02

1508 Words
Sudah hampir dua jam mobilnya berada di parkiran bar. Dan, selama 30 menit juga wanita bernama Cavara Mikkler terlelap nyaman pada jok samping mengemudi. Suasana hening senantiasa mendominasi, walau Albert sudah berupaya bersuara.  Memang hanya terlontar panggilan untuk wanita itu dalam seruan yang tak keras. Masih ada keraguan pada diri Albert guna membangunkan Cavara Mikkler, ia tidak tega saja harus menyudahi tidur nyenyak wanita itu. Namun, jika sungkan maka akan lebih lama waktu yang dihabiskan di parkiran bar. Malam semakin larut.  "Hei, Nona." Albert menyapa untuk sekian kali. Suaranya masih dilembutkan teralun. Bahkan, tidak kencang agar tak sampai mengganggu Cavara Mikkler.  Pusat pandangan tidak dapat dialihkan dari sosok wanita di sampingnya ini sejak masuk ke dalam mobil. Seakan-akan ada kekuatan dari magnet yang kuat sehingga membuatnya tak bisa berhenti menunjukkan rasa tertariknya.  Memang secara logika dan realistis, wajah wanita asing ini sangatlah cantik. Riasan tak tebal yang tampak natural. Kulit putih tanpa ada goresan sama sekali, ketika dilihat lebih detail lagi. Bulu mata lentik serta panjang.  Bagian ujung hidung yang mancung. Lantas, bibir mungil dengan lapisan pewarna merah yang menyala. Entah apa namanya, Albert kurang paham. Namun, dapat menambah daya pikat semakin besar dari wanita itu.  "Kenapa aku jadi panas begini? Udara tidak dingin, tapi kenapa aku terus berkeringat saja? Ada apa denganku?" Pertanyaan yang bertubi dilontarkan dalam nada begitu heran. Ditujukan untuk dirinya sendiri, tentu saja.  Albert masih belum bisa untuk memahami bagaimana reaksi tubuhnya diluar kontrol. Ia sudah tahu penyebabnya. Namun, akal sehat menolak. Begitu pun dengan egonya yang keras menampik. Walau demikian, ia tidak dapat mengabaikan kenyataan yang tengah dialami oleh tubuhnya sejak Cavara masuk ke mobil.  Dalam artian hasrat yang muncul tiba-tiba. Tanpa diduga-duga sebelumnya. Albert pun tak menyangka bahwa pakaian yang tengah dikenakan wanita itu telah sangat sukses membangkitkan gairahnya sebagai seorang pria. Belum pernah sebelumnya dialami.  "Kau tidak boleh begini. Kau harus waras. Kau jangan dikuasai nafsu. Kau haru--"  "Apa yang kau bilang? Kau bernafsu? Apa kepadaku? Sudah tidak rahasia lagi banyak lelaki yang mengincarku. Termasuk juga saat aku tadi di dalam bar."  "Tapi, aku tidak senang. Aku benci harus menjadi target untuk memenuhi nafsu mereka saja. Tidak ada yang tulus dengan perasaan mereka. Pria kebanyakan hanyalah lebih mementingkan kepuasaan. Tidur bersama wanita demi seks. Hahh."  "Aku membenci mereka yang memandangku dengan nafsu tinggi! Aku merasa jika aku direndahkan. Aku tidaklah wanita yang akan mudah untuk diajak tidur."  Albert segera bereaksi. Kerutan-kerutan di kening muncul. Begitu pula dengan kedua alis yang sama-sama terangkat. Menandakan bahwa tidak cukup paham akan penuturan wanita itu. Tetapi, saat menarik kesimpulan, maka dadanya seketika berhasil memanas. Rasa marah dan malu yang bercampur menjadi satu. Tetapi yang mendominasi adalah amarah. Ucapan Cavara Mikkler mengganggunya.  Konyol memang merasakan kecemburuan pada seorang wanita asing yang bahkan tak ia ketahui namanya. Namun, harus diakui jika ketertarikannya semakin besar. Alasan mengapa, membayangkan ada pria lain yang menginginkan wanita itu, ia menjadi kesal. Muncul ketidakrelaan juga semakin besar dalam dirinya.  "Bukan aku ingin membela pria yang merupakan kaumku. Tapi, tidak semua pria itu kurang ajar atau berengsek. Kau benar juga tentang sebagian besar pria yang lebih mengutamakan nafsu. Seks." Albert berupaya membuat suaranya santai.  "Dan, aku akan mengakui bahwa aku juga butuh tidur dengan wanita untuk bisa melampiaskan hasrat dan nafsuku. Aku tidak akan munafik. Aku pikir setiap pria dewasa sudah menjadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi." Albert pun memberikan opini tambahan. Sesuai dengan prinsip dipegangnya selama ini.  "Tapi, aku tidak akan tidur bersama sembarang wanita. Bukan maksudku mencari wanita seksi, cantik, atau hebat di ranjang saja. Namun, lebih pada perasaan yang aku miliki untuk wanita itu. Aku ingin bercinta jika aku menyukai wanita itu," imbuh Albert kembali. Ia merasa perlu untuk memperjelas agar tidak terjadi salah paham.  "Sampai usiaku sekarang. Aku hanya baru tidur dengan dua wanita saja. Ak—"  "Kau boleh bernafsu denganku. Aku akan tidur bersamamu. Aku rasa kau pria cukup berbeda dari para lelaki berengsek di bar dari alasan-alasan yang kau berikan."  "Berarti aku akan menjadi wanita nomor tiga tidur bersamamu bukan? Wow."  Cavara melebarkan senyuman. "Entah kenapa aku tersanjung jika aku dan kau bisa tidur bersama. Senang karena aku tahu aku adalah salah satu wanita pilihan."  "Hmm. Untukku sendiri. Kau adalah pria keempat yang akan tidur bersamaku."  Albert menahan napas sebentar. Sedangkan, kedua matanya melebar. Reaksinya untuk menunjukkan ketidakpercayaan akan apa yang disampaikan oleh wanita di depannya ini. Bahasa bagi Albert kurang sopan. Tetapi, ia yakin wanita itu ingin menyampaikan apa adanya yang tengah dipikirkan di kepala.  "Kenapa kau hanya diam? Kau tahu? Tadi di bar, para lelaki selalu berusaha menyentuh tubuhku dengan kurang ajar. Aku bahkan belum mengatakan apa-apa pada mereka. Aku tidak ingin membahas. Tapi, masih saja berhasil aku ingat."  "Mereka pria berengsek," tanggap Albert dengan menyelipkan sedikit emosi di dalam suara. Tangan kanannya turut mengepal mengetahui fakta diucap Cavara.  "Kau benar. Mereka pria-pria berengsek. Termasuk sebagian besar pria yang punya nafsu besar. Jika melihat wanita bagus, mereka ingin mengajak untuk bercinta. Itu saja. Sebatas agar hasrat mereka tersalurkan." Cavara meninggikan suaranya.  Suasana hati mendadak tidak bagus. Rekaman kejadian yang kurang mengenakan di bar tak mau hilang di benaknya. Setiap mengingat, Cavara akan merasa semakin jengkel. Ia terus meyakini diri bahwa dirinya tidak pantas diperlakukan demikian.  "Selain ingin menyentuh tubuhmu. Apakah yang hendak mereka rencanakan? Mencium dan mengajakmu pergi ke hotel? Bercinta, 'kah?" Albert secara spontan saja bertanya. Kesimpulan yang muncul secara tiba-tiba di dalam kepalanya.  "Kau benar lagi. Salah satu dari mereka tadi memang ingin menciumku. Untung saja bisa aku hindari. Tapi, rasanya mulutku sedang kotor. Walau sudah aku cuci."  "Apa kau mau aku cium sebentar?" Cavara bertanya dengan penuh keseriusan. Ia juga belum ingin mengurangi intensitas tatapan. Begitu lekat memandang Albert.  "Hmm. Kenapa kau begitu kaget? Apa kau menganggapku gila karena aku meminta menciummu? Tapi, bagiku wajar karena lebih bagus mencium pria sepertimu."  Bola mata Albert melebar. Tanda bahwa ia kembali tak percaya dengan ucapan Cavara Mikkler. Bahkan, keterkejutan bertambah saat wanita itu menarik tengkuknya. Dan beberapa detik kemudian, bibir mereka telah menempel. Tak ada lumatan dilakukan wanita itu. Sedangkan, ia hanya mampu diam mematung.  "Kenapa kau tidak menjawab? Pasti kau benar mengira jika aku gila, ya? Haha. Aku juga merasa diriku semakin tidak terkontrol. Padahal, aku tidak mabuk berat."  Albert menggeleng. Tak mungkin mengungkapkan secara jujur penilaian pribadi tentang keinginan dari Cavara Mikkler yang sungguh tidak masuk akal baginya. Ya, walau beberapa kali terjadi di masa lalu. Benar, pernah ada wanita-wanita yang tak malu menawarkan sesuatu berbau keintiman, yakni tidur bersama. Sebagian meminta balasan sejumlah uang dan sisanya menyerahkan tubuh secara sukarela. Semua ditolak olehnya. Sebab, ia tipikal sangat pemilih urusan seperti itu.  "Kau bengong? Memikirkan ucapanku, ya? Hmm, jika bagimu tidak bagus. Jangan kau pikirkan. Aku tidak akan memaksa. Maaf, jika ucapanku membuat kau jad—"  "Bukan begitu." Albert memotong secara cepat dengan nada tegasnya. Kepala pun turut digelengkan sembari memandang semakin lekat sosok dari Cavara Mikkler.  "Aku mempertimbangkan apa yang kau katakan kepadaku," imbuhnya kian tidak ragu. Setiap kata teralun dengan lancar dan juga lembut. "Soal keinginanmu."  "Iya, katakan saja. Kau menolak juga tidak apa-apa. Aku sudah siap. Aku tidak akan marah. Dalam pengaruh wine seperti sekarang, rasanya aku tidak bisa marah."  Kerutan di dahi Albert pun seketika muncul akibat ucapan didengarnya. Tentu tak memecayai. Dan, guna memastikan harus ditanyakan ulang. Disamping juga apa dikatakan oleh wanita bernama Cavara membuatnya semakin penasaran saja.  "Kau menyimpulkan bahwa aku sudah menolak tawaranmu?" tanya Albert guna mengonfirmasi kebenaran akan makna ucapan yang didengar beberapa menit lalu.  Wanita itu begitu cepat merespons dengan anggukan. Sorot mata biru teduh kian membuat darahnya berdesir. Begitu pula degupan jantung bertambah disebabkan oleh tatapan Cavara semakin intens kepadanya. Untung saja, ia sudah cukup bisa mengendalikan diri dan tidak salah tingkah. Bagaimana pun juga ia adalah lelaki.  "Iya, kau menolakku bukan tadi? Aku jadi terus berpikir kau pria yang berbeda."  Kerutan pada kening kian mengalami peningkatan. Kemampuan dalam memaknai benar perkataan Cavara tak bisa dilakukan. "Aku berbeda? Apa yang menda—"  "Setiap pria pasti tidak akan menolak jika ada wanita mengajaknya berciuman atau bahkan bercinta. Aku ini termasuk wanita yang cantik, pasti permintaanku diterima. Ah, aku berkata begini bukan karena ingin menyombongkan diri. Memang masih ada wanita di luar sana yang lebih cantik dibandingkan aku, tapi aku han—"  "Kau memang cantik, Nona." Albert mengutarakan pujian dengan suara sedikit serak dikarenakan merasa gugup. Meski demikian, diucapkan secara tegas.  "Kau tidak hanya cantik. Jujur saja, kau itu seksi. Walau, kau tidak mengenakan pakaian terbuka." Albert mengungkap isi pikiran tengah muncul di dalam kepala. Tanpa menerapkan filter akan kata-katanya. "Maaf jika aku lancang berkata begini."  "Dan, kau suka wanita yang seksi? Benar begitu? Ah, terima kasih atas pujianmu untukku. Aku tidak marah. Justru aku senang. Aku semakin tertarik padaku."  Desiran aneh kembali mengganggu aliran darah Albert akibat ucapan dilontarkan oleh wanita di sampingnya yang tak masih menatap lekat. "Kau tertarik padaku?"  "Iya, kau benar. Aku tertarik kepadamu. Wajah tampanmu dan badanmu yang bagus. Aku jadi ingin menciummu. Anggap ucapanku ini sebagai permintaan izin."  Tepat setelah Cavara menyelesaikan ucapan, wanita itu pun menyatukan bibir mereka. Memberikan pagutan pelan yang lembut. Dan, walau dalam keadaan masih kaget, tak disia-siakan kesempatan. Dilumat balik bibir ranum Cavara. Dalam waktu kurang dari lima detik, gairahnya berhasil bangkit kembali. Reaksi sangat cepat yang ditunjukkan oleh tubuhnya. Tak disangka. Namun, tidak akan ditampik. Ciuman semakin menuntut, tetapi berusaha tetap lembut. Bagaimana pun, harus diutamakan rasa nyaman Cavara Mikkler dibandingkan nafsunya sendiri. Ia ingin membuat wanita itu menikmati setiap detik waktu yang telah terlewati oleh cumbuan panasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD