three !

1344 Words
Sudah tiga minggu lebih sejak Ronald bersama teman- temannya makan bersama di warung Bi Suminah. Mereka sudah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri, dan Ares juga sudah selesai dengan ujian mandirinya. Kelimanya berniat untuk berkumpul lagi begitu ujian selesai, namun rencana mereka mau tak mau berantakan karena kesibukan masing- masing. Igun membantu usaha mebel ayahnya yang cukup besar dan membuatnya sibuk hampir setiap hari, sekaligus ‘memberi pelatihan belajar bisnis untuk Igun’, begitu kata ayahnya. Deni sekeluarga pergi berlibur ke Yogyakarta untuk melepas penat, dan memohon maaf harus membatalkan rencana kumpul bareng. Ares pun sama, tapi dia dan orangtuanya bukan refreshing ala lokal, tapi lebih memilih keluar negeri. Dan tinggallah Ronald masih di kota yang sama, rumah yang sama, dan suasana yang sama. Pernah suatu kali Ronald mengatakan pada orangtuanya tentang rencana jalan- jalan saat mereka tengah makan siang. Dan reaksi emak Ronald sudah bisa diprediksi. “Pengeluaran sedang banyak. Kamu baru masuk kuliah, dan adikmu, si Gadis, juga baru naik kelas tiga, Jang. Dia pasti butuh biaya bimbel juga, jadi jangan mikirin diri sendiri!” Setelah mendapat seuntai kalimat penuh hikmah itu, Ronald lebih memilih diam dan menyelesaikan makannya cepat- cepat. Ia mundur dari lokasi perkara begitu makannya tuntas. Ia tak ingin mendebat emaknya karena ia tahu, ujung- ujungnya emaklah yang menang dan tambahan untaian hikmah akan berlipat ganda tak berkesudahan. Ronald menarik diri ke kamar, tidur. Hari- hari berikutnya dihabiskan Ronald dengan rutinitas cukup produktif: makan, main game, bantu- bantu emak, main game, tidur, main game, antar- jemput Angel ke sekolah, dan main game. Sangat maksimal. Tapi ketika ia merasa jenuh, Ronald kembali pada kegiatan keramatnya: menulis puisi. Ada perasaan puas baginya setelah menulisi buku lecek itu dengan beberapa bait baru. Hari ini, seusai menjemput Angel dari sekolah, Ronald segera kembali ke kamar. Ia menarik laci, mengeluarkan buku tulis dan pulpennya, lalu membalik halaman menuju halaman terakhir yang ia tulisi. Ronald mengalihkan pandangannya keluar jendela, menatap bunga- bunga emaknya yang mulai layu karena disinari matahari yang terik. Ronald bergumam sendiri, lalu menggoreskan pulpennya di kertas itu. Ia memberi judul puisinya “Bunga”. Tersenyum kelopakmu padaku Dengan merahmu kaubasuh lukaku Darahku Kau yang manis, hingga kulupa perih yang kau toreh Kau dan warna indahmu   “Waaah, buat siapa, Bang?” tanya Angel yang ikut melihat kakaknya dari belakang. Ronald mengerling kesal pada adiknya, yang hanya dibalas gadis tujuh belas tahun berambut panjang itu dengan tawa kikik mengerikan, bagai kuntilanak yang senang dapat mangsa. “Lo nulis puisi ya, Bang?” “Yo,” sahut Ronald ringkas. “Lo ga bosen Bang, nulis mulu? Buku lo udah numpuk banyak isinya puisi semua,” ujar Angel seraya menunjuk buku- buku di sudut kamar yang sudah menjadi istana jaring laba- laba. “Kenapa nggak lo terbitin, sih? Ke penerbit apa, gitu?” “Suka- suka gue lah,” jawab Ronald. “Sana, ganti baju!” “Hihihi,” kikiknya lagi. Angel lalu berdiri tegak di samping kakaknya dan mendehem, membesar- besarkan suara. “Bunga, tersenyum kelopakmu padaku,” katanya penuh penjiwaan. Mimiknya sudah sekelas sastrawan terkenal. “Dengan merahmu kaubasuh lukaku,...” “Pergi ga, lo?” tanya Ronald dengan berang. Ia bersiap- siap mengambil bantal untuk dilempar. Sementara tangan kanannya yang sudah bebas dari pulpen bersiaga menjambak rambut panjang adiknya. “Milih gue timpuk, gue jambak, atau ganti baju?” “Iiiiih, ampun Abangku sayaaang,” tawa Angel terbahak- bahak lalu melayang pergi, persis seperti kuntilanak berseragam sekolah. Ronald memperhatikan adiknya yang sudah menghilang di balik pintu, meski tawanya masih bergema di lantai atas. Tapi sayang, mood Ronald sudah buruk. Ia menutup buku tulisnya dengan hempasan tak berguna, lalu membawanya serta keluar dari kamar. “Kemana, Jang?” tanya ayahnya yang sedang berkipas- kipas dengan koran. Beliau memanggil Ronald dengan ‘Bujang’ (dan Angel adiknya dipanggil 'Gadis'). Ayah Ronald adalah pensiunan pegawai negeri, dan kini ayahnya hanya duduk santai di rumah menikmati masa pasca baktinya sekalian menjaga warung. “Keluar bentar, Be. Nyari inspirasi,” jawab Ronald sambil lalu. Ayahnya hanya memberi pandangan ‘meh’ lalu bersorak lagi, “Inspirasi apaan, Bujang? Hoi!” Sayang, Ronald sudah meluncur jauh dan sudah membuka pagar rumah. Ayahnya menyerah, kembali duduk dengan gaya mulia di sofa empuknya. *** Ronald sama sekali tidak menyadari bahwa ia keluar dari rumah dengan penampilan gembel. Rambutnya keritingnya acak- acakan seperti benang kusut, dan wajahnya juga tidak membantu. Ronald memakai baju abu- abu kusam dan celana selutut, menyusuri jalan menuju taman kota dengan sandal jepit. Siang panas. Sepanjang jalan Ronald menggerutu dalam hati tentang adiknya yang merusak suasana hatinya. Ia berbelok menuju bangku taman, dan mendapati seseorang yang sudah ia kenal selama tiga tahun terakhir duduk di situ. “To!” panggilnya semangat, seraya cepat- cepat menuju bangku itu. Vito balas melambai dengan senyum sumringah. Begitu Ronald sudah duduk di sana, ia langsung menyapa, “Apa kabar ,To?” “Baik, gue. Lo?” “Baik.” Vito tersenyum mengejek mendengar itu. “Lo baik- baik aja tapi kok kayak gembel begitu?” “Iya, nih,” keluh Ronald. “Gue ga niat keluar sebenarnya. Cuma lagi pengen nyari angin aja.” “Nyari angin apaan panas begini?” ejek Vito lagi. “Nyari angin mah, sore, Keriting!” “Lah, lo kenapa panas- panasan di sini? Mau ngeitemin kulit biar kayak gue?” tanya Ronald tak mau kalah. Vito tertawa. “Nggak kenapa- napa. Lagi pengen ngelamun aja.” “Ngelamun jam dua siang begini?” geleng- geleng Ronald sambil membuka bukunya. “Ga ngerti gue, sumpah.” Vito balas tertawa sambil melihat temannya yang sudah membungkuk di depan bukunya, menulis. “Lo bisa, nulis dengan rambut panjang begitu? Nggak kelilipan lo?” “Enggak,” jawab Ronald santai. “Itu rambut lo nggak ada kutunya, ‘kan?” “Sialan,” sahut Ronald sambil tertawa. Ia kembali berfokus pada bukunya. Vito menatap Ronald ragu semenit- dua menit. “Ron,” panggilnya tiba-tiba. “Hm?” “Gue, kok pesimis ya, bakal lulus ujian masuk perguruan tinggi?” “Hm?” tanya Ronald sambil menoleh pada temannya itu. Vito bersandar, menghembuskan napas bau. “Gue nggak yakin aja bisa berhasil masuk teknik. Nggak pede gue.” Ronald melihat ke arah Vito sekilas, lalu kembali menulis. “Kenapa? Tes kemampuan dasar lo jelek?” “Yaa... nggak juga sih.” “Sainteknya gimana?” “Fisika dan kimianya oke,” kata Vito sambil berpikir. “Biologi gue banyak nebak deh. Eh, ada juga deng, fisikanya yang gue tebak,” katanya pahit. “Dan bagian yang gue tebak itu bagian hafalan.” “Ga ada gunanya nyesel,” kata Ronald. “Ternyata lo mikirin masa depan juga, ya, orangnya?” Vito menarik salah satu ujung keriting rambut Ronald yang dibalas Ronald  dengan pukulan di bahu. “Ya, kan gue cemas juga,” keluh Vito. “Gue udah pede banget bilang ke ayah ibu gue sama keluarga besar kalo gue pengen di teknik. Mereka udah berharap juga. Tapi gue takut ga keterima.” “Ya udah, banyak doa.” “Gue udah doa siang malam.” “Ya, pasrah aja. Kalo ga lulus, coba lagi tahun depan.” Vito menoleh ke arah Ronald datar, lalu menghela napas baunya dengan panjang lagi. “Lo gimana ujian waktu itu?” “Lumayan sih. Gue sedikit confident, lah.” Vito mempermainkan kumis tipisnya, penuh pertimbangan. “Kalau gue nggak lulus, apa gue masuk ekonomi juga ya, kayak lo? Lewat ujian mandiri?” “Yaelaah, dulu aja lo bilang gue anak pengkhianat.” Vito tersenyum pahit. Minimnya tanggapan Vito membuat Ronald menengadah dari bukunya. Sepertinya kawannya ini benar- benar cemas. “Lo banyak berdoa aja intinya. Lo ‘kan udah berusaha maksimal. Tuhan juga pasti ngasih yang terbaik buat lo, To.” Vito mengangguk, lalu wajahnya sedikit lebih cerah. Ia pun berdiri dari duduknya. “Mau kemana, To?” “Balik.” “Cepet amat?” “Ga enak gue,” katanya mengedikkan kepala ke sekitar. “Di sini cuman kita doang cowok yang duduk berdua, tahu. Gue nggak mau disangka aneh- aneh.” Ronald bergidik jijik, membuat Vito tertawa. Ia lalu melambai ke arah Ronald, pergi.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD