Part 3

1201 Words
Hari ini merupakan hari yang sangat menyenangkan bagi Dave. Bagaimana tidak, hari yang dia tunggu-tunggu kini tinggal menghitung hari. Pertunangannya dengan perempuan yang sangat dia cintai akan berlangsung tiga hari lagi. Selanjutnya, sebulan setelahnya, pernikahan keduanya akan segera diadakan dengan pesta yang tentunya sangat meriah. Dave terpaksa berbohong kepada Titha mengenai kepergiannya ke Singapura beberapa waktu lalu, dengan mengatakan sedang mengunjungi kerabatnya. Sebenarnya Dave ke Singapura atas permintaan Keisha yang ingin mengubah keputusan setelah memutuskannya secara sepihak, asalkan dia bisa datang ke negeri berlambang kepala Singa tersebut tepat waktu. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali bersama Keisha, Dave pun langsung mengambil penerbangan pertama setelah mendengar permintaan dari pujaan hatinya tersebut. Selama berada di Singapura Dave seolah melupakan semuanya, termasuk Titha. Semua pikiran dan perhatiannya hanya fokus serta tertuju pada satu obyek, yakni; Keisha Annabella Jacinda. Dave tidak begitu lagi menanyakan kabar ataupun keadaan Titha, apalagi saat Key—panggilan Keisha, memberinya kesempatan untuk kembali menjalin hubungan. Hal yang mengejutkan terucap dari mulut Keisha pun membuat Dave sangat melayang. Keisha memintanya agar mereka segera meresmikan hubungan. Hati Dave yang masih bersorak pun langsung menyetujuinya, tanpa banyak berpikir. Namun, Keisha tetap meminta agar diadakan pertunangan terlebih dahulu, mengingat dia ingin pernikahannya harus dilaksanakan sesempurna mungkin. Sambil menunggu persiapannya selesai, Keisha ingin mengenal keluarga besar Dave lebih dekat. Selain itu, Keisha juga tidak ingin pernikahannya terlihat menggebu-gebu, sehingga mengundang pikiran negatif orang lain, mengingat mereka tinggal di daerah yang masih sangat menjunjung tinggi norma dan etika. Meskipun para orang tua mereka sudah saling mengenal dari dulu, untungnya Dave pun menyetujui keinginan Keisha tersebut. Kini di sinilah Dave dan Keisha berada, di sebuah butik yang diberi kepercayaan untuk menangani pakaian pertunangan mereka. “Bagusnya aku ambil yang mana untuk dikenakan nanti saat pertunangan kita, Honey?” Keisha menunjukkan dua buah gaun panjang yang sama-sama terbuat dari bahan sutra. Namun, beda warna. “Coba dipakai dulu, Darling, supaya aku bisa memberimu jawaban,” jawab Dave setelah memasukkan ponselnya ke saku celana hitam yang dipakainya. “Aku sedang malas mencobanya. Apa aku ambil yang warna putih saja? Seperti seputih dan sesuci cinta kita,” Keisha memberikan argumentasinya. Dave tersenyum lebar mendengarnya. “Pakaian dengan warna apa pun yang melekat pada tubuh putihmu, tetap tidak akan pernah bisa membuatku berpaling.” Dave yang sudah beranjak dari tempat duduknya, menarik pinggang Keisha dan mendaratkan kecupan ringan pada bibir Keisha. “Baiklah, kalau begitu aku ambil yang putih saja. Aku akan memilihkan setelan untuk kamu kenakan nanti, supaya kita terlihat serasi.” Keisha membalas kecupan Dave dengan cepat. *** “Dave, hampir enam tahun kita pacaran, akhirnya sampai juga pada tahap pernikahan. Yah! Meski perjalanan kita tidak semulus jalan tol. Hubungan kita juga tak luput dari drama putus sambung.” Keisha terkekeh sendiri mengingat perjalanan kisah cintanya bersama Dave. Sebelum menanggapi ucapan Keisha, Dave melirik kaca spionnya untuk memastikan mobilnya aman keluar dari parkiran butik. “Benar. Semua itu disebabkan oleh sifat kekanakanmu. Mulai sekarang ubahlah sedikit demi sedikit sifat itu, karena kamu akan menjadi bagian dari keluarga Sakera,” Dave menyarankan dengan lembut agar Keisha tidak tersinggung. Keisha menyengir mendengar saran dari calon suaminya tersebut. “Aku akan mengubahnya agar diriku pantas bersanding denganmu, Honey. Terima kasih atas kesabaranmu dalam menghadapiku selama kita menjalin kasih. Aku sangat mencintaimu, Sayang.” Keisha sangat merasa bahagia memiliki calon pendamping hidup yang sabar menghadapinya seperti Dave. “Terima kasih juga atas kesempatan yang kamu berikan, Darling. Aku juga sangat mencintaimu, Key.” Dave mengambil sebelah tangan Keisha, lalu menggenggamnya dengan lembut. “Oh ya, sekarang kamu ada rencana ke mana, Honey?” Keisha bertanya dengan nada manja. “Aku tidak ada acara ke mana-mana lagi. Hari ini aku sengaja meluangkan waktu sepenuhnya hanya untukmu. Kenapa? Apakah kamu ingin pergi ke suatu tempat?” Dave menghentikan mobilnya saat lampu merah menyala. “Tidak. Aku lelah dan segera ingin mencari ranjang agar bisa terlelap di atasnya,” jawab Keisha sambil menguap. Dave tertawa renyah. Dia mengacak lembut rambut panjang Keisha yang diwarnai menyerupai kulit anggur merah. “Baiklah, kalau begitu aku akan langsung mengantarmu pulang. Atau bagaimana jika kamu beristirahat saja di rumahku?” Dave memberikan tawaran sebelum menarik pundak Keisha agar bersandar pada bahunya. “Tante Vanya ada di rumah?” Keisha bertanya sebelum menjawab. “Tidak. Mama sedang berkunjung ke rumah saudaranya yang ada di Nusa Dua. Tadi juga beliau memberi kabar kemungkinan besar akan menginap di sana. Lagi pula kamu tenang saja jika ada Mama di rumah, kalian kan sudah akrab. Bahkan, sudah sering juga hangout bersama,” ujar Dave. “Memang. Namun, tetap saja aku merasa tidak enak jika menumpang tidur di rumahmu saat ada ibumu.” Keisha memasang wajah cemberutnya dan kembali bersandar pada bahu Dave. Sambil menunggu lampu hijau menyala, Dave menyalakan musik pop dengan pelan. Dia sudah sangat hafal tentang kebiasaan perempuan cantik di sampingnya. Salah satunya adalah mendengarkan musik pop sebagai lagu pengantar tidur. Dave sangat menyayangi dan mencintai Keisha karena dirinya yang menjadi laki-laki pertama menjamah tubuh kekasih hatinya tersebut. Apalagi usahanya dalam mendapatkan dan meluluhkan hati Keisha tidak mudah, karena banyak sekali laki-laki yang juga berharap menjadi pacar perempuan tersebut. Bahkan, dia juga harus bersaing dengan Derry, mantan kekasih Keisha yang saat itu ingin kembali memiliki perempuan tersebut. *** Setelah memantapkan keyakinannya ingin menemui orang tua Dave di kediamannya, Titha mengambil tas selempangnya yang akan dia bawa. Titha mengabaikan wajah pucatnya yang tidak berhasil dia tutupi dengan riasan tipis. Dia juga sudah tidak peduli jika wajah pucatnya akan mengganggu mata orang yang melihatnya. Seusai memasang masker akibat penciumannya yang akhir-akhir ini sangat peka sekaligus sensitif terhadap aroma, Titha pun langsung menyambar kunci motor bebeknya. “Apa pun yang terjadi, biarlah. Hasilnya urusan belakang, yang penting sekarang aku akan berusaha meminta pertanggungjawaban,” Titha kembali menyemangati dirinya sebelum menuju motornya berada. “Tha, kamu tidak kerja?” Suara perempuan lajang yang merupakan tetangga kontrakannya membuat Titha kaget. “Eh, aku meliburkan diri, Kak. Kakak kapan balik dari kampung?” jawab Titha sambil tertawa dan sedikit berbasa-basi. Perempuan itu tersenyum. “Sekali-kali meliburkan diri itu memang penting, Tha. Kakak balik kemarin malam dan sialnya kehujanan lagi, makanya sekarang kepala rasanya sedikit berat,” jawab perempuan yang dipanggil Kakak oleh Titha tersebut. “Oh ya, kamu sekarang mau ke mana, Tha?” selidik Chika— nama perempuan tersebut. “Aku mau ke rumah teman, Kak. Ada keperluan sedikit,” Titha menjawabnya setenang mungkin. Chika mengangguk. “Tha, wajah kamu pucat sekali? Kamu sakit?” Chika langsung menghampiri Titha. Tanpa izin terlebih dulu Chika telah menempelkan punggung tangannya pada dahi Titha. Chika sudah seperti kakak kandung bagi Titha, mengingat mereka berdua berada di tempat rantauan dan sama-sama menjadi anak yatim piatu. Yang membedakannya, Chika masih mempunyai tante di kampung halamannya yang sukarela dan berbaik hati mau merawat dua orang adiknya yang masih mengenyam bangku pendidikan. “Oh ... asam lambungku kambuh lagi. Kakak tahu sendiri jika sakit itu kambuh seringkali menyiksaku,” Titha berkilah. “Tapi Kakak tidak usah khawatir, aku sudah periksa dan minum obat pemberian dokter,” tambahnya menenangkan. “Kalau begitu kamu harus cepat sembuh, Tha. Ingat jaga kesehatan, jangan hanya bekerja terus. Apalagi kita berada di rantauan dan selalu dituntut untuk mandiri, apa pun keadaannya. Jadi, seimbangkanlah antara menjaga kesehatan dan mencari nafkah,” Chika mengingatkan Titha. “Benar itu, Kak. Terima kasih atas nasihatnya dan selalu mengingatkanku,” balas Titha terharu. Meskipun berasal dari kabupaten yang berbeda, tapi mereka cepat akrab. Padahal Chika baru setahun mengontrak di tempat yang sama dengan Titha. “Sama-sama, Tha. Oh ya, sepulang nanti Kakak minta di-creambath ya, supaya pusing kepala Kakak berkurang karena besok harus kerja,” pinta Chika. “Malam juga tidak masalah,” tambahnya saat melihat Titha tengah berpikir. “Baiklah, Kak. Kalau begitu aku pergi dulu ya,” pamit Titha. Setelah melihat anggukan kepala Chika, Titha pun segera memakai helm dan mulai menjalankan motornya. “Take care, Tha,” Chika melambaikan tangannya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD