Buku matematika ini menyebalkan.
Anna menggerutu pelan dan menumpukan kepalanya di meja, dia sudah belajar dari tadi siang dan masih ingin bertahan di perpustakaan ini. Dia tidak akan pulang sebelum menemukan jawabannya! Dia juara kelas, masa mengerjakan soal ini saja tidak bisa?
Bibir mungilnya menggigit ujung pulpennya. Dia merapikan vest yang dia pakai dan mendengus pelan. Sialan, dia baru saja memutuskan Daris karena tak suka lagi dengan pemuda itu.
Matanya sedikit melirik ke arah seseorang yang baru masuk ke perpustakaan sempit ini, saking sempitnya dia bisa menghitung seberapa banyak orang yang keluar masuk ke perpustakaan.
Bukan karena terlalu banyak, tetapi karena terlalu sepi.
Anna menarik nafas dan bermaksud untuk merapikan buku-bukunya. Berhubung karena pemuda ini sudah masuk ke perpus dan membawa banyak buku, dia lebih baik undur diri. Hanya berdua dengan Prama tidak akan menjadi solusi bagi otaknya yang mumet karena matematika.
Prama baru akan menyapa Anna namun gadis itu langsung membereskan buku-bukunya dan segera keluar dari perpustakaan. Saat melewatinya, Anna sedikit melirik ke arahnya.
"Takut banget sih sama gue?"
Anna meringis pelan kemudian menatap ke arah lain. Dia baru akan melangkah lagi, Prama menahan lengannya. Yang langsung mendapatkan tatapan sengit dari gadis itu.
"Ngapain sih lo?" Bisiknya pelan, melihat penjaga perpustakaan tengah melirik ke arah mereka.
"Gue mau tanya soal matematika."
"Belum selesai."
"Yaudah gue ke rumah lo ya ntar malem."
Anna mengerinyitkan dahi, "Gue nggak suka belajar bareng-bareng!"
"Calm down, Ann. Gue nggak gigit lo kok."
"Jangan nyebelin deh."
Prama terkekeh pelan dan tersenyum pada Anna.
"Jangan dideketin terus Annanya, Pram," seseorang dari ruang lain menginterupsi mereka, yang jelas tentu saja bukan penjaga perpustakaan.
Prama tersenyum tipis menanggapi ucapan itu, pemuda itu menoleh. "Gimana dong? Suka."
"Apaan sih lo!"
"Bercanda!"
*
Satu-satunya hal yang dia syukuri dalam tahun ini adalah... Dia tak sekelas dengan Prama. Itulah yang membuatnya bisa tersenyum setiap hari datang ke sekolah dan melangkah dengan ringan, seolah tak ada beban lagi di dalam hidupnya.
Toni, ketua kelasnya masuk ke dalam kelas dengan pandangan sumringah. Anna mengalihkan pandangan dari buku fisika menuju ke arah pemuda itu. Tampak sekali dia tersenyum-senyum karena sesuatu.
"Adek lo di SMP tetangga.. namanya Fay ya, Ann?"
Anna mengerinyitkan dahi dan mengangguk cepat. "Kenapa?"
"Gue barusan minta nomor hapenya, kenapa lo nggak bilang dari awal adek lo itu Fay." Dia duduk di kursi sebelah Anna begitu saja, membuat Anna yang diam kembali menatap Toni dengan tak ramah.
"Lo nggak keberatan kan gue jadi adik ipar lo?" Toni mulai melantur sepertinya dan berhasil membuat Anna meringis pelan, tampak jelas ketidaksukaan dari wajah gadis itu.
"Dia udah ada doinya."
"Siapa?"
"Prama."
"Hah?"
Anna tersenyum tipis, "Tanya aja sama dia kalau nggak percaya."
"Bukannya Prama suka gangguin lo?"
"Terus?" Tanya Anna malas, mulai risih dengan gangguan-gangguan Prama akhir-akhir ini. Mulai menyapanya saat dia main basket, duduk disebelah tempat duduknya saat di kantin, mengekorinya di lorong membuat Anna benar-benar naik darah tiap bertemu dengannya.
Anna menyudahi lamunannya dan melirik ke arah Toni yang masih dengan semangat menceritakan perkenalannya dengan adiknya tersebut, membuat Anna hanya kembali meringis dan kembali berkutat dengan buku pelajarannya. Jam pelajaran kosong, Miss Andy tiba-tiba tidak masuk karena sakit, dan Ia lebih memilih menggunakan waktu kosong ini untuk belajar fisika karena akan ulangan pada jam pelajaran terakhir.
"Anna," Anna sedikit kaget dengan panggilan itu. Buru-buru dia berdiri dan menatap ke arah pintu kelas. Bu Asti, guru biologinya kembali memanggil namanya. Ia dan Toni kembali saling pandang sekilas, teman-teman yang ada di dalam kelas juga turut melirik Bu Asti, Anna berjalan menghampiri beliau tanpa canggung.
"Ibu mau minta tolong Anna, kamu jam kosong kan?"
Anna tersenyum simpul. "Iya bu, ada apa?"
"Ibu ada imunisasi sekarang dan harus bawa anak ibu kesana. Kamu bisa menolong ibu memeriksa ulangan adik-adikmu? Jawaban isian dan ibu sudah menuliskan jawabannya"
Anna menarik nafas. Ini bukan pertama kalinya ia dimintai tolong akan hal-hal begini. Ia tentu saja tidak bisa menolak, meskipun sangat ingin belajar fisika karena tadi malam tidak sempat belajar.
"Maaf ya, Anna."
"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga nggak ngapa-ngapain," perasaan segan merajainya, dia mengikuti Bu Asti hingga ke ruang guru serta Bu Asti langsung menuju mejanya. Guru-guru bahkan sudah tidak heran dengan kehadirannya di ruangan ini. Anna hanya melempar senyum simpul dan melihat setumpuk kertas yang berisikan jawaban ulangan harian tersebut.
Bu Asti pergi sepuluh menit kemudian, Miss Dian yang mengajar fisikanya mendekat ke arahku dan menanyakan kenapa kelasku kosong. Aku terlibat beberapa percakapan dengan Miss Dian hingga sebuah suara membuatku menoleh.
"Orangtua Prama sudah ada disini."
Matanya membelalak, menatap dua orang yang masuk ke dalam ruangan guru. Prama mengekori kedua orangtuanya dengan santai. Mereka berjalan menuju meja wakil kesiswaan, sedang Anna tetap setia mengekori mereka dengan matanya. Pikirnya, mungkin tengah membahas prestasi yang didapatkan Prama pada lomba bulan kemarin. Lomba yang seharusnya Anna wakilkan, yang digantikan Prama begitu saja karena dia jatuh sakit.
Seolah tahu keberadaan Anna, Prama mengalihkan pandangan. Mereka berpandangan beberapa saat, sampai Anna mengalihkan pandangan ke arah Miss Dian, untuk mencari tahu.
"Miss, tumben orang tua Prama dipanggil?" tanyanya. Padahal dia sudah tahu dengan jelas apa alasannya. Miss Dian tersenyum lebar.
"Karena lomba kemarin."
Anna menelan ludah dan mengangguk mengerti. Sudahlah, sebaiknya dia segera menyelesaikan semua ini.
Untuk apa repot-repot memikirkan Prama?
*
"Prama tuh!"
Anna mengalihkan pandangan ke arah gerombolan anak-anak laki-laki yang sedang bercanda dengan satpam sekolah. Kemudian menemukan objek yang diucapkan oleh Maya dengan mudah. Kemudian menatap Maya dengan pandangan aneh.
"Kenapa?"
Anna berdercak. Dia tahu semua yang dilakukan Prama selama ini hanya akal-akalan pemuda itu agar dia kesal. Selalu saja mencari masalah dengannya. Padahal, Anna tak pernah mengganggunya sedikitpun.
"Lo tau kan, Prama itu pengagum rahasia lo dari dulu. Eh eh, Ann, dia liatin lo tuh!"
Anna berdecak tanpa sadar lagi, memutar bola matanya. "Ngapain sih lo?"
"Lo udah tau kan?"
Anna mengangkat bahu. "Dia nggak pernah ngomong sama gue."
"Jadi lo berharap dia nyatain perasaan sama lo?"
Anna semakin menatap Maya sebal, "Bukan itu maksud gue, May. Lagipula gue baru putus dari Daris."
Maya terkekeh pelan. "Prama itu bukan pilihan yang buruk loh, Ann. He's gorgeous!"
Ya ya. Terus saja Prama. Batin Anna mulai berulah.
Anna tak ingin berurusan dengannya, apalagi jadian dengannya. Lagipula mana mungkin Prama suka dengannya? Laki-laki mana yang masih menyukai perempuan saat dia mendapat sikap tak menyenangkan terus menerus?
Biarkan saja kabar itu terus berkembang, setidaknya Prama tak pernah benar-benar mengganggu yang kelewatan batas. Hanya semua orang memperhatikan tingkah lakunya, hingga Anna terseret seperti ini.
Itu adalah hal yang paling Anna syukuri.
*
Setidaknya sampai detik ini.
Ia menatap tak percaya dengan orang yang ada didepannya. Benar-benar membuat jantungnya nyaris melompat dari tempatnya. Walaupun itu tidak mungkin. Tidak ada alasan yang lebih logis dikatakannya saat ini, selain apa yang baru saja ia dengar.
"Lo cewek paling pintar diangkatan kita, gue mau lo ajarin gue buat lomba."
Anna mengerinyitkan dahi. "Gue nggak mau."
"Gue bakalan deketin lo sampai lo mau."
Anna akan keluar dari kelas sebelum akhirnya tangan Prama kembali menahannya. "Ayolah, Ann. Masa gue harus minta tolong Bunda buat bujuk lo?"
"Lo bawa-bawa Bunda terus ya, Pram? Gue udah bilang nggak mau!"
Anna tetap menggelengkan kepala.
"Kenapa lo nggak mau ngajarin gue? Teman-teman kita yang lain bahkan sering minta ajarin ke lo."
Anna tidak tau alasan apa lagi yang membuat Prama hengkang dari hadapannya. Dengan wajah yang sangat datar Ia berhasil mengucapkannya.
"Lo bego."
Dan Prama benar-benar terdiam karena ucapan Anna.
Anna tak pernah suka dengan Prama.
"Gimana, Ann?"
"Masa kurang jelas?"
Anna membalikkan badan dan berniat untuk kabur. Namun Prama semakin berani, menghalangi langkah Anna yang akan keluar dengan badannya.
"Kenapa selalu ngehindarin gue?" tanyanya lantang. Anna mendengus, membalikkan badan dan bersiap kembali ke bangkunya. Ia tidak akan menanggapinya.
Diluar dugaan, Prama kembali menariknya hingga gadis itu berhadapan dengannya. Membuat decakan lain keluar dari bibir mungil Anna.
"Gue nggak punya urusan sama lo!"
"Gimana kalau gini, lo coba ajarin gue dulu, sekaligus membuktikan kalau gue memang sebego itu?"
Apa lagi ini?
Anna mengangkat alis, sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Prama. "Kenapa nggak lo cari orang yang mau membantu lo?"
Pemuda itu tersenyum miring, "Gue mau elo yang bantu gue."
"Kenapa?"
"Karena gue mau lo berguna di hidup gue"
Apa?
***