9. Pria Bermanik Mata Coklat

1639 Words
Yang blum tap love mari tap love. Yang baca lewat link, disarankan download aplikasinya. Selain lebih nyaman, juga akan ada banyak pilihan cerita yang bisa di cari via aplikasi. Tersedia di appstore dan playstore kok. Mudah dan cerita FREE akan tetep FREE. Sekalian follow akun authornya D.F.E dan Ikuti cerita author yang lain juga. ===== Tidak mungkin memakai kemeja milik Alexander tanpa pakaian dalam ke kantor, mau tidak mau Florence pulang. Dengan terburu-buru, ia mengganti kemejanya dengan gaun yang lebih layak, menjawab pertanyaan dan cecaran dari neneknya, menenangkan Adam yang rewel begitu melihat kehadirannya, mengganti lagi pakaiannya karena mendadak Adam muntah ketika sedang dalam gendongannya, merasa bersalah karena harus meninggalkan anaknya dalam keadaan menangis, ikut menangis di dalam bus sepanjang perjalanan ke kantor, dan tiba di dalam kantor dalam keadaan acak-acakan, muka lelah dan mata sembab. Florence menahan nafasnya sambil menunduk sementara Julian memarahinya habis-habisan karena sudah sangat terlambat. Ia bahkan tidak berani menatap mata Julian ketika menyerahkan berkas yang ada di genggamannya. Pria itu meraih dokumen yang disodorkan oleh Florence dan melemparkannya balik ke wajah wanita itu, membuat Florence tersentak kaget. “AKU PERLU DOKUMEN INI PUKUL 10. SEKARANG AKU SUDAH TIDAK MEMBUTUHKANNYA LAGI! KEMASI BARANGMU, KARIRMU DI KANTOR INI… DAN DI KOTA INI, SELESAI HARI INI!” Mendengar ancaman Julian, Florence yang sedari tadi menunduk kini mendongak. Mata sembabnya menatap ke arah Julian yang kini sedang berjalan kembali ke belakang mejanya. “Ma… maafkan saya, Pak. Tapi saya tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Saya—“ BRAK! Julian menggebrak mejanya membuat Florence langsung terdiam dan kembali menahan nafas. “Kau kira aku peduli?!” geram Julian dari sela giginya yang terkatup rapat. Beberapa saat tidak ada suara lain yang terdengar dari dalam ruangan, kecuali hembusan nafas dari hidung Julian yang terdengar bagaikan seekor banteng yang bersiap hendak menabrak matador yang mengganggunya. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan, Florence. Tidak tahukah dirimu bahwa semua orang menentangku memperkerjakan dirimu? Sekarang katakan, kurang baik apa aku padamu?” Florence menggeleng, “Anda sudah sangat baik, Pak. Dan aku berterima kasih. Hanya saja aku masih butuh pekerjaan ini. Tolong… jangan pecat saya.” Julian terdiam mendengar rengekan wanita itu. Matanya menatap tajam ke tubuh Florence yang jelas-jelas terlihat gemetaran. Salah satu kancing blouse yang dikenakan Florence terbuka tidak terkancingkan, mungkin karena terburu-buru, menyebabkan lekukan di d**a wanita itu terlihat dari balik pakaiannya. Julian bisa merasakan sesuatu bangkit dari dalam dirinya. Sesuatu yang selalu tidak bisa ditahannya setiap berhadapan dengan Florence. Apalagi kini melihat wanita itu tidak berdaya, sungguh membuatnya semakin berg*airah. Pria itu beerjalan mengitari mejanya dan menyandarkan tubuhnya di depan meja kerjanya, menatap Florence yang masih mengamati kakinya sendiri. “Katakan, apakah kau masih memerlukan uang nya?” Ucapan Julian membuat Florence langsung mendongak. Matanya menatap ke arah bos nya yang bersandar di depannya dengan tangan terlipat. “Tentu saja… tapi….” Florence meremas lengannnya sendiri berusaha menahan kebimbangan yang mulai merambat muncul. “Tawaranku masih berlaku jika kau berubah pikiran. Uang sebanyak yang kau butuhkan, pekerjaan, aku bahkan akan menggunakan koneksi ku untuk mendapatkan perawatan terbaik untuk anakmu. Koneksiku bahkan bisa memajukan nama anakmu dalam daftar penerima donor, jika kau memerlukannya. Aku bisa membuat semua masalahmu lenyap.” Florence terdiam memikirkan tawaran Julian. Terus terang ia mulai putus asa akan keadaannya. Pria yang diharapkannya bisa membantunya, sudah menolaknya berkali-kali. Alexander bahkan tidak memberinya kesempatan untuk mengutarakan permohonannya. Dibandingkan harus mengemis kepada Henry Moreno untuk membantu, jujur Florence lebih baik menjual dirinya kepada Julian. “Dan imbalan apa yang harus kulakukan untuk membalas bantuan, Bapak?” “Mudah. Seperti yang kukatakan. Tubuhmu untuk kugunakan semauku,” jawab Julian sambil menatap mata Florence lekat-lekat. Beberapa saat tidak ada jawaban dari Florence. Ia kini sudah benar-benar terdesak hingga ke ujung jurang. Banteng dihadapannya memberinya jalan keluar. Satu-satunya jalan adalah menerimanya, atau melompat ke bawah menuju kematian. Bukan hanya dirinya, tapi juga Adam. Ia tidak punya pilihan lagi. “Baiklah,” jawab Florence akhirnya menyerah. Jika Julian adalah satu-satunya tangan yang menyodorkan jalan keluar untuknya, maka ia akan meraihnya.  “Bagus!” sahut Julian cepat. “Aku perlu keluar kota beberapa hari. Tapi aku akan kembali Jumat. Kita lanjutkan pembicaraan kita, Jumat.” Florence mengangguk sekali lagi, membuat Julian mengembangkan senyuman di wajahnya. Ia melangkah mendekati Florence. Tangannya terjulur ke arah blose wanita itu. Florence yang kaget, melompat selangkah mundur, menghindari jangkauan tangan pria itu. “Aku kira kau setuju? Tubuhmu untuk kugunakan semauku? Aku perlu memeriksa barang yang sudah kubeli bukan?” Florence menatap mata lapar Julian yang terarah padanya. Tidak memiliki pilihan, ia akhirnya terdiam ketika pria itu mendekatinya lagi, dan kali ini, membuka beberapa kancing blousenya terlepas. Tangannya meraih bra berwarna coklat krem yang di pakainya dan meremasnya pelan. Florence mengalihkan pandangannya ke samping. Ia bisa merasakan jantungnya yang berdetak penuh kengerian, mengiringi suara hembusan nafas dari Julian yang semakin berat.” “Sempurna,” bisik pria itu pelan. Ia meraih wajah Florence dan menariknya agar menatapnya sebelum melanjutkan ucapannya, “Jumat, Flo. Persiapkan dirimu. Sekarang tutup tubuhmu dan kembalilah ke mejamu.” Tidak membuang waktu, Florence langsung bergegas membenahi pakaiannya dan berlari keluar dari kantor Julian. Seharian itu, Florence menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan setumpuk tugas-tugasnya yang terbengkalai, menghiraukan sindiran dan cemoohan dari rekan kerjanya yang berbisik-bisik dibelakang punggungnya. “Lihat saja, ia sudah terlambat berapa kali. Pak Julian masih juga tidak memecatnya.” Suara seorang wanita terdengar berbisik dari meja sebelah. “Paling dia mengandalkan tampangnya untuk mendapatkan pekerjaan ini,” balas yang lain. “Tahukah kamu bahwa ia mempunyai anak tanpa suami?” “Oh benar, kudengar ia adalah simpanan.” “Cih, menyebalkan. Kita harus susah-susah sekolah hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang begini-begini saja, sementara ia yang hanya berijazah SMA bisa mendapatkan pekerjaan yang sama dengan mudah.” Florence hanya menundukkan kepala, berpura-pura tidak mendengar bisikan-bisikan sumbang yang tidak juga berhenti, dan baru bisa menarik nafas lega ketika akhirnya jam menujukkan waktu pulang. Ia memutuskan untuk langsung pulang ke apartemennya. Seluruh tubuhnya terasa ngilu dan berteriak meminta untuk istirahat. Tapi keadaan Adam yang terus kian memburuk, membuat bocah itu tidak memberinya kesempatan. Untunglah situasi di kantor agak santai seminggu ini karena bos mereka sedang berada di luar kota. Hingga tanpa terasa hari Jumat bergulir. Julian baru muncul sekitar pukul 5 ketika kebanyakan pegawai kantor sudah bersiap untuk pulang. Harapan Florence bahwa Julian berubah pikiran, pupus begitu pria itu memintanya untuk masuk ke kantornya dan mengunci pintu dari dalam. Julian melepaskan dasi yang dipakainya dan berjalan ke meja kecil di sisi pintu masuk yang berisikan botol-botol minuman koleksinya. Ia menuangkan dua buah cairan berwarna coklat dan menyodorkan satunya kepada Florence. “Minum. Ini akan membantu perasaan gugupmu,” perintah Julian. Florence menurut dan menenggak isi gelas itu dalam sekali teguk. Rasa panas dan aromanya yang pedas hampir membuatnya tersedak. “Aku sudah memesankan hotel untuk kita malam ini. Tidak jauh dari sini. Tapi sebelumnya …. Kemarilah!” Ucapan Julian membuat detak jantung Florence berdenyut hingga terasa di tenggorokannya. Dengan susah payah, ia memaksakan kakinya untuk bergerak mendekat ke arah Julian yang langsung menarik lengan Florence. Ia meraih gelas dari tangan Florence dan meletakkannya diatas meja yang disandarinya. Tangannya langsung meraba ke arah paha Florence berusaha menyingkap rok yang dipakai wanita itu. Membuat Florence tanpa sadar langsung berusaha mendorong tangan Julian menjauh. Perlawanan dari Florence kembali membuat Julian merasa jengkel. “Ah!” jerit Florence menahan rasa sakit di kepalanya ketika tiba-tiba Julian menarik rambut panjangnya. “Dengar! Jangan membuatku marah, Florence. Aku tidak suka wanita yang melawan. Lakukan perintahku dan akan kupastikan anakmu mendapatkan pelayanan terbaik. Mengerti?” Tarikan di rambutnya terasa semakin keras, menjadikan Florence tidak mempunyai pilihan selain mengangguk cepat. “Sekarang berlutut lah di hadapanku!” perintah Julian sambil melepaskan cengkeram tangannya dari rambut Florence. Florence menurut. Sementara ia bersimpuh di depan pria itu, Julian mulai menarik resleting celananya turun, mengeluarkan benda di dalamnya keluar dan menyodorkannya ke wajah Florence. “Buka mulutmu!” “A…aku—“ PLAK! “Ah!” jerit Florence sementara rasa panas langsung merambat menjalar dari pipinya ke seluruh wajahnya. Julian mengangkat tangannya setelah menampar Florence kembali menarik rambut wanita itu dan membawa wajah Florence ke arah barangnya, berusaha memaksa agar wanita itu memasukkan benda itu ke dalam mulutnya. “Buka!” perintahnya dingin. Rasa pedih di sisi wajah dan keputus asaannya membuat Florence akhirnya menyerah. Ia mendekatkan wajahnya ke sela kaki Julian bersiap mengulum, ketika mendadak pintu kantor terdobrak terbuka. Bahkan sebelum Florence sempat menoleh, dalam hitungan detik, sesuatu mendorong tubuh Julian hingga terpental kebelakang. BRUAK! Dengan mata membelalak, dan masih berlutut, Florence menatap tubuh Julian yang terlempar dan menabrak tembok dengan suara benturan keras. Beberapa pigura yang terpasang di dinding ikut berjatuhan bersamaan dengan ambruknya tubuh Julian menghantam lantai. Kelebatan bayangan muncul di sebelah badan Julian yang tergeletak tidak bergerak. Matanya menatap ke bawah mengamati pria yang terkapar telungkup dengan celana melorot hingga ke lututnya. “Cih!” umpatnya pelan, sebelum kemudian membalikkan badan dan menatap ke arah Florence. Warna matanya yang kecoklatan menembus lurus ke manik mata Florence, ketika pria itu kemudian mendekat dan menjulurkan tangannya. “Ikutlah denganku!” perintahnya. Seakan tersihir oleh nada suaranya yang bergetar rendah, Florence menyambut uluran tangan Alexander, yang menuntunnya keluar. Alexander membukakan pintu mobil untuk Florence yang tanpa banyak berpikir langsung melompat masuk ke dalamnya. Ketika mobil hitam itu mulai meluncur, barulah Florence tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya. “Kemana kita?” “Mengantarmu pulang.” Jawaban Alexander membuat Florence tertawa. “Apakah kau mengetahui alamatku, Tuan?” Kini giliran Alexander yang tertawa, “Tentu saja. Aku bahkan tahu namamu, usiamu, dimana kau dilahirkan, dan riwayat hidupmu. Bukan hanya dirimu, tapi juga nenekmu dan anakmu.” “A…Apa?” tanya Florence kebingungan. Bagaimana mungkin pria yang dari awal mengusir dan menolaknya kini mendadak mengetahui segala sesuatu tentangnya. “Dan aku juga tahu mengapa kau mencariku, Nona Sorina.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD