orang sibuk mencarinya.
Kak Putri putus asa, lalu mulai mendekati anggota OSIS yang membina Ruang tempat Vinny sebelumnya. Mereka berbincang sejenak, lalu meminta anggota OSIS lainnya ikut mencari. Kak Putri lalu berbalik memandang siswa calon binaannya, seraya bertanya, “Apa ada yang berteman dekat dengan Arvinny Angelica?”
Semuanya terdiam. Kak Putri memandang mereka kecewa. “Tidak ada? Tidak ada yang bisa membantu mencari Arvinny?” tanyanya lagi.
Otak Ronald yang sempat melempem selama beberapa menit segera dialiri impuls lagi. Tak ada kesempatan lain selain : Sekarang!
“Saya, Kak,” kata Ronald sambil mengacungkan tangannya.
Terlihat kelegaan di wajah Kak Putri. “Kau kenal dia? Bisa bantu cari, kan? Kakak- kakak OSIS di sini tidak begitu kenal wajahnya seperti apa, begitu pula Kakak,” akunya. “Jadi mungkin kau bisa membantu?”
“Bisa, Kak,” angguk Ronald. “Izin keluar, Kak!”
“Ya, diberi izin.”
Ronald segera bergegas berjalan mengitari lapangan, lalu ke arah ruang- ruang kelas yang tak terpakai. Dia ragu apakah ia masih diperhatikan anggota OSIS lainnya atau bukan, jadi Ronald memilih mencari tanpa niat di sana sekitar sepuluh menit. Dan sok sibuk. Begitu perhatian mereka tak lagi tertuju pada Ronald, bocah keriting itu segera mengendap- endap mendekati kantin.
Ia tak ingin dipergoki sedang berleha- leha makan semangkuk bakso atau nasi goreng, jadi begitu sampai di kantin, Ronald segera membeli beberapa roti dan gorengan. Setelah selesai membayar semua makanannya, Ronald mojok di dekat kantin menghabiskan gorengan. Suasana di sana cukup sepi, setelah ibu pemilik kantin kembali ke belakang mengurus masakan untuk kantinnya.
Tak apa, ujar Ronald dalam hati. Malah makin sepi makin bagus. Kalau ada orang yang memergokinya sedang makan gorengan di tiang pinggir kantin dengan mengenakan atribut MOS, sudah pasti dia akan dilaporkan dan kena hukum. Dia bukannya ingin ingkar janji. Dia memang berniat mencari Vinny nanti, tentu saja sesudah urusan perutnya selesai.
Ketika Ronald tengah mensyukuri rejekinya hari ini, samar- samar telinganya tegak mendengar rintihan. Rintihan itu terdengar sesaat, lalu menghilang. Ronald mengunyah dan menelan bakwannya cepat- cepat, memastikan bahwa telinganya baik- baik saja. Hening.
Apa hanya perasaan?
Ronald mengambil bungkus roti dalam kantongnya namun bunyi keresekan plastik roti itu bertepatan dengan suara rintihan itu lagi. Ronald berdiri, mengerutkan dahinya. Ia memandang sekelilingnya dengan serius.
Apa itu tadi?
Ia lalu berjalan pelan- pelan. Suara rintihan itu terdengar lagi, agak lebih keras. Ronald bergegas menuju sumber suara. Ia memutari kantin, menuju petak kosong di bagian belakang kantin.
Suara itu terdengar makin keras, dan Ronald mulai memelankan langkahnya. Ia ragu sejenak, tapi rasa ingin tahunya menang. Dengan perasaan bercampur aduk, Ronald mendekati bagian belakang kantin itu, dan terkejut.
Seorang gadis dengan atribut yang sama dengannya tengah terisak. Menangis. Kulitnya putih pucat!
Ronald segera menyingkirkan keraguan itu lalu bertanya, “Kau... Arvinny Angelica?”
Yang ditanya menoleh, lalu berdiri di depan Ronald. Sudut mata Ronald melihat ke arah kaki Vinny, dan matanya tertumbuk pada sebuah kotak berukuran sedang. Terdengar suara kucing- kucing kecil mengeong, dan di dekat mereka tampak pula induknya.
Ronald kembali bertanya pada Vinny meski pertanyaan pertamanya belum dijawab. “Kenapa kau... menangis?”
Vinny menggeleng, lalu menunjuk ke arah kotak itu. Ia berpindah dari dekat kotak itu sambil bergumam, “Kasihan.”
Ronald mengerutkan alis, lalu mendekati kotak kucing itu. Ia terkesiap.
Induk kucing itu, penuh cakaran dan darah. Ia tampak lemas, dan anak- anaknya mengeong pada induk yang tak berdaya itu. Anak- anak kucing itu sepertinya sudah kehausan dan ingin menyusu, tapi induknya sama sekali tak bergerak.
“Apa dia masih hidup? Kenapa bisa begitu?” tanya Ronald.
“Masih hidup, dan aku tak tahu kenapa begitu,” kata Vinny tanpa intonasi. Wajahnya masih berkaca- kaca. “Aku hanya melihatnya lewat dekatku saat berbaris tadi dan aku ikuti karena tak tega.”
Ronald menaruh iba pada induk kucing dan anak- anaknya itu. Ia merogoh sakunya, lalu menyodorkan rotinya pada Vinny, “Makanlah. Akan aku panggilkan Kak Putri dan Kakak OSIS lain. Mereka pasti bisa membantu.”
Vinny mengangguk, sementara Ronald bergegas kembali ke lapangan.
***
Telapak tangan besar terasa menepuk punggung Ronald, menyadarkannya dari lamunan masa lalu.
Ia menoleh. Deni.
“Nanti nge-PS, yuk, Ron?” ajak Deni sambil menaik-turunkan alisnya.
“Boleh,” sahut Ronald sambil mencuci tangannya yang sudah mulai mengering. Vito pun juga telah selesai makan, dan mereka sudah bersiap hendak pergi dari warung Bi Suminah. Ronald memperbaiki ikat pinggang dan baju seragamnya, ketika tiba- tiba Ares memperhatikan sesuatu. Ia berusaha menarik buku tulis Ronald yang terselip di antara baju dan celananya.
“Wohooo, buku apa nih?” tanya Ares.
Tangan Ronald dengan sigap mencengkram lengan Ares, lalu ia mengambil bukunya dari pegangan Ares. “Jangan pegang buku gue yang ini,” kata Ronald. Matanya tajam dan begitu serius, sehingga membuat Ares merasa kikuk dengan ketegangan yang terjadi.
“Santai, Ron, gue belum apa- apain, kok,” kata Ares. Ronald segera melepaskan tangannya, dan buku itu segera ia kepit dalam lengannya bagai mengepit sertifikat tanah. Ia berjalan di depan teman- temannya.
“Lo jangan berani ngambil buku tulis dia,” bisik Vito pelan, pada tiga orang lainnya. “Gue aja cuman berani ngelihat, ga berani ngambil dan baca semuanya kalo dia ga ngebolehin.”
“Emang isinya apa, sih?” tanya Igun penasaran.
“Rintihan jiwanya,” kata Vito dramatis.
Seketika gelegar tawa bass memenuhi udara. Ares sudah bersiap- siap dengan kepalan tangannya, sambil berkata, “Hahaha, brengsék, lo!”