8. Wanita Sekitar Alexander

1709 Words
Suara dering ponsel membangunkan Florence. Ia membuka matanya dan mengerjap beberapa kali menatap ke langit-langit tinggi sebuah ruangan berlampu kristal yang terlihat kotor. Beberapa jaring laba-laba terlihat menggelantung, menghiasi sela-sela kaca kristal yang berwarna abu-abu karena tertutup oleh debu. Seketika memori memenuhi otaknya, mengingatkannya apa yang baru saja dilaluinya. Berandalan! Alexander! Pikiran itu sontak membuat Florence tersentak duduk yang kemudian menyebabkan kepala dan pinggangnya berdenyut. Dering telepon yang masih terdengar mengalihkan perhatiannya dari apa yang baru dialaminya. Sambil meringis, Florence meraih tas nya yang digeletakkan diatas meja tak jauh dari tempatnya tertidur dan mengaduk-aduk isinya mencari ponselnya. Telepon dari Julian?, pikir Florence sambil membaca nama yang tertera di layarnya. “Ya, halo?” sahut Florence. “Dimana kau?!” teriak Julian dari ujung sambungan. “Ah… Apa, Pak?” “Kau kira dirimu pemilik kantor? Sekarang sudah jam 9 dan kau masih belum muncul? Aku membutuhkan laporan yang kau kerjakan jumat kemarin untuk sidang pagi ini!” “Apa? Sudah jam 9?” Kepala Florence kembali berdenyut. Ia menutup matanya yang terasa panas. “Maafkan—“ “Aku tunggu sebelum jam 10, sebaiknya laporan itu ada diatas mejaku, atau aku akan membuat hidupmu jauh lebih sengsara dari pada sekarang, Florence!” bentak Julian sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. Florence menunduk menatap ke layar ponselnya sebelum kemudian menyadari bahwa baju yang dikenakannya sudah bukan gaun tidur yang dipakainya semalam melainkan sebuah kemeja yang kedodoran. Florence melongok ke dalam kemeja yang dipakainya dan menyadari bahwa pakaian dalamnya pun sudah tidak lagi melekat ke tubuhnya. Hah? Apa yang terjadi? Florence teringat pria bersuara dingin yang menggendongnya sebelum kemudian kesadarannya menghilang. Alexander! Dimana dia? Florence menoleh ke sekeliling ruangan, ia sepertinya berada di ruang tengah tak jauh dari pintu masuk. Sofa yang didudukinya terasa halus terbuat dari beludru berwarna merah maroon. Tapi selain sofa dan meja, ruangan itu terlihat kosong dan sedikit berdebu, seolah tidak pernah ditinggali. Di sisi ruangan yang berlawanan dengan pintu masuk, terdapat dua buah anak tangga yang melingkar naik  berlawanan arah mambuat rumah Alexander, walaupun tidak terawat tapi terlihat elegan. Layaknya rumah-rumah para bangsawan yang sering dilihatnya difilm. Rumah itu bahkan dilengkapi dengan jam antik kuno sebesar kulkas yang berdiri di antara kedua tangga. Bandulnya yang besar berayun dari satu sisi ke sisi lain menandakan jalannya detik demi detik yang berlalu. Florence mencoba untuk berdiri berpegangan pada sisi sofa, sambil menarik ujung kemejanya agar menutupi pahanya yang tidak mengenakan apa-apa. “Uhm… Tu…Tuan Alexander…,” panggilnya sambil berjalan kearah tangga. “Tuan Alexander sedang beristirahat. Ia sedang tidak bisa diganggu!” Suara ketus seorang wanita membuat Florence menoleh ke sudut ruangan. Dari lorong di sisi sebelah tangga, muncul seorang wanita mengenakan pakaian minim dan dandanan yang tebal. Gaun yang dikenakan wanita itu, menurut Florence, terlihat lebih seperti gaun tidur daripada baju. Tipis, berenda dan sangat menerawang. Lekuk tubuhnya yang molek terlihat dengan jelas di balik balutan kain tipis berwarna merah itu. Florence langsung mengenali wajah dan suara wanita itu sebagai wanita yang sama dengan yang ditemuinya sejak kemarin. Wanita jangkung itu berjalan masuk ke ruang tengah dengan diikuti wanita lain yang lebih pendek dibelakangnya. Wanita kedua terlihat lebih sederhana daripada temannya yang jangkung, rambutnya yang lurus se dagu dibiarkan terurai tanpa hiasan apapun, sementara wajahnya yang segar tidak terpoleskan oleh makeup. “Tuan Alexander memintamu untuk meninggalkan rumah ini begitu siuman. Kau sudah siuman, dan disana lah pintu keluarnya,” tunjuk wanita yang jangkung itu dengan dagunya. Florence ikut menoleh ke arah yang ditunjuk sebelum kemudian menoleh balik ke arah wanita yang mengusirnya. “Tidak, aku tidak akan pulang sebelum menemui Alexander!” tegas Florence sedikit menaikkan nada suaranya. Entah sudah berapa kali dirinya harus bolak balik kemari. Kini berhasil berada di dalam rumah Alexander, Florence tidak akan mundur begitu saja. Wanita yang bertubuh tinggi yang bernama Deyja itu tersenyum sinis mendengar protes Florence. Deyja sudah melayani Alexander sejak dirinya berumur 15 tahun. Dijual oleh ibu tirinya ke rumah bordil, Alexander lah yang menyelamatkannya. Pria itu bahkan memberinya tempat tinggal dan membiarkannya untuk mengurus rumah besar milik nya sesuka hati, menjadikannya merasa sebagai nyonya di rumah itu. Walaupun Alexander sebenarnya tidak pernah menunjukkan ketertarikan padanya selain darahnya, Deyja sudah menganggap Alexander sebagai miliknya dan tidak berniat membaginya dengan wanita lain. Ia sempat merasa kesal ketika Alexander membawa Violet untuk tinggal bersama mereka. Wanita yang bertubuh lebih pendek darinya itu rupanya menderita sebuah penyakit, dan membutuhkan darah Alexander untuk mengendalikan penyakitnya agar tidak kambuh.  Merasa iba pada Violet, yang adalah yatim piatu dan tidak memiliki siapapun, Alexander akhirnya memutuskan untuk memberi wanita itu tempat tinggal di rumahnya, sama seperti Deyja. Tidak berani membantah, Deyja mau tidak mau akhirnya menerima keputusan Alexander, yang untungnya memang terlihat tidak tertarik sama sekali kepada Violet. Jika dipikir-pikir, Alexander sebenarnya memang tidak tertarik pada keduanya kecuali menggunakan mereka sebagai pemasok darah segar. Tapi kini Alexander kambali memungut wanita lain dari jalanan? Wanita dengan wajah yang lebih cantik dan lebih segar darinya? Tidak, Deyja tidak bisa membiarkan hal itu berlanjut. “Dengar… Nona… Aku tidak tahu siapa dirimu, dan apa maumu. Tapi kau salah jika mengira Tuan Alexander bersedia mambantumu. Ia hanya membawamu kemari karena merasa kasihan. Tidak lebih dari itu. Sekarang pulanglah!” perintah Deyja dengan nada ketus. “Tidak!” balas Florence keras kepala. Wanita itu berjalan melewati tubuh Deyja, hendak mencari keberadaan Alexander di lantai dua, sebelum sebuah cekalan di lengannya menghentikan langkahnya. “Aw! Lepaskan aku!” jerit Florence sambil meringis kesakitan.   Mengabaikan rintihan dari Florence, Deyja menancapkan kuku panjangnya ke dalam kulit Florence dan menyeret wanita itu ke arah pintu. “Violet, bawakan tasnya!” perintah Deyja sambil membuka pintu depan. Ia langsung mendorong tubuh Florence keluar dan melemparkan tas milik wanita itu yang berhamburan di kaki Florence. “Awas saja jika kau berani menampilkan wajahmu di sini lagi!” ancam Deyja. Tanpa menunggu jawaban Florence, wanita itu membanting pintu di hadapannya dengan keras dan menguncinya rapat-rapat. Kembali berada di luar rumah Alexander, Florence termenung sejenak, tidak yakin apa yang harus dilakukannya sekarang, sebelum kemudian ia teringat. Julian! Sial!Ia masih harus kembali ke kantor! Ia menunduk menatap tubuhnya yang hanya memakai kemeja kedodoran yang sepertinya milik Alexander. Aku tidak bisa kekantor mengenakan pakaian ini. Aku bahkan tidak yakin bisa sampai ke pemberhentian bus dengan pakaian ini sebelum berandalan lain menggangguku.Apa yang harus kulakukan. Bunyi ponselnya yang kembali berdering membuat Florence tersentak. Ia segera menunduk mencari benda itu di dalam tasnya. “Robert?” panggil Florence begitu ia mengangkat ponsel ke telinganya. “Hai…uhm…Flo... Maaf mengganggu. Uhm… Apakah kau… uhm… sibuk?” Dada Florence langsung berhenti berdetak mendengar suara Robert yang terdengar ragu-ragu, seolah ia hendak menyampaikan berita buruk padanya. “Tidak. Ada apa, Rob? Apakah hasil tes biopsiku sudah keluar?” tebak Florence. Ia meremas kerah kemeja yang dipakainya seolah benda itu mendadak terasa mencekik jalur pernafasannya. “Sudah, Flo. Baru saja pihak laboratorium mengemailku.” “Dan?” “Uhm… Maafkan aku. Adam tidak memiliki kecocokan denganmu.” Florence menggertak kan giginya, berusaha untuk mengatur nafasnya yang memburu. “Ok… Ok… Jadi apa sekarang? Memasukkan nya ke daftar donor?” “Ya. Tapi mengingat panjangnya antrian orang yang mencari donor, akan membutuhkan waktu yang cukup lama hingga mereka menemukan donor yang cocok untuk Adam. Waktu yang Adam tidak punya….” Robert terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Uhm…. Sebetulnya ada satu cara lain, Flo…” “Ya?” “Kau bisa meminta ayah Adam untuk—“ “Tidak!” “Flo—“ “Tidak! Rob! Aku tidak akan menghubungi pria itu! Aku lebih baik melacur kan diriku dari pada menemui pria itu!” teriak Florence dengan suara meledak. “Tidak…. Aku akan menemukan cara lain. Seperti kau bilang, darah Alexander Oberon mungkin bisa menyelamatkan Adam. Aku akan mendapatkan darah Alexander Oberon. Apa pun caranya.” Florence mematikan ponsel di tangannya dan menundukkan tubuhnya, mulai memunguti barang-barangnya yang tercecer keluar dari dalam tas nya. Tanpa sadar bahwa air mata yang dari beberapa hari ditahan-tahannya kini meluncur dengan deras. Air mata yang berasal dari jiwanya, dan sudah terkubur berhari-hari bahkan mungkin bertahun-tahun, pagi ini dibiarkannya tertumpah mengalir keluar melalui matanya. Di depan pintu rumah bertingkat milik pria yang tidak bersedia membantunya, akhirnya Florence membiarkan dirinya merasakan semuanya. Kemarahannya akan ketidak adilan hidupnya. Kesedihan akan situasi yang dihadapinya saat ini. Dan keputusasaannya.   Beberapa menit Florence menunduk sambil terisak, memeluk dirinya sendiri seolah berusaha untuk memberi dirinya sendiri sebuah pelukan yang bisa memberinya kekuatan. Tanpa sadar akan adanya sepasang mata di lantai dua yang mengamatinya dari balik jendela kamarnya yang tertutup bayangan. Alexander berdiri di sisi jendela, terbangun karena suara Florence, yang kini makin membuatnya penasaran. Sesuatu dari diri wanita itu membangkitkan seleranya. Mungkin karena aroma keputus asaan yang terpancar, atau mungkin karena kecantikannya yang tidak biasa. Campuran dari keangkuhan, dan ketidak berdayaan yang membuat Alexander tidak mampu melepaskan pandangan matanya dari wanita yang masih berjongkok sambil memeluk dirinya sendiri. Jika saja ini bukan siang hari, sudah pasti Alexander mendapati dirinya sendiri mungkin kini merengkuh wanita itu dan membawanya ke dalam dekapan nya. Seluruh tubuhnya berteriak untuk menjangkau wanita itu. Menjadikan perasaan tidak berdaya itu muncul lagi, yang kemudian membuatnya Alexander merasa marah. Tidak! Tidak lagi! Aku selesai dengan menyerahkan hatiku pada wanita. Alexander mencengkeram ujung gorden, membiarkan cahaya matahari yang masuk membakar tangannya yang menyembul keluar jendela. Baginya rasa sakit lebih baik daripada kepedihan yang mulai merayap muncul setiap kali ia mengingat wanita itu. Wanita yang sudah mencabut jantung dingin dari rongga dadanya dan menginjak-injak nya. Meena. Asap putih mulai mengepul keluar dari punggung tangan Alexander yang terbakar dan meleleh karena terpaan sinar matahari. Ketika ia sudah tidak bisa lagi menahan perih nya, Alexander menarik tangannya masuk kedalam bayangan ruangan dan membiarkan ‘kelainannya’ menyembuhkan lukanya dalam hitungan detik. Sambil menggenggam tangannya yang baru saja terbakar, Alexander mengamati Florence yang kini terlihat menegakkan tubuhnya, mengelap sisa-sisa air matanya dengan ujung kemeja yang dipakainya dan berlalu keluar. Begitu bayangan Florence menghilang dari balik pagar tingginya, Alexander meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. “Carikan aku informasi tentang Florence Sorina!” perintahnya. ===== Note: Eh rupanya diusir... Gagal lagi ketemu Alexander. Maafkan Author yang doyan mempermainkan perasaan kalian yah. Perjalanan masih panjang bagi mami flo. Ingat tagar #savemamiflo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD