03

1508 Words
Albert mengira bahwa alamat rumah yang diucapkan wanita bernama Cavara Mikkler itu salah. Nyatanya, ada. Albert pun segera meluncur ke kediaman wanita itu. Tentu, dengan tujuannya mengantarkan pulang seperti rencana awal. Jika sudah ditekadkan, maka ia pun akan menepati janji dibuatnya sendiri. Perjalanan yang ditempuh tidaklah terlalu jauh. Hanya sekitar 20 menit dari lokasi bar. Jika dilihat dari tempat tinggalnya, cukup dekat. Dibutuhkan waktu sepuluh menit saja saat di jalan jika lancar, tanpa ada kemacetan yang panjang. "Dia wanita kaya." Albert bergumam dalam nada pelan, ketika telah memarkirkan mobil tepat di depan gerbang besar sebuah rumah berlantai tiga dengan gaya yang modern dan luas. "Dia bukan wanita sembarangan. Apakah seorang pengusaha? Atau punya profesi dengan pendapatan tinggi?" "Aku pikir dia menjadi pengusaha. Sangat wajar jika dia terlihat kaya. Tidak mu—" "Aku memang kaya. Aku adalah salah satu calon pewaris bisnis Dad. Kau tahu? Jumlah kekayaanku sekarang sudah mencapai 100 juta dollar. Bagaimana menurut kau? Banyak bukan? Aku tidak pamer. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya." Albert yang semula memusatkan atensinya ke depan, seketika dialihkannya pada sosok Cavara Mikkler. Ia pun menatap dalam sorot yang terkejut. Tidak menyangka wanita itu sudah terbangun. Dan ketika, mengarahkan pandangan ke bagian bibir wanita itu, maka darah Albert seketika menjadi berdesir. Detak jantung tak normal. Albert lalu mengangguk guna memberikan respons atas pertanyaan yang Cavara Mikkler lontarkan beberapa detik lalu. "Aku tahu kau sedang tidak pamer." "Kau mengatakan berdasarkan fakta. Aku tidak melihat kesombongan terpancar pada matamu. Aku tidak akan menganggap negatif." Albert berkata dengan jujur. "Aku menakjubkan bukan? Aku sudah kaya. Aku pun pintar dan cantik. Kau setuju? Apa kau berpikiran jika aku ini termasuk wanita yang beruntung dan sempurna?" Albert menggerakkan kepalanya naik, juga ke bawah beberapa kali. Dilakukan secara spontan. Lidah menjadi kelu, walaupun ia sudah menyiapkan jawaban. Senyum hangat milik wanita itu sungguh menggodanya. Dan, diingatkan kembali dengan ciuman yang terjadi saat berada di areal parkir bar tadi. "Kenapa kau tidak menjawab? Aku menunggu pendapatmu bagaimana. Aku suka saja dengan caramu menjawab. Apa, ya? Kau berkata yang tidak dilebihkan. Salah satu kelebihanmu yang membuatku nyaman. Aku justru mengapreasinya." "Iya. Kau sempurna dan juga beruntung." Albert menjawab dengan serius. Lalu secara refleks membentuk senyuman cukup lebar. "Kau nyaman denganku?" "Iya, nyaman. Aneh bukan? Padahal, kau dan aku baru bertemu malam ini. Aku tidak merasa canggung atau terganggu berada di dekatmu. Mungkin karena kau orang yang baik. Mau menolong dan mengantarkanku pulang. Benar juga, ya? Haha." Albert ikut tertawa, walau tak kencang. Kepala dianggukkan sekali. "Mungkin saja begitu. Beberapa teman mengatakan sama seperti yang kau ungkapkan." "Aku senang. Tapi, aku tidak ingin terlalu percaya diri," imbuh Albert. "Kau sedikit berbeda. Kau tidak seperti para lelaki yang ada di bar. Aku semakin menyukaimu. Kau sangatlah menarik. Aku harus mengakui. Poin plus tambahan." Cavara melakukan usapan-usapan lembut kembali di pipi Albert. "Aku ingin tidur denganmu. Bagaimana? Tadi, kau bilang kau melihatku membuatmu bernafsu? Aku tidak masalah jika kau menginginkanku. Hmm, aku puh sepertinya sama." Tubuh Albert dilanda ketegangan. Tak hanya karena kata-kata bernada manis yang baru saja ditujukan kepadanya. Melainkan, juga sentuhan jari-jari lentik tangan kanan milik Cavara Mikkelr menari di wajahnya. Ditambah pula dengan senyum begitu manis dipamerkan oleh wanita itu kepadanya dengan semakin lebar. Tidak akan mungkin gagal untuk membuat dirinya semakin terpesona. Albert pun menganggap ketertarikan pada Cavara Mikkler sebagai sebuah kekonyolan belaka. Logika berupaya untuk dikedepannya dengan pemikiran yang kritis agar tak hanyut akan perasaannya. Terlalu dini jika membiarkan keterpesonaan pada wanita itu menjadi rasa spesial. Bahkan, belum ada 24 jam mereka saling mengenal. "Kau kenapa masih diam saja? Apakah nafsumu kepadaku sudah berkurang? Apa Benarkah begitu? Kau tidak memberikan jawaban apa-apa untuk ucapanku." Albert menghela napas. Bertubi pertanyaan yang sulit untuk dirinya jawab. Tidak tahu harus merangkai kalimat balasan seperti apa. Dan, ia tengah menghadapi wanita yang memiliki kesadaran tak sepenuhnya akibat pengaruh wine. Akan lebih sulit dari dipikirkan untuk memberikan jawaban terjujur ingin diucapkannya. Kontras dengan gejolak gairahnya, semakin bertambah besar. Albert masih gagal dalam mengontrol hasratnya. Pikiran pun sudah tak bisa dikendalikan. Dikuasai oleh adegan kotor. Membayangkan tubuh putih wanita itu yang tanpa sehelai benang pun. Menyebabkan hasratnya semakin menggelora saja tentunya. "Respons dariku yang bagaimana kau harapkan?" tanya Albert serius. Tangan kanan digunakan menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Respons positif. Kau mau menerima ajakanku untuk tidur. Sudah aku katakan tadi jika aku tertarik bukan denganmu? Kau menganggap ucapanku tidak serius?" Albert menggeleng cepat. Menampik tuduhan. "Bukan begitu, Miss Mikkler." "Aku tidak menganggap kau main-main. Tapi, karena kau serius. Jadi, membuatku tidak tahu harus bagaimana. Aku masih bingung." Albert membalas apa adanya. "Jawablah, Mr. Charming. Kau kenapa harus membuatku lama menunggu jawaban juga? Aku tidak sabar tahu apakah nafsumu padaku berkurang. Kau berputar terus memberikan penjelasan. Kau tidak bisa langsung menjawab apa yang ingin ak—" "Nafsuku belum berkurang. Kau berhasil menggodaku. Bahkan kita belum bertemu lama. Aku baru pertama kali merasakan hal seperti kepada seorang wanita. Ya, kau." Albert mengembuskan sisa napas yang ada di dalam paru-paru. Lalu, menarik udara sebanyak mungkin. Berupaya membuatnya merasa lebih rileks. Tidak dilanda perasaan gugup, setiap memandang wajah wanita itu sejak bahasan mereka sudah mengarah pada hal-hal yang menurutnya sangat pribadi untuk diobrolkan. Terlebih, mereka tak mengenal lama. Belum satu hari. Albert merasa terkejut juga dengan ajakan Cavara Mikkler. Memang tidak hanyalah wanita itu yang sudah mengajaknya untuk bercinta. Harusnya ia bisa biasa saja. Namun, tak demikian. "Pertama kali? Kau bilang kau sudah tidur dengan dua wanita sebelumnya? Aneh jika aku yang pertama membuatmu merasakan hal seperti itu. Tidak masuk akal." Albert menajamkan tatapan. Tak suka akan tanggapan Cavara. "Apa maksudmu? Apa kau mengira jika aku sedang berbohong demi bisa tidur bersamamu. Atau kau berpikir aku mengatakannya agar kau senang semata? Aku tidak begitu." "Dua wanita yang tidur denganku terjadi saat aku remaja, sebelum 20 tahun. Kau pasti tahu di masa-masa itu keingintahuan sebagai laki-laki tentang perempuan sangat besar? Setelah kuliah dan berbisnis, aku tidak pernah bercinta lagi," jelas Albert agar jawabannya yang tak menimbulkan penafsiran berbeda dan salah. "Mari kita berciuman lagi. Apakah kau mau?" Albert merasakan tubuhnya menegang dan segala hal yang sempat dipikirkannya pun menjadi hilang dikarenakan permintaan yang diutarakan oleh Cavara Mikkler. Ia pun langsung membayangkan bibir merah milik wanita itu dalam cumbuan singkat mereka tadi. Kira-kira ada dua jam yang lalu jika tidak salah diingat. "Ah, bagaimana dengan tidur bersama juga? Apakah kau mau melakukan one night stand malam ini di rumahku? Aku serius. Aku ingin jawaban yang cepat dari kau." Rasa terkejut Albert semakin bertambah. Mengakibatkan detakan jantung menjadi kencang, namun tak menentu. Napas juga sempat terhenti. Tetapi, segera berusaha untuk dinormalkan kembali agar suplai oksigen tak terganggu di paru-paru. Ia pun harus meraih ketenangan segera mungkin supaya semakin tidak kentara sedang dilanda kegelisahan. Harga diri masih diprioritaskannya untuk selalu dijaga. Tentang tawaran Cavara. Jujur, tak pernah terpikirkan akan diucapkan. Manakala, wanita itu meminta berciuman saja, sudah merupakan hal tidak terprediksi. Dan beberapa menit lalu, Cavara menginginkan sesuatu yang sempat membayang di kepalanya. Namun, segera dilenyapkan. Mengingat, mustahil menjadi nyata. Tetapi, ia salah besar. Wanita itu mengutarakan secara langsung. Tidak sepertinya. "Kau pasti tidak mau, ya? Berciuman saja seharusnya cukup untukku. Tapi, aku ingin mengakui jujur jika aku menginginkan lebih darimu. Bagaimana ya harus aku katakan. Ahh, tidak bisa aku utarakan. Aku malu. Hmm, tapi aku sudah memalukan diriku sendiri dengan mengajak kau bercinta. Maafkan aku jika aku seperti ini." Refleks Albert menggeleng. "Tidak apa-apa. Kau jangan merasa tidak enak. Aku biasa saja. Permintaanmu tidak ada yang salah. Kau jangan malu kepadaku." "Ah, benarkah? Terima kasih sudah mau mengerti, ya. Aku tidak keliru menaruh nilai bagus untukmu. Dan harus aku akui semakin nyaman dan tertarik denganmu." Ucapan serta senyuman wanita itu benar-benar sukses membuatnya terhipnotis. Ia tahu hal tersebut tidak akan baik untuk dirinya. Tetapi, kian sulit mengenyahkan semua yang sudah dirasakan. Meski, usaha dan sugesti pada diri sendiri dilakukan menerus. Tetap gagal. Dikalahkan dengan keterpesonaan akan wanita itu. "Mari kita bercinta. Aku menginginkan kau juga, Nona." Albert berujar spontan. Tak memikirkan ulang terlebih dahulu. Sudah cukup yakin akan ucapannya. "Benarkah, Mr. Charming? Wah, aku semakin bersemangat! Terima kasih, ya!" Senyuman Albert seketika bertambah karena respons diberikan oleh Cavara. Ia bisa merasakan kegembiraan wanita itu secara nyata. Ada kebanggaan tersendiri yang menyelimuti dirinya. Ya, tentang fakta bahwa ada seseorang senang bisa bercinta dengannya. Wanita itu memang istimewa dan memesona. Begitulah penilaiannya. "Kau pasti merasa aneh atas sikapku bukan? Aku suka begini jika sudah minum. Aku lebih suka dan nyaman mengekspresikan perasaanku, saat kena wine atau vodka. Bahkan, jika sudah minum bir satu gelas kecil, bisa membuatku seperti ini." Albert mendengar saksama setiap kata dilontarkan oleh Cavara. Sungguh, wanita itu semakin membangkitkan gairahnya. Kian seksi dan menggoda. Bagaimana pun ia pria normal. Sangat wajar serta alamiah jika tubuhnya bereaksi secara cepat. "Aku ingin menciummu lagi. Aku saja yang memulainya bagaimana?" tawar Albert dengan suara mantap. Kesadarannya sangat penuh saat mengajukan permintaan. "Hahaha. Kau mau menciumku? Wah, aku senang. Ciumanmu bagus. Aku suka." Desiran aneh kembali melanda diri Albert karena pujian yang diterimanya. Merasa tersanjung juga. Menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Bahkan, muncul ide dalam kepalanya untuk memberikan cumbuan yang lebih menakjubkan kembali. "Terima kasih, Miss Mikkler. Jik kau suka, aku pun senang. Sebuah kehorm—" "Ayolah cepat cium aku, Mr. Charming. Kau tadi bilang mau mencium lagi bukan?" Albert mengangguk beberapa kali dengan antusias. Lalu, ia lekas pula memajukan wajah. Sementara, tangan kanan meraih tengkuk wanita itu. Dalam hitungan lima detik saja, bibir mereka sudah menyatu. Dilakukan langsung lumatan dengan irama yang pelan dan lembut. Enggan terburu-buru, ingin menikmati cumbuannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD