Prolog
'Yang namanya masih pacaran itu--belum tentu jodoh. Dan mungkin aja--kamu, wahai yang bergelar pacar. Jangan buru-buru dulu bangga dengan gelar pacar yang tersemat pada dirimu. Bisa jadi kamu cuma lagi jagain jodoh orang.' :)
******
Aku sudah terbiasa dengan waktu...
Membiarkanmu berjalan semaumu...
Prihal rinduku, biarlah hilang di telan ragu...
Mungkin sudah saatnya aku melupakanmu seperti--inginmu.
Cowok yang paling ingin aku hindari sejagat raya ini, oke ini kedengarannya mungkin lebay. Tapi begitulah kenyataannya. Dia sedang berjalan ke arahku. Membuatku mematung di tempatku. Haruskah aku bertemu dia disini?
Aku baru saja turun dari angkot dan mulai memasuki areal kampus. Saat aku melangkah menuju kelasku, aku melihatnya berjalan di koridor yang sama dari arah yang berlawanan. Oke anggap saja ini sebuah kebetulan setelah sebulan terakhir ini aku berhasil menghindarinya. Ini benar benar kejadian yang sangat langka. Mengingat kelas kami bukan terletak di koridor yang sama. Tapi tumben dia lewat sini? Pikirku.
Seiring derap langkah kakinya yang semakin mendekat, bersamaan dengan irama degup jantungku yang terdengar berdentam-dentam layaknya musik disco di club malam. Aku berusaha memejamkan mata, berharap bisa menghilang saat itu juga, tapi sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Semua sudah terlambat, aku tak bisa lagi menghindar ataupun pura-pura tak melihatnya.
Deg
Deg
Deg
Perlahan ku buka mataku kembali. Jarak di antara kami sudah semakin dekat, aku bisa merasakan pipiku yang mulai memanas karena gugup. Bahkan mungkin sudah bersemu merah layaknya p****t monyet bon-bon. Saking paniknya aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Menyapanya, atau tetap memilih untuk diam saja.
Mendadak semesta di sekitarku bergerak melambat, layaknya gerakan slowmosen di film-film action yang pernah ku tonton. Aku baru saja membuka mulutku, menyapanya sedetik sebelum akhirnya dia berjalan melewatiku.
Hai
Sapaan yang lebih terdengar seperti hembusan angin. Aku yakin dia tidak mendengarnya. Bersamaan dengan itu, gerakan melambat itu terhenti. Keadaan menjadi normal kembali dalam hitungan detik.
Aku mendadak linglung, rasanya seperti baru saja di bangunkan dari mimpi yang sangat memalukan. Perlahan aku menyadari satu hal. Bahwa senyum lebar yang sempat tersungging di bibirnya bukanlah dia tujukan padaku. Bahkan langkah kakinya bukan mengarah ke arahku. Melainkan...
"Hai Kian!" Suara itu terdengar jelas dari arah belakangku. Dengan hati berdebar aku menoleh, namun apa yang ku lihat? Dua orang laki-laki yang sedang ber-tos ria.
What?
Kampret
Ternyata memang aku yang ke GR-an.
******
"Kantin yuk Lus!" Seru ku saat baru saja memasuki kelas dan mendapati sahabatku Lusi sudah ada di sana, duduk di tempatnya dan asik memainkan ponsel. Aku melihatnya sesekali tertawa kecil, entahlah, mungkin dia sedang membaca n****+ lucu di sebuah aplikasi sampai-sampai gadis itu tak menyadari kehadiranku.
"Woi, baca apa sih!" Dengusku meminta perhatiannya. Gadis itu terhenyak, menurunkan hp dari wajahnya, dan kini menatapku sewot.
"Apaan sih, Vay, lagi seru juga, ganggu aja deh!" ketusnya.
"Ke kantin yok, gue laper nih belum sarapan," aku tak mempedulikan wajahnya yang kusut seperti baju belum di setrika. Aku malah sengaja menarik-narik lengan bajunya, memasang wajah mengiba, dan akhirnya berhasil membuatnya tertawa cekikikan.
"Dih, muka biasa aja kali, nggak usah di jelek-jelekin gitu!" Guraunya dengan tawa yang setengah di tahan.
Sontak aku langsung melotot ke arahnya. "Astaga, jahat ih. Muka imut kek gini juga!" Bibirku mengkerucut tanda protes.
Dengan tawa dan ekspersi yang sama ia kembali berujar. "Imut tapi tetep aja di tinggalin."
Deg...
Ngena banget enggak sih...
Emang dasar, kayaknya mulut cewek satu ini perlu di lakban. Tapi tidak, aku tidak tersinggung, aku sadar, dia hanya bercanda. Dan itu sudah biasa. Aku dan Lusi sudah berteman dekat sejak kami masuk ke vakultas ini. Dan memang begitu gaya bicara kami. Jadi kami sudah saling memahami dan memaklumi satu sama lain.
"Bodo', yang penting gue manis, wekk!" Meski kedengarannya ini sedikit narsis. Tapi biarlah. Bolehkan sekali-kali menghibur diri sendiri. Lagipula, kata-kata teman di kelas, aku memang manis. Apalagi saat sedang tersenyum, ada cekungan di salah satu pipiku. Singkatnya itu lesung pipit.
"Gimana perasaan Lo?" Tiba-tiba Lusi mengganti topik pembicaraan, alis matanya bergerak naik turun menggoda.
"Perasan apa?" Aku memutar bola mata seolah tak peduli. Padahal aku paham betul kemana arah pembicaraanya.
Aku tersenyum saat wajah Lusi mendadak berubah jengkel. Bibir bawah Lusi mencebik. "Jangan pura-pura deh, Lo masih suka kan sama dia?"
Suka sama dia?
Pertanyaan itu seolah kembali menggema di kepalaku. Mendadak aku merasa sedang ada di sebuah ruangan pengadilan, dan sedang bersiap menerima fonis hukuman mati. Jelas gadis itu tahu aku akan selalu kebingungan menjawab kalo di tanya soal ini.
"Dia? Dia siapa sih maksud Lo?" Ku lihat wajah Lusi semakin kesal, lagi-lagi karena aku berpura-pura bodoh. Dan sekarang dia pasti sadar, kalo aku sedang balik mengerjainya.
Hehe... Emang enak....
"Udah ah, males ngomong sama Lo, ke kantin aja yok, kebetulan gue juga laper nih, belum sarapan juga!" Lusi beranjak dari duduknya dengan wajah yang masih cemberut.
"Vay, buruan, nanti keburu bell masuk." Serunya lagi makin tidak sabaran. Lusi sudah berjalan lebih dulu ke luar kelas dan menungguku di sana.
Aku buru-buru meraih ponsel dan dompet dalam tas ranselku. Setelahnya bergegas menyusul gadis itu.
"Yok." Tanpa bermaksud ingin protes, aku menariknya menyusuri koridor menuju kantin. Kami berjalan dengan tangan yang saling bertautan. Meski kami sering bertengkar, tapi kami selalu berbaikan dengan cepat. Seperti tadi, daripada mengajaknya berdebat, lebih baik aku membuat suasananya seperti tak terjadi apa-apa.
Kadang, saking dekatnya kami, orang-orang mengira bahwa kami kembar, padahal wajah kami jelas tidak mirip sama sekali, mungkin jika di lihat dari belakang, sekilas kami terlihat sama. Dengan tinggi badan dan bentuk badan yang sama tentunya, juga rambut kami yang suka di kuncir ekor kuda. Namun, apakah itu cukup untuk mendeskripsikan bahwa kami kembar? Mungkin karena kami memiliki banyak kesamaan lain. Seperti kami yang suka kemana-kemana berdua. Entahlah, suka-suka penilaian mereka saja. Yang pasti kami bersahabat dan kami tidak kembar.
"Eh..., coba dengerin deh, lagunya bagus banget!" Lusi yang sejak tadi mendengarkan lagu dengan earphone, kini menyerahkan salah satunya ke telingaku. Satu bait lirik lagu langsung mengalun merdu di Indra pendengaran ku ini.
Pergi saja engka pergi dariku...
Biar ku bunuh perasaan untukmu...
Meski berat melangkah, hatiku...
Hanya tak siap terluka....
Mataku terpejam dengan sendirinya untuk beberapa detik, seolah hanyut, kenapa liriknya begitu mengena? Lagu yang membangkitkan ingatanku pada seseorang yang entah saat ini masih mengingatku juga atau tidak sama sekali. Atau mungkin saja dia bahkan sudah menemukan...
Yang lain....
"Lagu apaan sih nih? Lagu bucin gini, gue enggak suka!" Segera ku lepas earphone miliknya di telingaku. Ku pasang wajah cuek. Meskipun cairan bening dari sudut mataku sempat mendesak ingin keluar.
Lusi malah cekikikan saat mendengar ucapanku. Tawanya lebih terdengar seperti sebuah ejekan, "Lo sendiri kan bucin, nggak nyadar ya!" Aku pun langsung melotot ke arahnya, tapi dia hanya menghadiahiku cengirannya yang tampak menyebalkan.
Tanpa terasa kami sudah memasuki area kantin yang masih terlihat sepi. Mungkin karena masih pagi.
"Yaudah, Lo cari tempat duduk, biar gue yang pesen makanan!" Lusi mengangguk setuju.
"Oke, gue pesenin yang sama aja kayak Lo, ya?" Tuturnya. Aku mengangguk sembari ku serahkan hp-ku untuk ku titipkan padanya agar tidak repot, sebelum akhirnya aku bergegas ke deretan stan makanan. Sedangkan Lusi mencari tempat duduk yang kosong. Dan ku rasa ia akan mudah untuk menemukannya.
Tak butuh waktu lama, aku kembali dengan dua mangkuk bubur ayam di tanganku. Lusi menautkan kedua tangannya di atas meja menyambutku girang. Seolah-olah dia sudah tidak makan selama satu minggu. Aku segera meletakkannya di atas meja, aku juga sudah tidak sabar ingin menyantap bubur ayam favorit kami selama ini.
"Uhuk... Uhuk...,"
Dadaku tiba-tiba terasa sesak, karena makan terburu-buru aku jadi tersedak. Dan sialnya aku lupa memesan minum.
"Pelan-pelan, Vay, makannya, yaudah gue cari minum dulu, tunggu ya!" Dengan wajah khawatir, Lusi bergegas pergi. Semoga Lusi kembali tepat waktu sebelum aku benar-benar tercekik oleh sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku.
Astaga... Kenapa aku sampai bisa tersedak seperti ini? Aku yang makan terburu-buru... Atau karena ada yang diam-diam sedang merindukanku?
Kata orang kalo kita tiba-tiba bersin atau tersedak, berati ada seseorang yang diam-diam sedang memikirkan kita. Apa aku juga harus mempercayainya?
Tuk
Sebotol air mineral mendarat di atas meja. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa yang meletakannya disana. Seketika aku membeku di tempat, seseorang yang sedang ku rindukan sudah berdiri menjulang di hadapanku. Menarik kursi dan mulai duduk di sana.
"Di minum dulu gih!" Tangannya bergerak membuka tutup botol dan menyodorkannya ke bibirku. Aku hanya bisa menatapnya tanpa tanya.
Gue enggak lagi mimpi kan?
Aduh, senyumnya itu loh... Gue kangen tau....
"Kok malah bengong? Buruan minum?" Suaranya yang lembut membuyarkan lamunanku. Segera mungkin ku bawa diriku kembali menjejaki dunia nyata, mulai meneguk air mineral tanpa melepaskan tatapanku padanya. Aku takut, jika aku berkedip sedetik saja, semua akan menghilang dan ternyata ini hanya mimpi.
"Gimana? Udah enakan?" Aku mengangguk perlahan dengan perasaan yang masih linglung. "Syukurlah..." Lanjutnya seraya tersenyum, senyum yang selalu membuatku berhasil merindukannya. Dan perhatiannya, seperti saat ini, yang tangannya tiba-tiba bergerak menghapus sisa-sisa air di bibirku. Apa dia sengaja melakukannya?
Buru-buru ku palingkan wajah menghindarinya, bukannya aku tidak suka dia berlaku begini padaku. Melainkan aku tidak tahan dengan gejolak dalam hatiku sendiri. Aku juga tidak ingin ia menyadari pipiku yang saat ini pasti sudah bersemu merah.
"Cie..." Sampai pada akhirnya kata dengan nada menggelikan itu mengagetkanku. Ah... Lusi. Pekikku dalam hati. Gadis itu tersenyum ke arahku dengan tatapan menggoda, alisnya bergerak naik turun seolah sedang memberi isyarat tentang kedatangan cowok yang kini duduk tepat di sebelahku.
Kepalaku kembali menunduk karena merasa sangat malu. Lusi pasti akan meledekku habis-habisan setelah ini.
Ah... Sebenarnya kenapa sih dia nyamperin gue lagi?
Bersambung....