3. Seseorang di masalalu

1891 Words
Ratih menyiapkan menu makanan untuk Damian sebelum pria itu kembali pergi bekerja. Katanya hari ini Damian masuk kantor dan melakukan tugasnya di kediaman Kenan Almeer. Entahlah, tapi yang pasti Ratih sedikit sedih. Damian tak sama sekali mengambil cuti, padahal ini masih masa-masa hangat dalam pernikahan. Mereka pengantin baru loh, harusnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama di rumah. Kalau untuk bulan madu ke suatu tempat, Ratih paham sekali jika keadaan Damian memang tidak memungkinkan. Bahkan jejak sisa kemesraan mereka tadi masih ada di sprei, belum sempat Ratih ganti sebab terlalu mengutamakan keperluan Damian. Kewanitaannyaa juga masih sedikit nyeri, sama sekali Damian tak menunjukkan kepeduliannya. Pria itu sangat cuek dan dingin, Ratih sungguh sedih. Ketika Ratih pikir mereka akan bermesraan dulu setelah bercintaa--berpelukan, atau bercerita singkat tentang hal manis, nyatanya tidak sama sekali. Pun dengan Damian yang tak mengajak Ratih mandi bersama seperti layaknya pasangan yang ada di film romansaa. Rupanya Ratih memang selalu menghayalkan sesuatu secara berlebihan. Ini tidak baik untuk kesehatan hatinya, buktinya sekarang dia menggenggam harapan fana. "Mas, aku hari ini mau ke kafe sekalian mau belanja keperluan dapur. Kamu kira-kira mau makan menu apa nanti ketika pulang?" Mereka sudah selesai makan, sekarang berada di ruang tengah. Ratih memerhatikan Damian yang sibuk mengecek beberapa berkas penting yang akan dia bawa ke kantor untuk memimpin rapat jam sepuluh nanti. Ratih yang melihat kesibukan suaminya merasakan lelah itu, tapi berbanding terbalik dengan Damian sendiri. Pria itu nampak baik-baik saja, tenaganya selalu terisi penuh dalam hal pekerjaan. Sampai mengesampingkan urusan lain, seperti keberadaan Ratih misalnya. Miris sekali! Damian tidak menoleh, kemudian menjawab singkat, "Terserah." "Hem, kira-kira Mas pulangnya jam berapa ya?" Ratih yang sejak awal memang sudah kebal hatinya akan masalah apa pun, tak terlalu mempermasalahkan percakapan singkat ini. Dia benar-benar terbiasa di abaikan oleh orang-orang. "Malam." "Mas lembur di kantor?" Damian menunjukkan ekspresi tak senang karena Ratih terlalu banyak bertanya. Pria itu pusing. "Saya balik dari kantor sore, kemudian langsung menyambangi kediaman Tuan Ken." Dari sorot matanya, hati Ratih kembali bergerimis. Ratih kuat, dia baik-baik saja. "Sebelum jam makan malam, apakah Mas sudah bisa berada di sini?" "Ra, saya sibuk. Jika saya pulang terlambat, kamu bisa makan malam sendirian tanpa harus menunggu. Jangan manja, sejak awal kamu tahu pekerjaan saya seperti ini." Damian menatap tajam, membuat Ratih bungkam seketika. Lalu segera berangkat. Tidak sama sekali menyematkan kecupann pada keningnya, Damian rupanya sudah terlanjur kesal dengan perdebatan ini. Ratih mengalah, dia yakinkan hatinya jika dirinya akan selalu baik-baik aja. Melambaikan tangannya ceria ke arah mobil Damian. Seperginya Damian, Ratih masuk ke dalam. Membersihkan kamar dan mencuci sprei yang terkena darahnya. Sungguh gilu ketika membayangkan penyatuan mereka tadi. Ternyata seperti itu rasanya bercintaa, dulu dia sering meledek Natasya yang selalu bilang takut dan tidak siap. Ya memang sih, pertamanya benar-benar perih dan sakit juga. Atau mungkin karena Ratih terlalu takut dan belum siap melakukan penyatuan? Mengingat semua itu, Ratih tersadar satu hal. Segera dia berdiri di depan cermin rias. Melihat dan menepuk-nepuk permukaan perutnya yang terdapat beberapa tanda kepemilikan Damian di sana. Usianya sudah dua puluh tujuh tahun, sudah terbilang tua dan sedikit terlambat untuk memulai pernikahan kan? Tapi tak apa, dia menikmati semuanya. Yang menjadi pertanyaan besar; kenapa Damian masih saja memakai pengaman saat berhubungan dengannya? Apa pria itu benar-benar tak menginginkan adanya anak dalam pernikahan mereka? Ratih terluka, kali ini rasanya sulit di jelaskan dengan ucapan. Ratih padahal sudah sangat ingin memiliki malaikat kecil yang dengan ceria nanti memanggil dirinya Bunda. Mendengarkan banyak cerita manisnya, menemani saat bermain, pun dengan membacakan dogeng pengantar tidur. Sungguh, itu adalah impian paling ingin Ratih usahakan dengan segera ketika menikah. Nyatanya ... lagi-lagi kenyataan tak sesuai harapan. Ratih harus kembali melatih diri agar tidak selalu menggantungkan harap pada sesuatu yang belum pasti. Dia akan terluka sendirian. Bangun bahagia sendiri, itukan yang sejak dulu selalu Ratih lakukan? Lantas kenapa sekarang nampak berbelok haluan? *** Setibanya di kafe, Ratih ternyata sudah kedatangan tamu yang katanya cukup lama menunggu di ruangan pribadi Ratih. "Hei ... Tian!" pekik Ratih senang sekali. Setelah sekian lama terpisah jarak Jakarta-Pontianak, akhirnya pria yang Ratih panggil Tian itu balik juga ke kota kelahirannya. Tian memang sedang menjalankan tugasnya di sana, bekerja kurang lebih lima tahun terakhir--tidak lama setelah lulus sarjana hukum, Tian ditugaskan ke Kalimantan Barat. Sekarang katanya dia kembali mendapat tugas ke Jakarta, senang sekali rasanya. Tian, lebih tepatnya Bastian. Pria bule kelahiran Los Angeles, California itu nampak selalu gagah dengan rambut cokelat khas dirinya. Bastian seumuran dengan Ratih dan Natasya, mereka bahkan berada dalam satu kelas yang sama waktu sekolah menengah atas dulu. Bastian semasa SMA-nya pernah mendapat gelar laki-laki paling tampan di sekolah. Banyak sekali adik kelas, teman seangkatan, bahkan kakak kelas yang menyukai bahkan mengaguminya secara diam-diam. Bastian sangat bangga dengan ketampanan yang dia miliki, dia sering mendapat hadiah yang banyak di dalam lacinya setiap hari. Berupa cokelat, bunga, surat cintaa, baju, dan sebagainya. Jika Bastian mendapat cokelat, maka akan dia berikan pada Natasya--sebab Ratih alergi mengonsumsi cokelat berlebihan. Sementara jika Bastian mendapat bunga, maka akan dia berikan kepada Ratih. Mereka bertiga sering kali tertawa ketika membaca isi surat cintaa yang entah siapa pengirimnya. Dari yang blak-blakan ngajak jadian, sampai surat puitis yang menggelikan perut. Nostalgia ke masa sekolah sangat menyenangkan! Saling berpelukan melepas rindu, Bastian lalu memberikan buket bunga mawar putih, sangat besar. "Sengaja pesan minggu lalu di tempat Tasya, gue pikir bakal dapat diskon. Ternyata malah bayar dua kali lipat. Tasya memang kerjaannya selalu ngakalin teman!" celetuk Bastian dengan terkekeh. Natasya memang meminta bayaran buket dua kali lipat, katanya karena Bastian lupa membawa cokelat untuk Natasya juga seperti dulu. "Wow, makasih Tian. Masih ingat aja gue suka bunga mawar putih." Bastian mengangguk, mereka duduk pada sofa panjang. "Ngomong-ngomong soal Tasya, dia kemarin lahiran loh. Cowok anaknya, bakal jadi penerus keluarga Almeer." Mata Bastian berbinar terang. "Oh iyakah? Pantas aja chat gue belum sama sekali dibaca sama dia. Nanti temenin gue jenguk ke sana, bisa?" Ratih mengangguk cepat. "Sorry banget loh, Cha, gue nggak sempat datang ke pernikahan lo kemarin. Baru banget bisa berangkat tadi pagi gue." Ratih mengangguk. "Santai!" katanya sama sekali tak mempermasalahkan. Dia paham kesibukan Bastian. "Lo nih pengantin baru, kok malah kerja sih? Nggak ambil cuti lo menikmati bulan madu?" "Mas Damian banyak kerjaan di kantor, apalagi sekarang Natasya juga abis lahiran. Dia padat jadwalnya." Bastian mengerti. "Susah sih punya kerjaan kayak suami lo. Mungkin nanti kalau keadaan udah lebih santai, lo nikmatin tuh waktu kalian berdua. Bisa lo kurung suami lo dalam kamar seharian." Sambil mengulum senyum, bercanda. Ratih nampak malu-malu menanggapinya. Benarkah dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Damian? Ratih sendiri bahkan masih ragu. Ketika semua orang berpikir jika Ratih sangat bahagia, menjadi wanita beruntung telah menjadi istri Damian. Nyatanya ... Ratih masih saja merasa sendiri dalam sepi. Damian cuek, tetapi tidak bisa dipungkiri jika Ratih berbahagia telah menjadi istri Damian. Dia memang mencintai pria itu, apa pun yang terjadi akan dia terima, itulah pilihannya sejak awal bukan? "Gimana kerjaan lo di Pontianak kemarin, lancar? Gue pikir lo pulang bakal bawa istri," celetuk Ratih tidak berdosa. Dia melihat perubahan ekspresi Bastian, sedikit jengkel akan pertanyaannya. Bastian tidak langsung menjawab, dia menyeruput minumannya lebih dulu. Berusaha santai, Ratih memang selalu jahil dalam bertanya. "Niatnya sih mau ambil lo jadi istri gue, eh malah keduluan orang lain," jawabnya asal yang justru membuat Ratih bungkam. Seperkian detik diam, Ratih kemudian tertawa. Tidak menanggapi serius ucapan Bastian yang menurutkan hanya sebuah lelucon. "Banyak tuh di Pontianak cewek cantik, lo kan cowok paling ganteng dulu di sekolah. Masa iya lama di sana lo ngejomblo aja?" Memakan kentang gorengnya, menatap Bastian sambil mengulum senyum. Bastian melipat sebelah kakinya, menyandar santai ke kepala sofa. "Banyak yang cantik, tapi gue nggak tertarik." Bastian berusaha menyombongkan diri, Ratih menertawakannya. "Songongg! Nggak berubah aja dari dulu lo mah! Nyebelinn kuadrat." Bastian tertawa. "Udah tua, cepat nikah. Nggak malu tuh sama Tasya yang udah punya dua anak." Bastian hampir saja tersedak minumannya. "Kurang ajarr ya mulut lo, Cha. Lo juga baru nikah kemarin, udah berani banget ngatain gue. Besok gue nyusul nikah!" Ratig tertawa. "Sama siapa lo nikah? Kayak ada calonnya aja!" Lalu memeletkan lidahnya tidak merasa bersalah. Bastian ini tipe orang yang tidak mudah marah jika dibuat jengkel, makanya Natasya dan Ratih sering menguji kesabaran pria itu. "Tuh sama tiang listri depan!" balas Bastian dengan memicingkan mata. "Untung temen gue lo, Cha. Coba enggak, udah gue lelepin di air laut!" Ratih kembali terbahak, senang sekali Bastian masih menjadi orang yang sama seperti dulu. Dia menyenangkan, Ratih tak pernah menyangka mereka akan bertemu lagi setelah lama tidak berjumpa dan tinggal pisah ibu kota. "Gimana keadaan bisnis-bisnis lo, Cha?" "Lancar banget." "Gue nggak nyangka lo bakal terjun ke dunia bisnis, masih ingat gue gimana keadaan lo dulu." Keadaan saat Ratih ditekan oleh kedua orang tuanya. Harus ikut apa kata mereka, tidak ingin tahu kemampuan anaknya bagaimana dan di bidang apa. Tapi untunglah sekarang Ratih membuktikan jika pilihannya benar, dia menyenangi pekerjaannya yang seperti sekarang. Ya, meski pastinya terjadi banyak perbedaan dan masih menimbulkan ketidaksukaan dari pihak orang tua Ratih. Ratih menghela napas, menaikkan sebelah bahunya. "Lancar, gue senang dan menikmati banget. Tapi lo tau sendiri, masihlah gitu ada aja yang diberantemin sama orang tua." Lalu diiringi kekehan yang Bastian dengar itu tawa menunjukkan keadaan tidak baik-baik saja. Wanita itu masih kuat dan kokoh pada pendiriannya terhadap pilihan. Dan lihat sekarang, dia sukses. Seharusnya orang tua Ratih bangga, bukan malah sebaliknya. Bastian sangat menyayangkan itu. Bastian mengusap puncak kepala Ratih. "Jalani apa yang lo senangi, yang buat lo bahagia. Dunia ini sementara aja, jangan lo sia-siain buat mentingin kebahagiaan orang lain. Lo juga harus bisa egois, nggak cuman orang tua lo." Ratih mengulas senyum lebar, lalu mengangguk. "Pasti. Gue senang dengan pilihan gue yang sekarang. Penghasilan gue juga nggak pernah mengecewakan kayak yang dibilang kedua orang tua. Gue tahu Tuhan itu Maha Adil, dia akan selalu bersama gue selagi jalan yang gue langkahi benar dengan niat yang baik." Sudah Bastian katakan berkali-kali, Ratih itu wanita yang hebat. Dia saja sebagai teman mengaguminya. Bukan hanya pandai tersenyum di kala hati menangis, raganya juga kuat di kala rapuh. Ratih itu wanita yang mampu bertahan meski banyak yang berusaha menjatuhkan. Dan orang tuanya ada di posisi paling depan soal kejatuhan Ratih, miris sekali. "Gue bangga. Terus lakukan semua yang terbaik menurut versi elo. Ada banyak dukungan dan bantuan. Semua orang menyayangi lo, Cha." Ratih mengangguk. Dia kembali memeluk Bastian. "Terima kasih banyak sudah menjadi salah seorang penyempurna kebahagiaan gue. Menjadi salah seorang yang yakin akan keberhasilan gue, meski angin menerpa sangat kencang." Bastian mengusap-usap punggung Ratih. "Tentu saja. Lo harus ingat jika di dunia ini banyak yang sayang sama lo. Kalau lo mau menyerah, ingat mereka. Semua bersedih kalau lo berhenti dan pasrah menuju kegagalan." "Pasti! Gue nggak bakal nyerah, gue akan menunjukkan kalau gue bisa. Mami dan Papi nanti pasti ngerti gimana kemauan dan kemampuan gue." Itulah tujuan pasti seorang Ratih, dia tidak hanya membuktikan kemampuannya pada kedua orang tua, melainkan pada seluruh manusia yang ada di dunia ini juga. Semua orang itu mampu, jika ada kemauan yang kuat. Percaya saja! Setidaknya di hari yang cerah ini Ratih tak benar-benar disambut dengan kesedihan. Tuhan masih baik, buktinya ada secercah kebahagiaan yang disisipkan tanpa Ratih duga sebelumnya. Kedatangan Bastian dan obrolan penyemangat singkat kali ini memperbaiki mood Ratih dalam sekejap. Kegelisahannya hilang, bibir tertarik membentuk senyuman amat lebar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD