Part 2

908 Words
Dave memerhatikan wajah pucat dan sembap perempuan yang kini meringkuk sambil memejamkan mata di sebelahnya. Seorang perempuan yang sudah dia renggut harta berharganya secara paksa. Dave mengusap wajahnya dengan kasar saat menyadari perbuatannya dini hari tadi. Dia telah memerkosa sahabatnya sendiri. Perbuatan nista dan terkutuk seumur hidup yang baru dilakukannya, apalagi terhadap sahabatnya sendiri yang sudah dia anggap sebagai adiknya. Dia hanya pernah meniduri kekasihnya, yang kini telah memutuskannya secara sepihak. Meski kehidupan di luar negeri begitu menggodanya untuk tidur dengan banyak perempuan dan bergonta-ganti pasangan, tapi hal itu dia tahan karena teringat janjinya kepada sang kekasih yang juga berada di negara tetangga. Pandangan mata Dave kembali fokus menatap perempuan yang menggeliat di sebelahnya. Perlahan mata itu terbuka dengan sorot nanar dan terluka, sehingga membuatnya dihantam rasa bersalah yang sangat besar. Melihat tubuh itu mencoba menjauh, dengan cepat Dave menahannya dan membawa tubuh rapuh tersebut ke dalam pelukannya. “Maafkan aku,” Dave berucap pelan. “Lepaskan!” desis Titha dengan suara serak. “Maafkan perbuatanku,” ujar Dave kembali tanpa menghiraukan desisan getir Titha. “Sudah puas kamu memperlakukanku seperti jalang, hah?! Apakah nafsumu sudah terpuaskan setelah melakukan perbuatan keji ini kepadaku? Kamu telah menghancurkan semuanya. Menghancurkan masa depanku. Menghancurkan persahabatan kita dengan memerkosaku!” Ucapan getir dan terluka yang keluar dari mulut Titha berhasil membuat hati Dave tergores. “Rasa sakit pada tubuhku tidak sebanding dengan sakit hatiku padamu. Kamu sosok laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakakku tega menghancurkan hidupku berkeping-keping. Bahkan, dengan kejamnya kamu melakukan perbuatan sekeji ini padaku. Seharusnya kamu menjaga dan melindungiku, bukan malah memperkosaku!” Titha kembali berbicara dengan nada frustrasi setelah menghapus air matanya. “Tha, aku akan bertangung jawab. Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku ini,” Dave berucap cepat saat menyadari dini hari tadi dia melepaskan puncaknya di dalam rahim Titha dan tanpa pengaman. “Sekali lagi, maafkan aku, Tha. Aku berjanji tidak akan mengulanginya kembali.” Dave mendaratkan kecupan pada dahi Titha yang menatapnya dengan tatapan datar. “Lalu kekasihmu? Apa yang akan kamu katakan padanya?” Titha bertanya mencicit. Titha tidak memungkiri rasa lega merayapi rongga dadanya, ketika Dave mengatakan ingin bertanggung jawab jika perbuatan laki-laki tersebut nantinya akan membuahkan hasil. “Dia telah memutuskanku secara sepihak, jadi aku tidak terikat hubungan apa pun lagi dengannya,” jawab Dave getir. “Kamu menjadikanku pelarian?” selidik Titha yang masih menatap datar Dave. Dave tidak bisa menjawabnya, secara tidak langsung dia memang menjadikan Titha sebagai pelarian. “Bagaimana jika kalian kembali bersama? Apakah kamu masih mau bertangung jawab, jika nanti terjadi sesuatu padaku karena perbuatanmu ini?” Titha menyuarakan ketakutan yang terlintas di benaknya. “Aku akan tetap memilihmu,” jawab Dave gamang. “Memilihku tanpa adanya cinta sekali pun di antara kita?” selidik Titha yang kini menyelami pekatnya bola mata Dave. “Kamu bisa membuktikannya saat itu,” jawab Dave ambigu. “Aku harap kamu menepati perkataanmu, Dave.” Titha berbalik. Dengan cepat dia menuruni ranjang meski rasa sakit dan perih sangat menyengat bagian tubuhnya yang telah dikoyak oleh Dave. *** Titha mengusap kasar air matanya saat mengingat kejadian kelam dua bulan lalu,  yang membuatnya seperti sekarang. Setelah hari itu dirinya dan Dave menjadi tidak sedekat dulu, meski laki-laki tersebut sesekali menghubunginya hanya sekadar menanyakan kabar. Tujuh hari setelah kejadian itu, Dave mengatakan akan ke Singapura mengunjungi salah satu kerabatnya. Kemungkinan laki-laki tersebut berada di sana selama beberapa hari. Bahkan, beberapa minggu. Seminggu lalu Dave sudah kembali dan mengajak Titha bertemu. Sikap canggung sangat terasa ketika mereka duduk saling berhadapan. Dengan frontal Dave menanyakan keadaan Titha menyangkut kejadian waktu itu. Setelah Titha mengatakan masih sama seperti sebelumnya, Dave pun mendesah lega. Tanpa membuang waktu Dave akhirnya mengatakan jika dia dan mantan kekasihnya telah berbaikan. Bahkan, sekarang mereka sedang menyiapkan acara pertunangan yang akan berlangsung seminggu lagi. Titha yang awalnya terkejut mendengar hal tersebut, menatap Dave dengan pandangan kosong. Dalam hatinya dia berdoa jika perbuatan mereka waktu itu benar-benar tidak membuahkan hasil. Dia hanya takut nantinya akan membuat semuanya kacau. Namun, harapan tidak serta merta terpenuhi. Sepulang dari pertemuannya dengan Dave, Titha merasakan keanehan pada tubuhnya terutama di bagian perut dan kepala. Dia mengira jika asam lambungnya kambuh akibat kelelahan bekerja sekaligus berpikir. Meski sudah meminta izin selama beberapa hari untuk beristirahat, pusing dan perutnya yang sering bergolak tak kunjung mereda, sampai pikiran cemas silih berganti menghampirinya. Dengan bersikap sebiasa mungkin Titha memberanikan diri membeli suatu alat pendeteksi untuk menjawab rasa cemasnya di apotek yang berada cukup jauh dari tempat tinggalnya. Alasannya, karena apotek di dekat tempat tinggalnya sebagian besar karyawannya dia kenal, begitu juga sebaliknya. Setelah membaca tata cara penggunaannya, dia pun memutuskan akan melakukannya esok hari setelah bangun tidur. Selama menunggu pagi menjelang, Titha dilanda kegelisahan sehingga akhirnya dia tidur karena kelelahan berpikir. Keesokan paginya, Titha bergegas ke kamar mandi dan mengikuti petunjuk yang tertera pada kemasan benda tersebut. Setelah menunggu beberapa menit hasilnya pun keluar. Dengan cepat Titha mencocokkannya pada gambar dan membaca keterangannya dengan tak sabar. Hasil yang ditunjukkan benda pipih tersebut membuatnya sangat terpukul. Dia merasa kepalanya sedang ditimpa langit-langit di dalam kamar mandinya. *** “Bagaimana ini, waktu Dave hari ini penuh bersama Key? Bagaimana caranya memberi tahu Dave mengenai benihnya yang saat ini sedang aku kandung? Apakah aku harus mendatangi kediaman Key dan mengatakan semuanya di hadapan orang tua Key?” ucap Titha panik pada dirinya sendiri. “Tidak ... tidak ..., aku tidak boleh seperti itu. Jika seperti itu, sama saja aku merendahkan harga diriku. Mereka akan menganggapku jalang yang mengemis dan menuntut pertanggungjawaban,” Titha bermonolog dan menentang ucapannya sendiri. “Apakah aku harus menemui ibunya Dave dan menceritakan sebab mulanya sehingga aku menjadi seperti ini? Namun, apakah beliau akan percaya begitu saja, walau aku sudah mengatakannya dengan jujur?” Titha kembali bertanya pada dirinya sendiri. “Akh! Mengapa jadi rumit begini?!” Titha menjambak rambutnya yang berwarna pirangꟷhasil pewarnaan salon tempatnya bekerja.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD