2. Momen Mengecewakan

2238 Words
Pagi-pagi sekali wanita bernama lengkap Ratih Adipermana Laksa sudah bangun dan beberes rumah. Tak lupa dia juga memasak untuk sang suami, nanti ketika pria itu pulang tinggal mengisi perut. Meski bahan-bahan masakan sudah menipis, Ratih masih mempunyai beberapa ide menu makanan sederhana untuk menyenangkan Damian. Ratih tak ingin suaminya merasa kekurangan dalam hal apa pun. Usai memasak, Ratih kembali sibuk dengan cuciannya. Wanita itu sekarang terlihat sedang memperbaiki gulungan rambut cokelat bergelombang miliknya, merapikan ke atas agar tak merasa gerah. Leher jenjang bagian belakang Ratih nampak ditumbuhi bulu-bulu halus, kulitnya yang putih mulus semakin terlihat cerah. Pagi ini dia menggunakan dress tidur satin setengah pahaa berwarna mustard. Nampak begitu pas di tubuh moleknya, seksi sekali. Mendengar derap langkah seseorang menggunakan pentofelnya dari arah kejauhan, membuat senyum Ratih mengembang sempurna. Langkahan yang terdengar berirama itu semakin dekat, Ratih bersiap menyambut kedatangan suaminya. "Selamat pagi, Mas." Ratih menyapa ceria. Mengambil alih jas hitam milik Damian yang tersampir di lengannya. Dua kancing teratas kemeja putih pria itu sudah dibuka, dengan kedua bagian lengannya tergulung hingga siku. Pemandangan yang sangat indah pagi ini, wajah tampan suaminya. "Aku bantu lepasin dasinya boleh, Mas?" tanya Ratih masih dengan senyuman yang terulas hangat. Damian yang sejak tadi mengamati penampilan Ratih seketika tersadar, kemudian segera mengangguk mengiyakannya. Sumpah, ini kali pertama Damian menatap wanita lain mengenakan pakaian terbilang sangat seksii selain kekasihnya dulu. Hubungan Damian dengan kekasihnya dulu sudah sangat jauh, mereka bahkan tidak segan tinggal bersama dalam beberapa waktu. Menghabiskan malam dengan kegiatan panas, kemudian pagi hari di sambut dengan wajah cantik yang sedang berseri-seri penuh kebahagiaan. Menambah semangat siapa saja bagi penikmat wajah menenangkan itu. Sangat disayangkan ketika semuanya berjalan penuh cinta harus berakhir dalam duka sebab maut memisahkan dengan begitu mengenaskan. Damian tidak bisa melupakan almarhum kekasihnya, setiap detik yang sudah mereka lalui berharga sekali. “Mas mau cokelat hangat?” tawar Ratih dengan begitu perhatian. Dia menunjukkan sikap pada dirinya sebaik mungkin. Ratih belum mengenal Damian secara utuh, sembari memasuki kehidupan pria itu, Ratih mencoba menggali lebih banyak apa yang Damian sukai dan tidak sukai. Bukan ingin menjadi orang lain, hanya saja Ratih mencoba menunjukkan versi terbaik dirinya sebagai penyesuaian diri dalam pernikahan ini. Menjadi istri penuh cinta pada suaminya, memberikan perhatian penuh, dan berusaha membahagiakan sampai tidak terlintas rasa saling ingin menyakiti satu sama lain. “Boleh, kalau kamu tidak keberatan saya juga ingin sedikit cemilan sehat.” “Mas mau sereal? Nanti biar aku buatkan dalam mangkuk kecil saja. Setelah bersih-bersih kita makan bersama, aku udah siapin semuanya.” Damian hanya membalas dengan anggukan kepala, Ratih segera beranjak menuju dapur. Membuatkan cokelat hangat, dan menyiapkan sereal penuh keistimewaan. Dia senang bisa melayani Damian seperti ini, semoga pria itu bahagia dengan perhatian kecilnya. Hanya memerlukan sedikit waktu untuk menyiapkan dua menu sederhana itu, Ratih lantas kembali ke kamar utama mereka. Damian terlihat sedang menyandarkan punggung di sebuah sofa, kepalanya menengadah dengan mata tertutup. Ratih melihat betapa lelah pria itu dalam pekerjaannya. “Mas ini cokelat hangat dan serealnya. Hem ... Mas mau aku pijitin sebentar?” Damian menatap Ratih sebentar, lalu mengangguk saja pada akhirnya. Pria itu benar-benar merasa beberapa bagian tubuhnya sakit, dia kurang istirahat. Bukan hanya lelah dalam pekerjaannya, Damian juga merasa penuh isi kepalanya. Pernikahan ini membuat Damian merasa bersalah dalam beberapa hal, cemas kalau ini pilihan yang tidak tepat. Damian menyeruput cokelat hangatnya, kemudian merasakan pijitan pelan dari kedua jemari lentik istrinya. Dimulai dari bagian bahu dan daerah leher bagian belakang Damian, kemudian turun ke lengan atas, kiri dan kanan. Jujur saja, Damian merasa rileks, apalagi pijitan itu begitu berasa sehingga membantu meredakan sedikit pegalnya. “Mas mau dipijitin di kepala juga?” Segala sesuatunya, Ratih selalu izin terlebih dahulu. Dia takut Damian menganggap Ratih tidak sopan, meski seluruh bagian diri Damian adalah hak Ratih—begitu pun sebaliknya, mereka sudah menikah, sah secara agama dan hukum negara. Hanya saja masih begitu sungkan, mereka belum saling mengenal secara jauh. Jika nanti keadaan sudah lebih baik, mungkin tidak terlihat lagi rasa sungkannya. “Iya.” Damian mengangguk singkat, lalu memejam kembali menikmati rasa nyaman yang ditimbulkan oleh pijatan itu. “Lain kali kalau Mas merasa sudah sangat lelah, istirahat saja. Pekerjaan masih bisa diselesaikan nanti, sementara kesehatan Mas nggak bisa ditakar dan ditunda-tunda kapan mau jatuh sakit.” Damian hanya bergumam pelan untuk menjawab, selanjutnya kembali memilih diam adalah jurus andalannya. Usai memijat beberapa bagian tubuh Damian, pria itu melahap sereal yang Ratih bikinkan tadi. Satu mangkuk kecilnya habis tanpa tersisa, begitu pun dengan secangkir cokelat hangatnya. Hanya hal sekecil ini, Ratih sudah bahagia. "Mas mau mandi sekarang?" tanya Ratih kemudian. Menyadarkan Damian dari lamunannya saat duduk santai setelah menghabiskan sereal. Pria itu mengerjap, memijat pangkal hidungnya sebentar untuk menyingkirkan sebentar masalalu yang begitu menyakitkan untuk diingat kembali. Dan ya ... bayangan Aura kembali mengisi ruang kepalanya. Menerima perhatian Ratih, Damian menjadi sedih. Dia takut mengkhianati kekasihnya, tapi menolak tawaran Ratih juga bukan pilihan yang tepat. "Sebentar lagi." Damian mengambil tablet miliknya, menyalakan layar benda pipih dan canggih tersebut untuk memeriksa email yang masuk. Tadi sekretaris pribadinya menghubungi, katanya dia akan mengirimkan file hasil rapat kemarin. Damian akan memeriksa dan merevisi kembali jika masih terdapat kekurangan. "Jangan mengenakan pakaian seperti ini keluar ruangan." Tanpa menoleh dan terlihat begitu santai, Damian kembali membuka suara. Terdengar datar, namun diterima baik oleh indra pendengar Ratih. Ratih mengangkat wajahnya, menatap Damian sebentar. "A-aku tidak boleh mengenakan pakaian seperti ini lagi?" tanyanya sedikit canggung. Ratih pikir dia telah salah memilih gaun tidur. Damian tak menyukainya? "Boleh. Hanya saja tidak untuk ke luar ruangan." "Ke halaman belakang? Aku ngurus cucian tadi." Damian akhirnya menoleh pada Ratih, menatap malas. "Ganti saja." Ratih mengernyit. "Kenapa? Aku h-hanya sebentar--" "Ada banyak orang saya yang mulai berjaga hari ini. Mereka akan memastikan jika wilayah di sini tetap aman." Ratih masih terlihat mengerutkan kening, wanita itu tidak paham apa yang Damian maksud. "Di kamar saja kalau mau berpakaian seperti itu. Mengerti?" ulangnya setelah membaca raut wajah Ratih. Beberapa saat memahami, Ratih akhirnya mengangguk mengerti. "Ya, akan aku pakai ketika di kamar aja, Mas." Damian kemudian mengalihkan tatapannya dari Ratih. Membuka kemeja dan celana, memasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ratih yang melihat pemandangan itu hanya bisa merapatkan kedua bibirnya. Dia tidak tahu harus melakukan apa, ini benar-benar sangat jelas terlihat. Tubuh besar dan kekar Damian hanya ditutupi oleh celana ketat pendek berwarna hitam. "Kamu sedang melakukan apa di dapur?" tanya Damian secara tiba-tiba. Ratih terlonjak kaget, nampak salah tingkah sebab tertangkap basah telah memerhatikan tubuh Damian. "A-ah ... a-aku sedang mencuci." "Lalu?" "Hem ... tinggal itu saja. A-aku sudah beberes dan memasak." "Pagi ini bisa?" Ratih mengangkat kepalanya, memberikan tatap tidak paham. "B-bisa ... bisa apa, Mas?" "Melayani saya." Mulut Ratih terbuka tidak menyangka Damian akan menagih haknya sekarang. Dadaa Ratih langsung berdebar kencang, berpacu tak terkontrol. "S-sekarang?" Damian mengangguk pelan. Sangat berbanding terbalik dengan perasaan Ratih yang seperti terdapat petasan di dalamnya, Damian justru terlihat tidak terbebani sama sekali. "Saya akan kembali ke kediaman Almeer setelah ini dan ke kantor juga. Malam saya baru pulang ke rumah dan ingin segera istirahat." Tidak tahu ini ide yang tepat atau tidak. Damian hanya merasa semakin bersalah jika tak memenuhi kebutuhan yang satu ini sementara Ratih sudah menjadi istrinya. Wanita itu pasti akan bersedih dan merasa begitu abaikan. Damian sebenarnya tidak siap, hatinya sangat keras untuk urusan ini. Dia lagi-lagi merasa telah mengkhianati kekasihnya. Semoga di surga sana Aura masih berkenan menunggunya untuk kembali hidup bersama. "Jika tidak--" "Iya!" jawab Ratih mengangguk cepat. "Terserah Mas Damian, semua yang ada pada diri aku sudah menjadi haknya Mas. A-aku nurut aja." Dengan perasaan tak menantu, Ratih akhirnya mengiyakannya. Persetan dengan langit yang sudah berubah terang, kapan saja waktunya akan terasa sama istimewa. Damian menginginkan dirinya, tidak mungkin Ratih menolak. "Hem ... tapi, Mas, a-aku belum mandi dan baru saja selesai memasak." Mencegah sebentar saat Damian memajukan wajah ingin mengecup keningnya. Tidak memedulikan ucapan itu, Damian menuluskan niatnya mengecup kening Ratih dan puncak kepala wanita itu. "Tetap wangi." Pujian singkat dan masih terdengar dingin itu buktinya mampu membentuk senyuman di bibir Ratih. Damian membalik tubuh Ratih agar membelakanginya, melingkarkan perlahan lengan pada perut wanita itu. Damian memeluk hangat, Ratih merasakannya dengan penuh cinta. Mengusap lengan Damian, memanjat doa pada Tuhan agar hubungan mereka segera membaik setelah hari ini. Ratih semakin tidak karuan rasa, apalagi sekarang dia telah merasakan hembusan napas hangat dari Damian yang mulai menerpa daerah leher dan punggung bagian atasnya. Kecupan demi kecupan singkat Damian daratkan di sana. Mulai dari daerah leher bagian belakang, punggung, dan kedua bahu Ratih. Bulu kuduk Ratih meremang, dadaanya seakan ada yang ingin meledak, sangat sulit di artikan rasanya. Ini benar-benar menakjubkan sekali. Sudah puas dengan daerah belakangnya, Damian memutar tubuh Ratih untuk menghadap padanya. Pipi Ratih merona merah, dia langsung menunduk sebab malu yang teramat dalam. Tubuh Ratih mendadak kaku saat Damian mengikis jarak di antara mereka, memberikan kecupan singkat di keningnya lagi. Jantung Ratih berdebar tidak terkendali, sebelumnya tidak pernah terbayangkan sedikit pun jika rasanya akan semendebarkan ini. Ketika perlahan bibir Damian menyentuh permukaan wajahnya—kedua pipi, dagu dan ujung hidung, Ratih sampai menahan napas, benar-benar tidak tahu lagi bagaimana menggambarkan perasaannya. Ini hal baru yang menimbulkan sensasi asing, berusaha menikmati walau begitu canggung dan kaku. Damian mengangkat dagu Ratih, menatapnya beberapa saat. Ketika Damian akan memajukan wajahnya ingin menyentuh bibir Ratih, refleks wanita itu menjauhkan wajahnya. Kemudian berjengkit, melebarkan mata dan langsung merasa bersalah. "Mas, a-aku nggak bermaksud--" "Ini yang pertama bagi kamu?" tanya Damian. Ragu, Ratih menganggukkan kepalanya. Kendati sudah menginjak usia dua puluh tujuh tahun, tetapi Ratih benar-benar tak pernah melakukannya. Ini yang pertama kali baginya, bersama sang Damian. Bangga sekali berada di masa ini, di mana kita bisa menyerahkan harta dan mahkota paling berharga kepada seorang yang seharusnya memiliki kita, suami. Dulu Ratih dan Natasya berteman dengan siapa pun, laki-laki maupun perempuan bebas saja. Namun memang prinsip keduanya kuat, berteman sewajarnya, tidak berlebih-lebihan. Damian sedikit terkejut. Benarkah dia menjadi yang pertama? Tuhan sedang menunjukkan kebaikannya. Damian bukan pria yang baik—sangat jauh dari kata itu, tapi lihat sekarang. Tuhan hadirkan Damian wanita seperti Ratih, dengan tubuh yang tidak pernah terjamaah oleh pria lain sebelumnya. "Rileks," gumam Damian sebelum benar-benar meraih bibir Ratih. Untuk pertama kalinya, Damian merasa bersyukur. Wanita juga perlu tahu dalam sejarah para pria, meski pergaulan dan dunia mereka nampak gelap ... percayalah jika setiap pria menginginkan wanita baik-baik untuk menjadi istri dan calon ibu dari anak-anaknya kelak. Seperti adanya ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut, sungguh Ratih tidak bisa berhenti tersenyum dalam keadaan hati berbunga-bunga. Damian begitu lembut dalam setiap perlakuannya, Ratih merasa begitu diinginkan. Dia seperti barang rapuh yang tidak bisa diperlakukan kasar, takut akan membuat hancur dalam sekejap mata. Tidak ingin berlama-lama lagi--sebab waktu Damian terbatas, pria itu membuka sebuah laci nakas teratas, mengambil sesuatu dari dalam sana kemudian mengenakan di hadapan Ratih. Ratih mengernyit bingung, Damian memakai pengaman? Sungguh, hal ini membuat Ratih bersedih. Dia merasa tidak lagi begitu diinginkan. Kenapa harus begini? "Kamu baik-baik saja?" tanya Damian membuyarkan lamunan Ratih. Dirinya ingin sekali berkata cukup, berhenti saja. Namun apalah daya, Ratih tak mungkin berani melakukannya. Damian sudah siap, dia akan marah besar jika Ratih menolak di saat seperti ini. Bukan hanya Damian yang akan merasa kecewa, Tuhan pun mungkin saja tidak memberkahi Ratih dalam setiap langkahnya sebab kebutuhan sang suami tidak dia penuhi. Ratih mengangguk pelan, kendati perasaannya sudah tak seperti sebelumnya. Kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Jadi Damian tak benar-benar menginginkan dirinya? Tidak ingin memiliki keturunan darinya? Atau bagimana ...? Saat mereka hampir melebur menjadi satu, tubuh Ratih berjengkit kaget dengan rasa yang baru dia kenali. Ratih refleks meringis. Menyadari respon tubuh Ratih, Damian berhenti sejak. Mereka saling menatap beberapa saat, menunggu Ratih untuk benar-benar siap sebelum memulai kembali. Semua yang terjadi diterima dengan penuh rasa kasih oleh Ratih, meski sedikit kepikiran soal pengaman yang sempat mengacaukan pikirannya beberapa saat lalu. Tapi karena ini spesial untuk sang suami, Ratih berusaha memberikan yang terbaik. Tidak ingin sampai Damian merasa kecewa, ingin menunjukkan jika dirinya mampu menjadi seseorang yang selalu diinginkan oleh Damian. Ratih mengulas senyum, napasnya terdengar memburu dengan wajah yang tak berhenti merona merah sedari awal menerima sentuhan Damian. Malu dan ada sedikit rasa takut mengecewakan. Sebagai penutup, sebelum benar-benar mengakhiri keadaan luar biasa ini, Damian kembali mencuri kecupan singkat. "Terima kasih," gumam pria itu pelan. Meski benar-benar keras hatinya, Damian tak lupa mengucapkan rasa terima kasihnya. Ratih sudah berhasil memberikan sensasi yang sangat luar biasa. “Mas, peluk aku." Ratih mengulurkan kedua tangannya pada Damian. Sebenarnya Ratih adalah wanita yang begitu manja dan senang diperhatikan dalam hal sekecil apa pun. Melihat Damian mengiyakan keinginannya, Ratih kembali tersenyum tipis, lalu menjadikan dadaa Damian sebagai bantalan empuk yang begitu hangat. Debaran mereka saling bersahutan merdu. “Maaf kalau aku masih terlalu kaku.” Ratih menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu mengucapkan kalimat itu. “Tidak. Sudah begitu sempurna, kamu melakukannya dengan baik.” Damian tidak tersenyum, tidak pula merasa kebahagiaan itu menyambanginya. Malah menjadi lamunan singkat, pikirannya mengosong seketika. Entah apa yang sedang mengganggu, Damian merasa bingung sendiri pada dirinya. Tidak hanya Ratih yang cemas, Damian pun demikian. Hanya saja rasa cemas mereka berbeda bentuknya. Semoga saja pilihan Damian ini tidak salah, dia hanya ingin menjalankan kewajibannya. Saat Damian memilih diam, Ratih pun bingung ingin membuka suara lagi. Merasakan hembusan napas Damian pada puncak kepalanya, Ratih memejam. Dia kembali teringat saat Damian membatasi dirinya. "Bagaimana aku akan hamil kalau kamu menggunakan karet sialaan itu?" Hanya dalam hati, Ratih belum berani mengatakannya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD